Minggu, 06 November 2011

Resume Etika Seksual Kontemporer Karya DR. R.P Borrong

BAB 1

Seks Menurut Etika Kristen

I. Pengantar

Etika adalah ilmu yang mempelajari baik buruk dalam pikiran, perkataan, perbuatan manusia. Singkat kata ilmu tentang perilaku manusia. Seks adalah salah satu perilaku manusia yang berurusan dengan etika. Seks melekat pada hidup manusia, sebagai manusia maka perilaku yang berurusan dengan seksualitas perlu disorot dari sudut pandang etika. Alkitab bukan buku pengetahuan tentang seks dan bukan buku ketrampilan melakukan seks. Alkitab tidak secara khusus membahas masalah seks secara sistematis. Bahkan bisa juga dikatakan bahwa Alkitab berbicara tentang seks dari pnggir,e menyorot perilaku manusia secara kasuistik. Dalam Iman Kristen pengetahuan tentang seks bersumber dalam Alkitab:

a. Dalam Perjanjian Lama

Dalam Narasi Penciptaan ada dua cerita tentang seksualitas manusia: pertama kejadian 1:1-2a, menekankan hakekat seksualitas bahwa seks itu baik, seksulaitas bukan hanya sesuatu yang baik, tetapi sekaligus mencitrakan kesucian dan kekudusan Allah.

Kedua kejadian 2:18, perempuan diciptakan supaya laki-laki tidak kesepian dan membutuhkan teman hidup, tujuannya supaya terjadi komunitas manusia yang dinyatakan dalam kesatuan daging dan tulang (Kejadian 2:22-24). Seks melekat pada diri manusia sebagai makhluk psikosomatis (berjiwa raga). Seks bukan hanya berurusan dengan tubuh tetapi juga dengan jiwa dan roh manusia (seantero kehidupan).

Seks pada dasarnya tidak kotor dan najis. Kekotoran atau kenajisan seks melekat inheren pada diri manusia, terlebih sesudah kejatuhan manusia. Kata persetubuhan atau hubungan seks dalam bahasa Ibrani disebut Yada yang berarti mengenal.

Kalau terjadi penyimpangan seks bukanlah karena seks itu kotor atau najis tetapi karena manusia yang melakukannya dikuasai dan dikendalikan oleh seksnya. Hasrat seksual yang disebut eros (cibta birahi) adalah sesuatu yang baik dan perlu, tettapi nafsu yang berapi-api dapat menjadi bahaya dan ancaman bagi mereka yang tak ammpu mengendalikannya.

Persetubuhan atau hubungan seks dalam bahasa Ibrani disebut yada’ yang dapat juga diterjemahkan dengan kata mengenal. We ha adam yada’et hawa isto (kemudian bersetubuhlah manusia itu dengan Hawa isterinya, Keja 4:1). Ini adalah kesaksian pertama tentang hubungan sedaging antara suami dan istri (Adam dan Hawa). Rahasian seks tidak dapat dijelaskan dengan metode obyektif, misalnya dengan metode ilmiah. Pengenalan seksual sangat berbeda dengan pengetahua tentang seks. Sebab itu hubungan seks bukan sekedar suatu pemuasan biologis melainkan suatu pengenalan dari dalam terhadap mitra hidup lebih dari pengetahuan apapun.

Seksualitas dalam PL dikaitkan dengan perkawinan. Perkawinan adalah tempat yang sah melakukan hubungan seks. Narasi penciptaan tidak secara eksklusif menyebut kata nikah tetapi interpretasi Tuhan Yesus terhadap Kejadian 2:23-24 menujukkan bahwa memang lembaga pernikahan merupakan tempat sah melakukan hubungan seks (Matius 19:4-6).

Dari sudut pandang etika kristen, hubungan seks (yada’) dipahami sebagai komitmen cinta dan kesetiaan di antara dua orang yang bersedia dengan sepenuh jiwa raga menyerahkan diri, saling melindungi, dan mengenal secara mendalam. Maka keintiman, khususnya keintiman hubungan seks harus dialami dalam pernikahan. Dan salah satu tujuan pernikahan adalah hubungan seks (intim). Tetapi keintiman itu mempunyai tujuan lebih lanjut yaitu regenerasi/prokreeasi/propogasi.

Perjanjian Lama mencatat betapa pentingnya menjaga kesucian seks sehingga hubungan seks yang terjadi di luar penikahan yang sah dipandang sama dengan penyembahan berhala (Imamat 18:1-30, 20:10-21). Dalam komunitas Israel, hukuman terhadap pelaku perilaku seksual di luar pernikahan yang sah adalah hukuman mati (Ulangan 22:13-30). Kerasnya tindakan terhadap mereka yang melakukan seks yang menyimpang dari pernikahan disebabkan oleh keyakinan bahwa seksualitas adalah simbol kesetiaan kepada Tuhan. Penyelewengan adalah pengingkaran dan penghinaan akan kesucian dan kekudusan Tuhan sendiri.

b. Dalam Perjanjian Baru

Perjanjian baru membicarakan hakekat seksualitas dengan menujuk pada narasi penciptaan (Matius 19:1-12) , salah satu tujuan pernikahan adalah hubungan seks. Bukan sebaliknya, berhubungan seks untuk menikah. Pernikahan adalah komitemin kasih untuk hidup dalam penyerahan total suami istri. Hubungan seks memang ada rasa saling tertarik(eros) tetapi harus disempurnahkan dalam kasih(Agape). Kalau dalam perjanjian lama sangat menekankan hukuman dalam perikahan tetapi tidak dengan perjanjian baru yang lebih menekankan pengampunan dalam pernikahan yang telah dibentuk.

Di dalamperjanjian Baru, sangat ditekankan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kesetaraan itu pertama-tama harus dinyatakan dalam hubungan seksual. Dalam pernikahan, perempuan tidak menjadi obyek pemuas nafsu suami. Ketundukan istri sebagaimana ditekankan dalam Efesus 5:22-24 tidak mencerminkan hubungan hierarkis dan struktural melainkan hubungan fungsional yang menjadi simbol ketaatan dan kesetiaan jemaat kepada Tuhan. Demikian pula kasih suami yang ditekankan dalam Efesus 5:25-30 menjadi simbol dari kasih agape Kristus terhadap jemaat.

Hubungan seks sebagai representasi hubungan laki-laki dan perempuan haruslah merupakan pernyataan kasih dan hormat secara timbal balik. Kasih dan hormat terhadap pasangan hidup adalah kasih dan hormat pada diri sendiri.

Di dalam Perjanjian Baru ditekankan makna kesucian dan kekudusan seksualitas tetapi tidak mengingkari keunggulan kasih dan pengampunan. Penyimpangan seksualitas dipandang sebagai bagian realitas keberdosaan dan kelemahan manusiawi. Kasus perempuan berzinah yang diperhadapkan kepada Tuhan Yesus tidak dihada[i secara legalistis sebagaimana yang dipahami oleh PL bahwa pezinah harus dihukum mati (Imamat 10:20, Ulangan 22:22-24). Bagi Yesus, penyelewengan seksual (zinah) adalah hakekat keberdosaan manusia. Maka yang dibutuhkan bukanlah hukuman melainkan pengampunan, kesadaran, dan penyesalan (pertobatab) serta perubahan: ”Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yohanes 8:11).

Walaupun demikian, ada perbedaan antara PL dan PB tentang eralitas penyimpangan-penyimpangan seksual itu. Kalau PL sangat menekankan ”hukuman”, maka PB sangat menekankan ”pengampunan” terhadap semua perilaku seks yang menyimpang.

c. seks menurut para Filsuf dan Teolog

Para filsuf, khususnya filsuf klasik, umumnya menganggap seks sebagai sesuatu yang buruk. Menurut Plato manusia seumpama kereta dan pengemudi. Kereta adalah badan pengemudinya jiwa. Badan adalah penjara jiwa.

Stoa berpendirian bahwa tujuan moral apatheia adalah tahan menderita, sabar dan pasrah. Sedangkan ataraxia adalh menendalikan emosi dan hawa nafsu. Kenikmatan seks ditolak. Sedangkan menurut Manikheisme, dunia dan manusia dikuasai oleh dua kekuatan saling bertentangan yakni Allah dan setan.

Para teolog klasik pun sebagian menganggap seks sebagai sesuatu yang buruk. Buku petunjuk pengampunan abad VI-XL menganjurkan suami istri supaya sering berpantang hubungan seks, misalnya sebelum misa, masa Advent, masa kehamilan, dan pada usia tua. Anjuran itu di dasarkan pada anggapan masa itu bahwa persetubuhan memisahkan manusia dari Allah.

Tidak semua teolog klasik menganggap seks sebagai sesuatu yang buruk. Ada beberapa teolog yang menganggap seks sebagai sesuatu yang baik, bahkan mulia.

Seks Menurut Pandangan Modern

Menurut Freud, realitas utama dalam hidup manusia bersumber pada seksualitas. Semua realitas lain seperti agama, kebudayaan dan kesenian merupakan sublimasi (penghalusan) seksualitas.

Behaviorisme (Kinsey) meneliti selama 15 tahun (1935-1950) terhada 20 ribu orang (12 ribu pria dan 8 ribu wanita). Menurut dia, masturbasi, premarital fetting, hubungan seks diluar nikah, hubungan seks dengan banyak pasangan, dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat biasa dan lazim bagi manusia. Usaha menghindari atau menyisihkan kenyataan tersebut ”abnormal”.

BAB 2

Pernikahan

Untuk memhamai pernikahan dalam pandangan keluarga Kristen adalah bukan sebagai sakramen tetapi sebagai satu ikatan rohaniah anatara seoarang Pria dan seoarang wanita yang menikah.

Adapun pernikahan Kristen memiliki hakekat:

a. menganut paham asas monogami

b. perkawinan homoseksual atau lesbian bukan pernikahan yang dikehendaki Allah

c. pernikahan adalah sesuatu yang suci

banyak orang yang masih belum mengerti tujuan dalam pernikahan, sehingga jika belum memahami tujuan dari pernikahan pastilah pernikahan tersebut tidak akan berlangsung lama, adapun tujuan pernikahan adalah:

* Propagasi atau prokreasi

Seorang yang sudah menikah harus menyadari bahawa mereka mengemban tugas suci untuk dapat melanjutkan karya Allah menciptakan generasi penerus

* Unifikasi atau kesatuan

Kesatuan daging adalah kesatuan jiwa raga

* Rekreasi atau kesenangan

Makna kesenangan itu harus diletakan dalam hubungan batin atau hubungan rohani, di mana satu terhadap yang lain adalah saling percaya, saling bergantung, dan saling menolong.

Ancaman-ancaman yang terjadi dalam pernikahan hanya bisa diatasi dengan iman dan kesetian kepada Tuhan dan menjadi pondasi bagi suami istri dalam mempertahankan rumah tangga mereka. (1) Ancaman dafri dalam, perbedaan dua orang yang menikah akan selalu menjadi ancaman terhadap pernikahan kalau tidak dapat dikelola dengan bijaksana. Perbedaan suku, selera, hobi, dan seribu satu macam perbedaan, kalau tidak diterima dengan pengertian yang dalam, akan menjadi ancaman utuhnya pernikahan. Banyak pasangan yang bercerai selalu mengemukakan alasan klasik atau lagu lama ”sudah tidak cocok lagi”. Sebenarnya dapat ditanyakan yakni kapan suami istri sungguh-sungguh cocok? Yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keutuhan keluarga bukanlah kecocokan melainkan kesediaan untuk mengerti, menerima dan berkorban demi pasangan hidup. Egoisme kan menjadi sebab utama kehancuran pernikahan kalau yang dijadikan standar adalah kecocokan.

(2) Ancaman dari luar. Ada keluarga yang suka ikut campur, ada kawan-kawan lama yang mungkin berpengaruh. Ada godaan materialisme yang mungkin mengakibatksn ketidakharmonisan misalnya income suami agak kurang atau kalau istri terlalu banyak tuntutan. Ancaman-ancaman itu hanya bisa diatasi dengan iman dan kesetiaan kepada Tuhan yang akan menjadi pondasi bagi suami istri memeprtahankan rumah tangga mereka.

Pemahaman mengenai keluarga meliputi masalah hubungan suami istri, hubungan orang tua anak, masalah kesejahteraan keluarga dan peran keluarga dalam kehidupan rohani dan sosial. (1) Perubahan atau peningkatan hubungan suami istri dapat menimbulkan beberapa persoalan. Masalah seksual, masalah kesehatan, dan masalah kebutuhan keluarga. (2) Banyak orang tua menganggap anak-anaknya sebagai obyek yang harus diatur sesuai obsesi orang tua pendidikannya, seleranya, pokoknya oran tua maunya serba mengatur. Sebaliknya anak-anak modern selalu merasa bahwa mereka adalah pribadi yang memiliki kebebesan menentukan sendiri jalan hidup. (3) tetapi tidak sedikit orang tua yang salah kaprah. Kesejahteraan selalu diukur secara kuantitas dalam bentuk materi. Sebenarnya kesejahteraan itu mencakup semua segi kehidupan dan menyangkut kualitas kehidupan. Materi sangat relatif. Banyak uang belum tentu memberi kesejahteraan. Sebaliknya sedikit materi kalau dikelola dan diterima dengan rasa syukur akan membawa damai sejahtera keluarga. Jadi kesejahteraan itu sangat bergantung kepad sikap kita dala mengelola kehidupan rumah tangga. Kesejahteraan keluarga akan terjamin kalau keluarga mencari kesejahteraannya denganbaik, tanpa harus berbuat curang.

BAB 3

Pernikahan dan Seksualitas

Seksualitas berasal dari kata latin secare artinya memotong atau memisahkan. Dalam seksualitas aku dan engkau adalah pria dan wanita. Seksualitas membuat pria dan wanita benar-benar mengalami perjumpaan maka seksualitas dianggap sebagai perjumpaan yang paling intim.

Seksualitas adalah satu anugerah dari Allah yang baik, yang memiliki makna untuk menjadi sarana kemanusiaan yang utuh antara suami istri sebagai Dwi tunggal.

Dalam perkawinan seksualitas mempunyai dua tujuan. Kedua tujuan itu berbeda secara prinsip tapi berkaitan satu dengan yang lain. Tujuan yang pertama yaitu sebagai pernyataan kasih, dan yang kedua adalah untuk melanjutkan keturunan atau regenerasi. Dalam hubungan cinta orang saling menerima dan memberi, maka dalam hubungan seks yang merupakan ungakapan cinta yang paling mendalam, pasangan saling memberi dan menerima dan mengalami kepuasan dan kesenagan bersama. Namun demikian tidak dapat di sangkal bahwa tujuan hubungan seks tidak berhenti pada pernyataan cinta kasih sebab melalui hubungan seks itu terjadilah kelangsungan keturunan (prokreasi) yaitu kalau hubungan seks menghasilkan pembuahan. Dalam konteks etika kristen maka terjadilah kehamilan dan lahirlah seorang anak dari sebuah perkawinan diterima sebagai berkat Tuhan.

Seksualitas memiliki tujuan untuk menyatakan cinta kasih yang eksklusif dan sekaligus sarana melanjutkan keturunan umat manusia. Maka seksulitas sebaiknya dilakukan dalam pernikahan yang sah.

Tiap pasangan bertanggung jawab terhadap akibat hubungan seksual yang dilakukannya. Tanggung jawab itu meliputi: (a) tanggung jawab terhadap diri sendiri, yaitu meliputi tidak egois (puas sendiri) dan tidak diperbudak nafsu seksual. (b) tanggung jawab terhadap partner atau pasangan hidup, khususnya dampak psikologis. Hubungan seksual akan membawa implikasi psikologis pada pasangan. Maka tidak boleh ada pemaksaan dan kekerasan. Hal ini berlaku juga bagi mereka yang melakukan hubungan seks diluar nikah. (c) Tanggung jawab terhadap dampak sosial hubungan seksual. Artinya jangan melakukan hubungan seksual kalau hubungan itu merusak komunikasi salah satu pasangan dengan masyarakt sekeliling. Perzinahan atau perselingkuhan dapat merusak hubungan si pelaku dengan masyarakat di sekitarnya. (d) Tanggung jawab terhadap kemungkinan adanya anak. Anak yang lahir dari hubungan seksual harus diterima, dicintai dan dilindungi. Janin tidak boleh digugurkan apalagi dibuang atau dibunuh. Sekalipun harus betanggung jawab melahirkan, mengasuh, dan mencintai serta melindungi anak tersebut.

Dalam hubungan seks harus diperhatikan agar nafsu seksualitas tidak memperbudak kita, sebaliknya dialami untuk membahagiakan hidup bersama suami istri dalam rumah tangga.

Penyimpangan seksual dapat dikategorikan ke dalam dua bagian yaitu penyimpangan disengaja dan penyimpangan yang tidak disengaja. Penyeimpangan yang disengaja meliputi: pelacuran, percabulan, dan perzinahan. Penyimpangan disengaja ini terjadi karena ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu seksual. Penyimpangan tak disengaja misalnya karena lahir sebagai wadam/waria

Praketik-praktek penyimpangan yang disengaja dengan sendirinya tidak dapat ditolerir karena bertentangan dengan nilai-nilai moral yang normal dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap orang bertanggung jawab untuk meminimalkan praktek penyimpangan seksual karena mengganggu kaharmonisan hidup bersama.

Mereka yang mengalami gangguan seksualitas seperti wadam/ Waria harus dibimbing dan diterima agar mereka melakukan kompensasi negatif melainkan memfokuskan dirinya pada hal-hal yang positif. Juga anak-anak muda yang terdorong melakukan mastrubasi/rancap perlu dibimbing agar tidak menjadi egois, dan menyalurkan gairah seksualitas dengan kegiatan olaraga dan bergaul secara positif.

BAB 4

Pornografi

Kata pornografi berasal dari dua kata Yunani porneia yang berarti seksualitas yang tak bermoral atau tak beretika atau yang popular disebut sebagai zinah. Dan kata grafe berarti kitab atau tulisan. Kata kerja porneo berarti melakukan tindakan seksual tak bermoral, dan kata bendanya yaitu porne berarti perzinahan atau juga prostitusi. Ketika kata itu dirangkai dengan kata porno menjadi pornografi, maka yang dimaksudkannyaadalah tulisan atau penggambaran tentang seksualitas yang tak bermoral baik secara tulisan maupun secara lisan. Dengan sendirinya tulisan yang memakai kata-kata yang bersangkutan dengan seksualitas dan memakai gambar-gambar yang memunculkan alat kelamin atauhubungan kelamin adalah pornografi. Berbeda dengan pornoaksi, yaitu penampilan seseorang yang sedikit banyak menonjolkan hal-hal seksual misalnya gerakan-gerakan yang merangsang atau cara berpakaian minim yang menyingkap sedikit atau banyak bagian-bagian yang terkait dengan alat kelamin misalnya bagian dari paha dan payudara.

Secara psikologis Pornografi membawa beberapa dampak, antara lain timbulnya sikap dan perilaku anti sosial. Selain itu kaum pria menjadi lebih agresif terhadap kaum perempuan. Dari sudut pandang dampak sosial, dapat disebutkan beberapa contoh misalnya meningkatnya tindak kriminal di bidang seksual, baik kuantitas maupun jenisanya. Misalnya sekarang kekerasan sodomi mulai menonjol dalam masyarakat atau semakin meningkatnya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Contah lain ialah eksploitasi seksual untuk kepentingan ekonomi yang semakin marak dan cenderung dianggap sebagai bisnis yang paling menguntungkan.

Pornografi telah membawa dampak sangat buruk bagi kehidupan manusia. Maka tidak bisa lain, harus ada usaha bersama seluruh lapisan masyarakat melawan pornografi suapaya tidak semakin jauh menjerumuskan kita kepada pengingkaran akan hakekat kita sebagai manusia yang dikarunai segala sesuatu oleh sang khalik/ pencipta, termasuk seksualitas untuk tugas dan tujuan mulia, yaitu menciptakan generasi manusia secara berkenlanjutan dengan keadaan sehat jasamani dan raohani, jiwa, dan raga.

Pornografi pastilah merusak kehidupan umat manusia pada umumnya, kini dan di masa yang akan datang. Maka sangat diperlukan adanya usaha bersama melawan pornografi secara efisien, yaitu:

1. pendidikan seks dalam keluarga dan institusi agama. Bagaimanapun pornografi tidak akan mungkin lagi terbendung. Maka pertahanan yang seharusnya diperkuat, yaitu pendidikan terhadap generasi muda dan orang dewasa supaya pengaruh kuat pornografi tidak menjerumuskan.

2. pemerintah harus menerbitkan media dan pelaku pornografi melalui konstitusi dan kesadaran produsen. Kiranya media pelu mewas diri supaya tidak mendukung arus ponografi.

3. pemblokiran cyber porno melalui kebijakan konstitusi negara atau pribadi, khusunya keluarga. Cyber porno merupakan tekanan pornografi yang paling kuat dan paling muda bagi mereka punya saluran internet. Tetapi yang paling penting adalah pengadilan dari konsumen terhadap informasi yang terkait dengan pornografi. Tanpa pengadilan diri ini, upaya konstitusi apa pun rasanya tidak dapat bermenfaat.

Akhirnya dibutuhkan kerja sama dari semua pihak untuk menyiasati pornografi. Mungkin kita tidak harus menjadi munafik dengan kondisi masyarakat modern yang memang sangat terbuka. Kita tidak bisa menutup mata begitu kuatnya pengaruh ponografi ditengah masyarakat dan hampir menipa semua lapisan masyarakat, itu sebabnya yang harus dilakukan adalah menyadarkan masyarakat akan pengaruh dan dampak pornografi.

BAB 5

Pemberdayaan Keluarga

Dalam keyakinan Krsiten keluarga dipahami sebagai bentukan Allah sendiri melalui pernikahan. Maka untuk memahami keluarga perlu dimulai dengan memahami pernikahan. Pernikahan adalah persekutuan hidup yang dilandasi Kasih Allah dan yang merupakan persekutuan tubuh, jiwa, dan roh antara suami dan istri. Kasih yang sama harus melandasi hubungan keluarga yaitu hubungan orang tua dengan anak dan hubungan anak dengan anak, serta hubungan semua orang.

Salah satu masalah keluarga dewasa ini adalah bahwa lemabga pernikahan tidak dipandang penting. Di Barat mulai diperkenalkan single parents, pasangan homoseksual, sewa menyewa rahim atau pasangan kumpul kebo. Ada pergeseran tentang fungsi pernikahan sebagai pembentuk keluarga. Pengaruh pergeseran ini di Indonesia ternyata mulai nampak dalam masyarakat paling kurang dalam masyarakat perkotaan.

Pembicaran tentang pemberdayaan keluarga dalam rangka ”Civil society”, maka persoalan-persoalan diatas harus diperhatikan dan diwujudkan melalui kegiatan seperti berikut ini:

* Pembinaan keluarga yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat (agama, profesi, lembaga pendidikan, dan sebagainya), haruslah bersifat komprehensif atau holistik, sehingga menyentuh kebutuhan fisik material mental, moral, etik, dan spiritual.

* Peranan pernikahan sebagai pembentuk atau pondasi keluarga harus dipertahankan. Lambaga pernikahan harus dianggap sebagai satu- satunya altarnatif bentuk keluarga dan membina keluarga.

* Fungsi-fungsi setiap anggota keluarga harus terus dipertahankan, dikembangkan oleh anggota keluarga maupun masyarakat sehingga dapat berjalan dengan baik, suami, istri serta anak harus diperlakukan sebagai individu yang berperan dalam keluarga.

* Tujuan keluarga harus dipandang dengan pengertian yang luas, sehingga masyarakat tidak mengukur dengan materi sebagai kebahagiaan, pihak pers tidak harus mendorong konsumerisme ataupun maerialisme keluarga dengan iklan-iklannya.

* Kelurga harus berfungsi sebagai lembaga negara mini, dimana nilai demokratisasi, apresiasi, kebebasan, tanggungjawab, keadilan, kasih, dan sebagainya mesti dijalankan dan diperaktekan untuk membina semua anggota keluarga menjadi keluarga yang kuat dan sejaterah.

* Lembaga apapun juga harus memberi keadilan kepada semua anak untuk dapat belajar yang sama di Indonesia tanpa memandang matrialistik, sehingga memiliki kesempatan belajar yang sama.

* Sistem-sistem yang dibuat untuk membangun kehidupan keluarga harus dengan sangat tegas dan konsisten mengandung nilai-nilai ideal yang karenanya berwibawa bagai generasi muda. Sistem ”finati dan reward” dalam arti yang luas sehingga genderasi muda dapat menghargai hidup.

Pergeseran-pergeseran fungsi keluarga maupun peran dalamkeluarga perlu dikelola dengan baik agar tidak menghilangkan fungsi keluarga sebagai lembaga pembentukan keluaga dan fungsi masing-masing anggota keluarga dapat diterima tanpa harus merasa yang seorang lebih dari yang lain.

Salah satu tantangan kehidupan keluarga masa kini adalah perceraian. Banyak sekali pasangan muda yang suka bercerai dan seolah menjadi mode perkawinan. Perceraian sebenarnya merupakan tanda dari kegagalan perkawinan. Suami istri tidak mampu melihat secara jelas apa yang menjadi tujuan perkawinan mereka dan karena itu ketika ada badai langsung perceraian menjadi taruhannya. Memang tiap perceraian mempunyai latar belakangnya masing-masing. Ada yang disebabkan oleh perselingkuhan, ketidakcocokan suam istri dan ada pula yang disebabkan oleh tindakan kekerasa, misalnya dari suami terhadap istri.

BAB 6

Pendidikan Seksual di Tengah Keluarga

Tugas pendidikan seks memang bukan tugas sekolah, bukan tugas guru biologi atau seksolog, melainkan tugas orang tua di rumah. Sayangnya banyak orang tua masih menganggap tabu berbicara tentang seksualitas kepada anak-anaknya. Di zaman modern ini banyak anak muda terjerumus ke dalam masalah seks bebas, narkoba, dan lain-lainnya disebabkan kurangnya perhatian orang tua kepada anak-anaknya. Atau dengan kata lain diabaikannya pendidikan seksual dalam keluarga menyebabkan banyak anak muda terjerumus ke dalam penyimpangan seksualitas pada masa mudanya.

Pendidikan seksual adalah suatu bentuk pembinaan pemahaman diri setiap orang akan keberadaannya sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam konteks teologi Kristen itu berarti pendidikan seksual adalah pembinaan untuk mengenal diri selaku ciptaan Allah menurut citraNya. Maka pendidikan seksual sebenarnya berarti pendidikan kepribadian kristiani. Alasannya ada dua. Pertama, Tuhan menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan (kejadian 1:26). Maka dalam pendidikan perlu ditekankan bahwa manusia tidak boleh melawan kodratnya. Kedua, manusia diciptakan sebagai citra Allah (Kejadian 1: 28), itu berarti manusia itu suci. Walaupun mereka jatuh ke dalam dosa Tuhan sudah menebus di dalam Yesus Kristus sehingga menjadi manusia baru (2 Korintus 5:17). Itu sebabnya manusia baru itu harus menjaga kesucian dan kekudusannya (Efesus 5:1-12; Kolose 3: 5-8).

Pengabdian pendidikan seksual dalam keluarga menyebabkan banyak anak muda terjerumus ke dalam penyimpangan seksualitas pada masa mudanya.

Pendidikan seksualitas adalah suatu bentuk pembinaan pemahaman dari setiap orang akan keberadaannya sebagai laki-laki dan perempuan.

Pendidikan seksualitas tidak hanya diajarkan kepada anak-anak tetapi kepada setiap orang tua maupun muda. Bagi orang muda supaya semakin memahami dirinya dan berpikir secara dewasa, bagi orang tua supaya mampu menolong anak cucu mereka (generasi muda) dalam memahami dan menerima serta memperkembangkan hidupnya sebagaimana seharusnya. Selain itu juga karena banyak orang tua yang juga mengalami penyimpangan seksual pada masa mudanya.

Pendidikan seksualitas harus bersifat multi disiplin, yang berarti selalu mencakup baik pemahaman tentang manusia secara biologis, sosiologis, psikologis, dan teologis. Semua bertujuan untuk membentuk keperibadian dan karakter yang baik, termasuk mengahargai seksualitasnya yang diberikan Tuhan dan diciptakan Tuhan kepada setiap orang dalam dunia ini.

Tujuan pendidikan seksual adalah agar sejak dini anak mengenal dengan baik keadaan dirinya, menerima dan mengembangkan pribadinya sebagai citra Allah. Dengan demikian ia hidup dengan menghargai dirinya, menghargai sesamanya, dan menghormati Tuhan sebagai penciptanya.

Tentu ada tujuan khusus menyangkut seks, yaitu supaya anak dapat menghargai alat kelaminnya sebagai anugerah Tuhan yang pada saatnya akan berfubgsi sesuai tujuan Tuhan menciptakan dan mengaruniakannya. Dalam rangka tujuan ini, orang tua tidak perlu menjelaskan seperti merumuskan dalil-dalil atau definisi, melainkan cukup dengan memberikan gambaran seperti yang dikemukan di atas, melaui dialog-dialog, dengan sendirinya anak-anak akan memahami tujuan percakapan atau dialog mengenai masalah seksualitas tersebut.

BAB 7

Perceraian

Salah satu trend dalam masyarakat sekarang ini adalah naiknya angka perceraian dari pasangan orang-orang yang sudah menikah. Lebih-lebih oleh karena pasangan-pasangan itu adalah pasangan muda dan kalangan ’the haves’, khususnya kaum selebriti. Tentu saja dalam lingkup masyarakat biasa, kecenderungan itu juga ada, Cuma kurang atau bahkan tidak terekspos maka tidak menjadi perhatian publik. Kasus-kasus perceraian yang sering diekspos bisa menjadi suatu bentuk ’pendidikan tak langsung’ yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat, khususnya generasi muda, tentang makna dan tujuan pernikahan. Seolah pernikahan adalah suatu hubungan biasa, yang kalau tak cocok atau menghadapi suatu masalah, segera saja bisa diakhiri.

Bercerai diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain karena industrialisasi, urbanisasi, dan kualitas kehidupan modern (kedewasaan). Industrialisasi memungkinkan masyarakat menjadi terbuka terhadap apa yang dulu disebut tabu dan menyediakan sarana untuk menikmati kehidupan dengan nyaman dan bebas tanpa hambatan apapun. Urbanisasi memungkinkan manusia bertumpuk di kota-kota besar, berhimpitan dan bertemu lebih intensif. Lingkungan kota menyebabkan nilai-nilai lama yang dipegang kuat di desa mulai meluntur, termasuk nilai perkawinan sebagai ikatan abadi tak lagi dipegang dengan kuat.

Alasan-alasan bercerai, yaitu (1) Pendidikan. Di Amerika menunjukkan bahwa angka perceraian di kalangan mereka yang pendidikannya rendah mencapai 55%. Di Indonesia, angka perceraian di kalangan masyarakat kurang berpendidikan banyak ditemukan di desa-desa, dan variabelnya dengan perkawinan dini dan dengan tingkat pendapatan yang rendah. (2) Pendapatan/pekerjaan. Masalah ekonomi sering juga menjadi alasan orang bercerai. Terlebih kalau suami tak punya pekerjaan tetap. (3) Perkawinan dini. Perempuan muda yang menikah pada usia 18 tahun tiga kali berkecenderungan bercerai dibandingkan perempuan yang menikah pada usia 20 tahun ke atas. Bahkan mereka yang menikah pada usia 18-19 tahun 50% mengalami kegagalan pernikahan. Perceraian yang disebabkan perkawinan dini sering juga kita temui di Indonesia. Kenyataan ini terkait dengan kedewasaan emosional pasangan muda. Mereka masih sangat labil sehingga ketika menghadapi badai rumah tangga, perceraian sering menjadi alternatif yang ditempuh. Banyak kasus pernikahan tak bahagia misalnya karena suami yang suka memukul istri, suami/istri yang selingkuh, komunikasi yang macet, suami yang tak mampu memuaskan istri karena penyakit teretentu, dan lain sebagainya.

Kasus-kasus perceraian yang banyak diberitakan oleh media akhir-akhir ini, terutama melalui TV tertentu sepertinya menjadi virus pembawa wabah perceraian menjadi penyakit menular. Pemberitaan yang disertai pandangan bahwa bercerai itu biasa bahkan menjadi alternatif mengatasi kemelut keluarga dapat membentuk opini bahwa perceraian itu adalah sesuatu yang normal dan lumrah bahkan dianggap kebajikan.

Mengakhiri pernikahan dengan bercerai memang sah secara hukum, namun karena perkawinan merupakan persekutuan semur hidup, seharusnya masalah-masalah yang timbul dalam rumah tangga dapat diperbaiki dan dipulihkan dengan kedewasan antara keluarga yang sedang memiliki masalah.

Perceraian tidak pernah ada yang menyenangkan, perceraian pastilah keputusan yang menyakitka, menimbulkan luka besar dan sangat sulit disembuhkan untuk jangka waktu yang lama, terutama bagi pihak yang tidak pernah menghendaki perceraian terjadi

Korban dari perceraian tidak lepas dari anak-anak, dampak buruk terhadap anak-anak sungguh begitu terasa, mereka mungkin akan menjadi korban paling buruk.

Dengan sedemikan banyak dampak buruk percerian memang lebih baik mencegah perceraian terjadi sebagai alternatif mangatasi masalah dalam pernikahan serta rumah tangga.

Pernikahan bukan tidak memiliki masalah dan persoalan akan tetapi seberapapun beratnya masalah keluarga, sesungguhnya tidak ada yang tidak dapat diatasi, yang terpenting masalah kometemin dalam perkawianan dan rumah tangga sebagai suatu persekutuan hidup yang suci dan abadi.

BAB 8

Homoseksual

Homoseksual berarti hubungan seks dengan sesama jenis, sedangkan heteroseksual berarti hubungan seks dengan lawan jenis. Homoseksual berasal dari kata Yunani ”homoos” berarti sama. Praktek homoseksual biasanya diawali dengan homofilia (jatuh cinta pada sesama jenis). Kemudian berkembang menjadi praktek homoseksual (praktek hubungan seksual dengan sesama jenis).

Teori psikoanalisa tradisonal meyakini bahwa homoseksualitas disebabkan oleh trauma masa kanak-kanak yang menyebabkan konflik intrafisik dan yang telah menahan perkembangan psikoseksual. Maka dari segi psikoanalisa maupun teori perilaku meyakini bahwa homoseksualitas adalah suatu penyakit atau perilaku menyimpang.

Orang banyak (ilmuwan maupun masyarakat awam) bersepakat bahwa homoseksualitas merupakan akibat dari suatu proses perkembangan abnormal yang didorong oleh beberapa jenis patologi.

Sikap etis terhadap kaum homoseksualitas masih sangat dipengaruhi oleh pandangan lama bahwa homoseksualitas adalah ”penyakit” atau ”keadaan abnormal” atau ”penyimpangan” oleh karena itu, anjuran masih lebih banyak ditekankan pada ”pertobatan” dari pelaku homoseksual ke heteroseksual yang dianggap hubungan seksual yang normal dan sehat.

Teks-teks Alkitab membandang praktek homoseksual sebagai sesuatu yang negatif. Dalam Imamat 18:22, hubungan seksual dengan sesama jenis dianggap sebagai kekejian. Perlindungan yang dilakukan oleh Lot terhadap tamunya sambil menyerahkan kedua putrinya kepada orang yang meminta taunya itu untuk dipakai adalah kaum homoseksual (Kej. 19:5). Istilah ”dipakai” berarti melakukan hubungan seksual dengan cara homo, yang secara tersirat

Dikutip juga dalam Yehezkiel 16:49, dengan menunjuk perbuatan orang Sodom itu sebagai kekejian, yaitu kata yang sama dipakai dalam Imamat 18:22 di atas yang menunjuk kepada perbuatan homoseksual. Dalam PB, praktek homo orang Sodom dikritik juga dalam Yudas 7, sebagai sumber penghukuman Allah. Praktek homoseksual rupanya telah menjadi sesuatu yang terbiasa di lingkungan masyarakat Kanaan. Dari praktek yang dilakukan orang Sodom itu, muncul istilah sodomi (salah satu cara kaum homoseksual melakukan hubungan seksual, yaitu melalui anus).

Dalam PB, perbuatan homoseksual juga dipandang negatif. Persetubuhan dengan cara homoseksual diapandang sebagai bukti pemberontakan manusia kepada Allah (Roma 1:26-27). Dalam surat Paulus yang lain, praktek homoseksual dipandang sebagai perbuatan orang berdosa dan orang durhaka (1 Kor. 6:9, 1 Tim. 1:10). Apakah dengan demikian perbuatan homoseksual merupakan perbuatan dosa? Alkitab tidak memberikan argumen yang terang tentang alasan menganggap perbuatan homoseksual sebagai perbuatan menyimpang. Tetapi secara implisit dapat disebutkan beberapa alasan mengapa perbuatan homoseksual dipandang negatif bahkan dianggap perbuatan dosa.

Kemajuan dunia modern telah memungkinkan manusia semakin rasional dan masalah hubungan seksual dipandang sebagai suatu hak istimewa dan terkait dengan kerahasiaan setiap orang. Dalam kebebasannya, orang modern cenderung memandang hubungan seksual secara homo sebagai suatu yang wajar oleh yang menyukainya. Ia tidak lagi dipandang dosa dan karenanya tidak dianggap selaku perbuatan yang menyimpang. Selain itu pelaku homoseksual pun tidak sama latar belakangnya. Ada pelaku yang melakukannya karena alasan fisik, misalnya karena secara hormonal ia berpotensi feminin tetapi beralat kelamin maskulin atau sebaliknya. Ada juga yang karena alasan psikologis, misalnya seseorang yang pernah dikecewakan oleh lawan jenisnya sehingga mengarahkan cintanya pada sesama jenis. Ada pula karena alasan ”ala bisa karena biasa”. Termasuk kategori ini adalah mereka yang hidup dalam asrama dan penjara.

BAB 9

Aborsi

Aborsi tidak mungkin dilihat dari sudut tertentu saja tanpa mempertimbangkan sudut pandang yang lainnya. Beragam karena dilihat secara medis, secara hukum, dan etika. Masing-masing sudut pandang walaupun bisa bertemu dan sepaham tidak jarang terjadi pula kontradiksi. Oleh karena itu, tidaklah mungkin melihat aborsi dari sudut tertensu saja tanpa mempertimbangkan sudut pandang lainnya.

Dari sudut pandang etika atau moral, banyak pula persepsi yang berbeda. Perbedaan antar agama tentu saja ada. Tetapi dari anutan sistem etika pun menyisakan perbedaan yang tidak sedikit, antara yang pro dan yang kontra aborsi. Para penganut sistem etika deontologi tentu saja meyakini bahwa aborsi adalah suatu pembunuhan yang tidak bisa dibenarkan dari sudut moral, apapun alasannya. Sebaliknya, penganut sistem etika teleologi akan berpendirian bahwa aborsi bisa saja dilakukan, tergantung alasan dan akibat apa yang akan ditimbulkannya.

Pengertian aborsi biasa diartikan sebagai gugurnya fetus dari rahim ibu. Oleh karena itu aborsi sering disebut juga keguguran dan penguguran kandungan. Aborsi dilakukan dengan spontan dan sengaja. Spontan berarti keguguran yang biasa disebut miskram (usia 25 atau 26 minggu kehamilan). Aborsi sengaja biasanya dilakukan dengan alasan tertentu (kategori kriminal dan alasan medis). Aborsi sengaja atau pengguguran kandungan biasanya dilakukan karena beberapa alasan, yaitu alasan medis, alasan psikologis-sosiologis, dan alasan ekonomis. Artinya bahwa aborsi dapat dipahami dari kasus-kasus dengan alasan-alasan dibaliknya. Aborsi karena alasan medis, biasanya dibedakan atas alasan kesehatan ibu dengan kesehatan fetus. Seorang ibu hamil yang oleh dokter didiagnosa mengidap penyakit berbahaya mungkin dapat menajdi alasan aborsi. Aborsi karena alasan psikologis-sosiologis, biasanya ditemukan pada kasus gadis-gadis remaja yang hamil di luar nikah atau karena perkosaan. Sang remaja maupun keluarganya biasanya tidak dapat menerima kehamilan demikian sehingga cenderung melakukan aborsi. Aborsi karena alasan ekonomis lebih terkait dengan pasangan subur yang telah punya banyak anak sementara ekonomi keluarga pas-pasan. Dari pada menanggung beban ekonomi yang sangat berat kalau anak lahir lagi, lebih baik digugurkan saja.

Aborsi sengaja atau pengguguran kandungan biasanya dilakukan karena alasan medis, alasan psikologis, sosiologis, dan alasan ekonomis.

Aborsi adalah tindakan kriminal yang dilakukan dengan tiga alasan utama: sisologis-psikologis, alasan ekonomi, dan politis.

Permasalah pokok yang dihadapi dalam masalah aborsi khususnya aborsi provocatus, yaitu:

* Soal hak (antara hak Ibu dan hak fetus)

* Menyangkut masalah fetus

Dalam segi hukum ada empat model atauran tentang aborsi diseluruh dunia:

1. Model larangan

2. Model mengizinkan

3. Model Preskripsi

4. Model keleluasan Pribadi

Aborsi dalam perspektif etika terbagi dalam:

* Tidak hanya menjadi wacana ilmuan maupun para praktisi medis, melainkan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

* Masalah aborsi telah menimbulkan kubu utama dalam masyarakat barat (pro-life dan pro-choice).

* Sikap pro-kontra aborsi ternyata juga beredar dalam agama.

Umumnya ilmuan setuju bahwa kehidupan dimulai ssegera setelah terjadi zigot. Sebagian lagi menyebutkan pada usia kehamilan tertentu embrio baru bisa disebut kehidupan.

Dalam perspektif Kristen hampir tidak ada ayat Alkitab yang berbicara tentang Aborsi, kecuali teks Keluaran 21:22. Para Reformator juga menekankan bahwa fetus telah menjadi pribadi sejak pembuahan sebab sejak saat itu fetus telah dihembusi nyawa.

BAB 10

HIV/AIDS

Tiap tanggal 01 desember umat manusia memperingati hari AIDS sedunia, kita bukan hanya merenungkan nasib sudara kita yang telah meninggal akibat terserang oleh Virus ganas HIV/AIDS yang sungguh sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya, penyebaran Virus ganas HIV/ AIDS dikarenakan narkoba dan pergaulan bebas, kasus ADIS pertama dipelopori pada tahun 1981 oleh pusat pengawasan penyakit Amerika serikat, AIDS yang dikenal dengan HIV (human Immunodeficiency virus) telah berkembang sangat cepat. Diperdiksi tahun 2000 lalu terdapat 40 juta orang terkena Virus mematikan ini.

AIDS seringkali dikaitkan dengan penyakit maut dan karenanya sering dianggap sebagai kutukan dari Tuhan. Dalamkonteks itu peranan agama dalam menghadapi penyebaran HIV/AIDS menjadi penting. Hak ini didukung kenyataan bahwa penyebaran virus HIV/AIDS terkait juga dengan masalah perilaku seksual manusia maupun penggunaan obat-obat terlarang. Maka dapat dikatakan bahwa masalah HIV/AIDS memang penuh dengan persoalan etis.

AIDS disebabkan oleh retrovirus, yang disebut Human Imunodeficiency Virus (HIV). Sasaran utama virus HIV adalah subpopulasi sel limfosit yang disebut sel T4 Penolong (T4 Helper Cells) yang sangat penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit. HIV menginfeksi danmembunuh sel T4 Penolong sehingga menyebabkan hilangnya komunikasi antar sel sistem. Pertahanan tubuh menjadi menurun juga kekebalan tubuh terhadap penyakit.

Virus HIV penyebab AIDS secara selektif menyerang darah putih khusus yang penting dari proses koordinasi mekanisme pertahanan tubuh. Bila darah putih ini hancur, penderita yang terinfeksi menjadi rentan terhadap berbagai macam infeksi.

Bila HIV virus ini masuk ke dalam sel, virus ini akan bergabung dengan bahan ginetik tuan rumahnya. Pakar-pakar virus percaya bahwa sebagai hasil dari proses ini maka infeksi ini akan terjadi seumur hidup, sehingga penderita inffeksi HIV ini akan juga tertular seumur hidup.

AIDS adalah penyakit menular yang disebabkan virus. Penyakit ini dapat merusak perut, usus, kulit, otot, dan otak. Ia menghancurkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi dengan akibat bahwa tubuh tidak mempunyai pertahanan terhadap penyakit. Obat-obatan dapat membantu tetapi sampai sekarang belum diketahui adanya obat yang dapat menyembuhkan AIDS.

Pertimbangan teologis etis kristen tidak jauh beda dengan pertimbangan etis umum di atas. Teologi dan etika kristen mengajarkan bahwa hukum utama adalah kasih. Dilihat dari sudut norma kasih maka harus dikatakan bahwa yang paling penting adalah melayani manusia. Kalau umat manusia seperti sekarang ini, terancam oleh epidemi HIV/AIDS, maka mestinya dibenarkan secara etis apabila kondom digunakan sebagai salah satu alat untuk mencegahnya.

Tuhan Yesus pernah menghadapi kasus yang sulit ketika harus menyembuhkan seorang sakit pada hari Sabat. Menurut taurat Yahudi pada hari sabat dilarang bekerja. Maka pada Tuhan Yesus dilontarkan pertanyaan: ”....bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?” (Matius 12:10). Tuhan Yesus menjawab, bukan dengan boleh atau tidak, tetapi dengan mengatakan bahwa berbuat baik pada hari sabat adalah tindakan yang benar dan baik walaupun melanggar norma (Matius 12:12). Teologi dan etika kristen bagaimanapun juga harus mengutamakan diterapkannya pencegahan normatif, misalnya agar semua pasangan manusia ssetia dalam hubungan seks monogami. Agar tidak mempraktekkan hubungan seks yang menyimpang (homoseksual misalnya), agar tidak menggunakan narkoba, dan seterusnya. Namun demikian, usaha lain itu tidak harus menutup kemungkinan penggunaan kondom untuk mencegah penyebaran virus.

Kritik Terhadap Buku Etika Seksual Kontemporer Karya Dr. R.P. Borrong

Saya menyukai buku etika ini. Segala yang tertulis dari buku ini turut mengahadirkan pendekatan nilai-nilai kristiani. Misalkan untuk memulai pembahasan sekitar masalah seksual kontemporer, penulis mengkaji terlebih dahulu kepada kasus yang ada baik di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Hal ini menekankan bahwa semua harus bertolak dari pengertian yang teologis dan etis. Untuk menjawab persoalan yang muncul di masyarakat, penulis mengajak pembaca untuk memahami sisi etisnya. Hal etis yang diterapkan oleh penulis adalah etis-teologis. Sekalipun penulis banyak menguraikan cara-cara modern yang popolel tentang seksualitas di tengah masyarakat, penulis tetap fokus apa yang diajarkan oleh Alkitab, termasuk yang Yesus katakan langsung.

Karena penulis memeiliki latar belakang teologi yang fokus kepada keahlian etika kristen, maka kajian-kajian utama dalam buku ini menunjuk kepada hal yang seharusnya (sepatutnya). Menurut saya hampir semua buku-buku yang dihadirkan adalah ulasan tentang etika, termasuk dengan karya akhirnya dari strata satu hingga strata tiga. Buku-bukunya antara lain adalah etika bumi baru, etika sosial politik, dan etika seksual kontemporer. Begitu juga di media cetak harian. Dengan demikian sorotan penulis tentang isu-isu yang terjadi di masyarakat khususnya berkaitan dengan kehidupan moral manusia, penulis selalu menanggapinya dengan kritis, lugas, dan tajam.

Ketajaman penulis terlihat ketika ia menuliskan pentingnya peran keluarga sebagai penentu utama dalam memberikan pendidikan seks sejak dini kepada seluruh anggota keluarganya. Penulis menegaskan bahwa orang tua harus berupaya untuk tidak tabu dalam mengajarkan hal yang benar dan tepat kepada anak-anaknya tentang seksualitas. Penulis melihat kehidupan di tengah masyarakat terdapat kegagalan orang tua untuk membawa anak-anaknya kepada kehidupan yang bermoral dan akhak. Penulis juga membandingkan dengan para orang tua yang ada di Barat, yaitu maraknya single parents, pasangan homoseksual, sewa menyewa rahim, dan pasangan kumpul kebo. Menurut penulis hal ini terjadi karena ada pergeseran tentang fungsi pernikahan sebagai pembentuk keluarga. Dengan membandingkan kehidupan di Barat maka penulis melihat kehidupan yang ada di masyarakat Indonesia, ia mengatakan sudah mulai nampak, paling kurang dalam masyarakat perkotaan. Tegasnya yaitu fungsi-fungsi idealnya semakin kabur dalam kehidupan keluarga modern yang hampir semua waktunya dipergunakan untuk kesibukan bekerja, belajar dan asyik dengan teknologi. Iptek telah menggeser waktu untuk keluarga menjadi waktu untuk menonton TV, bermain game, internet, chatting, dan sebagainya.

Penulis berusaha mendalami apa yang terjadi dengan kehidupan keluarga yang semua anggota keluarganya mengalami pergeseran nilai-nilai kristiani. Penulis menemukan bahwa banyak anggota keluarga hidup bersama tetapi tidak bisa berkomunikasi dan menjadi sangat kesepian. Hasil temuannya ialah kesibukan orang tua menimbulkan masalah pro-kontra ”quality time” dengan ”quantity time”. Menurut penulis keduanya mungkin benar, tergantung dari penerimaan tiap anggota keluarga. Penulisa juga menyarankan hal yang penting dalam kehidupan keluarga yakni membudayakan sikap ”high touch” di antara sesama anggota keluarga.

Berdasarkan apa yang terjadi dengan kehidupan keluarga tersebut penulis melandasi bahwa keluarga Kristen harus bertolak pada pesan Injil, yakni ”hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu” (Kel. 20:12). Begitu juga yang terdapat di dalam Efesus 6:1-4.

Salah satu persoalan keluarga yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah tawuran pelajar yang ,menjadi ancaman ”the lost generation” selain persoalan kemiskinan yang menyebabkan jutaan anak Indonesia kekurangan gizi. Penulis katakan memang harus diakui bahwa hal ini menjadi salah satu akibat dari pendidikan yang sangat dominan dariorang tua dalam keluarga. Menurut penulis orang tua selalu benar, sedangkan anak-anak selalu salah. Tambahnya lagi, banyak anak dibebani tugas-tugas yang terlalu berat demi memenuhi keinginan para orang tua, dan anak-anak mengiakan atau menuruti saja karena takut. Akibatnya di luar ia melampiaskan semua kekesalannya di rumah dalam bentuk kebebasan, tawuran, terlihat narkoba, pornografi, dan lain-lain. Menurut penulis banyak konflik kepentingan dalam keluarga yang dicarikan penyelesaiannya di luar keluarga.

Menurut saya, keluarga adalah tempat pendidikan yang terutama (non formil) selain sekolah dan lainnya. Itu sebabnya semua ulasan yang ada di buku ini dalam kaitannya dengan seksualitas kontemporer, maka saya sependapat dengan penulis yaitu bab 5 dan bab 6 membahas banyak tentang peran keluarga. Kalau saya boleh menambahkan apa yang ada di dalam dua bab itu, maka saya akan sisipkan kasus keluarga yang dialami oleh Imam Eli di Silo, Yerusalem (1 Samuel 4-6). Imam tersebut memiliki kehidupan keluarga yang sangat kompleks, yakni dua anaknya yang tidak menghormati apa yang dikatakan oleh ayahnya. Kedua anaknya itu adalah Hofni dan Pinehas. Hal yang menyakiti hati Imam Eli adalah ketika kedua anaknya mengundang perempuan-perempuan tunan susila untuk mengadakan bakti seks di pelataran rumah Tuhan. Dan yang perlu di bahas oleh penulis dari cerita itu adalah sikap Eli yang terdiam dan pasif tanpa ketegasan terhadap anak-anaknya. Menurut saya hal itu terjadi karena minimnya pembinaan dini oleh Imam Eli selaku orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Berdasarkan buku ini kalau dikaitkan dengan kehidupan Imam Eli sebagai pelayan Tuhan, yakni Imam Eli sibuk dengan urusan pelayanan keimaman dibandingkan waktunya untuk keluarga. Itu sebabnya kedua anaknya mencari perhatian di luar rumah melalui kehidupan bebas, seperti free seks, dan lainnya.

Dalam kaitannya dengan seksualitas kontemporer yang ramai dalam kehidupan perkotaan, khususnya di jakarta, penulis menguraikan kasus-kasus perceraian yang disebabkan dengan berbagai persoalan. Menurut penulis faktor penyebab antara lain karena urbanisasi, industrialisasi, dan kualitas kehidupanmodern (kedewasaan). Mengapa industrialisasi? Bagi penulis memungkinkan terjadi karena masyarakat umum terbuka terhadap apa yang dulu disebut tabu hingga kini menjadi biasa bahkan bahan pembicaraan yang berubah menjadi jokes. Selain alasan-alasan bercerai seperti pendidikan, pendapatan, perkawinan dini, dan lain-lain. Penulis juga menambahkan akiibat atau dampak perceraian yang ditujukan kepada anak-anak. Dan akhir dari bab ini (masalah perceraian), penulis menegaskan kepada pembaca untuk kembali kepada komitmen atau janji menikah yang melibatkan Tuhan Yesus dalam menyatukan dua pribadi tersebut.

Mengenai bab tujuh, khususnya untuk data yang diperoleh, penulis lebih menginformasikan kasus yang terjadi di Amerika dibandingkan dengan kasus-kasus yang ada di Indonesia. Contohnya di halam 68-69 tentang alasan perceraian yang bersinggungan dengan pendidikan dan pendapatan/pekerjaan. Menurut saya, selain ini diinformasikan, perlu juga pengumpulan data yang di peroleh di Indonesia, khususnya perkotaan (seperti yang dikatakan penulis, lebih sering terjadi di kota-kota besar). Bagian yang dituliskan dalam pemabahasan pada alasan yang ketiga, yakni perkawinan dini. Penulis mengatakan perceraian yang disebabkan perkawinan dini sering juga kita temui di Indonesia. Menurut saya karena memang sering ditemui, maka perlu beberapa kasus yang di dapatkan, harus dilampirkan dalam penjelasan penulis. Hakl ini akan menambah keyakinan para pembaca apa yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Mengenai aborsi dalam bab 9, khususnya dalam bagian yang keenam (VI), penulis mempertanyakan kapan emrio dikatakan pribadi? Menurut saya pribadi tidak memberikan pendapat pribadi yang tegas terhadap zigot yang sudah mulai menyatu dan berkembang menjadi suatu pribadi. Dalam tulisannya penulis menguraikan beberapa pendapat dari semua elemen (ahli), baik dari filsuf, teolog, bahkan masyarkat umumnya dalam menilai sejauhmana zigot dikatakan sebagai pribadi? Dengan sikap yang tegas dari penulis, akan membuat pembaca memiliki sikap yang kuat dalam menghadapi persoalan aborsi. Ada kesan memilih dalam bab ini yang harus diambil atau diputuskan oleh pembaca. Baik yang dianjurkan oleh filsuf, teolog (pemuka agama mungkin), dan pemikir lainnya. Karena penulis adalah teolog yang konsentrasi kepada hal yang praktis (etika), maka tidak menutup kemungkinan masyarakat harus bertindak berdasarkan situasinya.

Tidak ada komentar: