Senin, 10 Oktober 2011

Penelitian Terhadap Kitab Yesaya Versi Qumran

Bab I

Pendahuluan

Permasalahan Penelitian

Beberapa waktu yang lalu, kembali ditemukan sisa lempengan dinding atau pecahan tembok dari Bait Allah yang dituliskan langsung oleh Salomo sebagai raja Israel untuk membangun tempat ‘kediaman’ Allah pada masa itu (Majalah Bahana, Edisi Maret 2003, hal. 56-57). Tetapi beberapa ahli mengemukakan bahwa penemuan tersebut belum tentu dibuat pada masa kerajaan Salomo (970-930 BC). Mereka menegaskan bahwa hal itu bisa saja sebagai upaya spekulasi orang-orang yang ingin menghilangkan ciri khas keyahudian dari masa kejayaan Salomo, yaitu dengan membuat perbedaan dari gaya tulisan yang tidak sama dengan karya ahli Talmud ketika membuat teks-teks Masoret. Tulisan-tulisan tersebut memperlihatkan pola bentuk yang mirip dengan penulisan (paleography) dari bangsa Persia dan Babel. Meskipun penemuan tersebut diyakini sebagai pecahan (puing) yang bersejarah, namun dari sudut arkeologi dapat menambah penemuan dan penggalian tentang dunia sejarah Israel.

Penemuan-penemuan dan penggalian tersebut menunjukkan bahwa para ahli tidak berhenti meneliti dan mengamati benda-benda yang bersejarah itu. Memang secara khusus hasilnya kurang memberikan kepuasan bagi dunia Kekristenan, dan pada umumnya bagi mereka yang mempelajari manfaat dari sejarah Israel. Justru yang muncul adalah sikap polemik dan keragu-raguan bagi para sarjana-sarjana Kristen begitu juga yang lainnya (termasuk awam). Itu sebabnya asumsi atau pendapat yang bermunculan dinilai kembali maksud kebenarannya.

Dengan demikian hasil dari penggalian dan pengamatan benda-benda bersejarah baik pada masa dulu yang pernah ditemukan, sampai saat ini juga belum ada penyelesaiannya. Misalnya, hal yang paling diperdebatkan sampai saat ini ialah mengenai naskah Laut Mati, karena pada tahun 1947 ditemukan manuskrip-manuskrip dan logam-logam serta guci-guci (tembikar) yang diyakini sebagai milik dari kelompok orang-orang Esseni. Ditambah lagi naskah tersebut memiliki beberapa perbedaan dengan naskah-naskah Masoret yang sudah dibakukan pada tahun 100 M. Persoalan yang muncul dari penemuan tersebut ialah bahwa naskah-naskah Laut Mati jauh lebih tua usianya yaitu 1000 tahun dibandingkan dengan Teks Masoret.

Teks Masoret yang sampai saat ini di tangan orang Kristen merupakan standar kanonisaasi, karena seluruh teks tersebut dipandang sebagai Masora yang ditradisikan untuk dipakai. Artinya para ahli agama Yahudi pada masa itu bekerja keras dan berhati-hati dalam menuliskan, menyimpan dan mempublikasikan teks yang telah disertai dengan tafsiran. Tafsiran mereka itu mula-mula bersifat lisan dan diucapkan turun-temurun. Namun kemudian tafsiran tersebut ditulis juga dipinggir halaman teks. Tafsiran itu berisi keterangan-keterangan mengenai makna teks (Wahono, 1987 : 29). Dengan demikian akhir dari tulisan yang sangat selektif tersebut seluruhnya dianggap normatif dan pada akhirnya definitif.

Meskipun dianggap selektif dan dinilai hati-hati sekali penulisannya, teks naskah Laut Mati pun tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan Teks Masoret. Teks-teks itu pun mengikuti aturan mainnya atau ada sistem-sistem yang harus dikerjakan dalam penulisannya. Misalkan seperti yang dikatakan oleh Rochelle I.S Altman dalam artikelnya “Some Aspects of Older Writing Systems: With Focus on The Dead Sea Scrolls” menguraikan bahwa seringkali para ahli mengabaikan perbedaan penulisan dan gaya atau sistem yang penulis gunakan. Oleh karena itu menurut Altman, sistem-sistem yang dipakai ialah dengan menentukan sistem naskah, menyiapkan batasan-batasannya dalam bentuk simbol dari naskah tersebut, begitu juga sistem alat mengukur (mensural system), sistem pemberian tanda-tanda baca (punctuation system), sistem pemahaman atau pengertian (comprehension system), ortografi system (orthographic system), sistem format, dan sistem pengisian (content system). Beliau juga menambahkan bahwa tiap sistem atau aturan yang ditentukan harus membentuk suatu konstruksi penulisan dan mempengaruhi setiap sub-sub sistem yang lainnya sehingga ada kaitan penulisan yang kuat (http://orion.mscc.huji.ac.il//orion.programs/altman/altman99.shtml).

Dengan adanya aturan-aturan penulisan yang diciptakan oleh komunitas Qumran, maka teks asli yang ditemukan di sekitar Laut Mati menunjukkan kelasnya juga yang tidak kalah sempurnanya dengan teks-teks Masoret. Justru sebaliknya, teks-teks Laut Matilah yang memiliki nilai yang tinggi keasliannya oleh karena dianggap tua atau salinannya lebih dulu ditulis dibandingkan dengan versi Masoret.

Berdasarkan sifat dan keutuhan dari penulisan Teks Masoret yang sudah dinyatakan benar dan tidak salah, maka bila dilihat dari penemuan naskah Laut Mati yaitu dengan membuat studi banding terhadap teks Masoret akan terdapat perbedaan yang cukup membingungkan para ahli. Hal itu diungkapkan oleh Hasan Sutanto bahwa Hasil perbandingan antara salinan Laut Mati sengan salinan Masoret menunjukkan betapa setianya para penulis dalam membuat salinan yang tepat. Tetapi dipihak lain, salinan-salinan pun mengalami perubahan, misalnya bentuk hurufnya menjadi empat persegi, dan tanda-tanda baca lain. Bahkan ada yang menambahkan keterangan yaitu dengan memperhalus kata yang tidak hormat terhadap Allah, tidak membaca nama Allah dengan langsung, tetapi ada masanya dibaca dengan kata lain (1987 : 142). I.P Lambe juga memprediksikan bahwa manuskrip-manuskrip tua yang memuat beberapa bagian Perjanjian Lama itu memiliki banyak perbedaan, khususnya dalam hal cara membaca. Dan menurut catatan yang ada, perbedaan cara membaca itu mencapai jumlah sekitar 1400 teks (Forum Biblika, Edisi 3, 1992). Salah satu cara dalam membaca versi Qumran adalah bahwa setiap kata yang tidak mengandung arti dibaca dalam keadaan diam atau tenang, artinya ada kesan seperti nyanyian. Tetapi tidak menekankan pentingnya nyanyian atau musik melainkan aksi membaca yang sangat keras. Uniknya suara yang ditekankan dalam membaca harus memiliki ukuran 1/8 nada per syllable (Altman99.shtml). Itu sebabnya Altman dalam risetnya itu sangat tertarik untuk membandingkan antara tanda yang biasa dipakai oleh kelompok Qumran dengan tanda baca yang sudah dicetak oleh versi Hebraica Stuttgartensia (http://orion.mscc.huji.ac.il/orion/programs/altman/altman99.shtml).

Hal lain datang dari segi tulisan yang sulit untuk ditentukan yang mana harus digunakan dan dipakai sebagai ukuran normatif. Millar Burrows seorang profesor biblika dari Yale University dan juga sebagai penulis terkenal tentang “The Dead Sea Scrolls” mengatakan bahwa banyak sekali perbedaan antara gulungan kitab Yesaya dan teks Masoret yang menjadi kekeliruan atau kesalahpahaman (1960 : 303). Ahli lainnya seperti A.A Sitompul memberikan contoh yang menjadi kekeliruan dalam Yesaya 7:11, didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan vokalisasi baik dari Masoret maupun salinan Qumran. Nats yang dimaksudkan ialah seala (dalam teks masoret) yang berarti “tanyalah”, tetapi terjadi pergeseran kata kepada syeol dalam Qumran yang berarti “sampai ke dunia bawah”. Begitu juga dengan Yesaya 45:2, dalam karya Masoret digunakan kata (wa)hadurim dan pada Qumran (naskah Laut Mati) menggunakan kata wehararyim (dari segi salinan/teks) yang artinya adalah “dan gunung-gunung”(Teks Masoret). Menurut ahli bahasa Ibrani bahwa kata wehararyim lebih masuk akal. Karena yang perlu dianggap benar ialah dengan melihat salinan yang lebih tua yakni naskah Laut Mati (2002 : 42). Sitompul juga mengatakan bahwa salinan hadurim dalam teks Masoret lebih muda usianya, dan kemungkinan sebagai dampak dari pertukaran konsonan huruf dalet (ד) dan res (ך) yang dalam huruf Ibrani sangat mirip bentuk tulisannya. Lalu bila diteliti maka maknanya pun berbeda yaitu ada kesamaan arti dengan bahasa Akkad yaitu duru yang artinya “dinding lingkar” (ring road). Jadi berdasarkan masalah tersebut maka para ahli mempertanyakan untuk memilih kata mana yang harus dipakai, apakah dari gulungan Qumran, atau memilih Teks Masoret yang mengadopsi dari bahasa Akkad ? Sekali lagi yaitu teks yang tertua yang dapat dikumpulkan (2002 : 43). Contoh lain yang berhubungan dengan ilmu bahasa adalah Yesaya 53:11, dalam teks masoret dipakai הארי yang artinya “melihat”, sedangkan dalam teks Qumran digunakan הארי dengan huruf vokal yang berbeda dengan teks Masoret sehingga memiliki makna yaitu “melihat terang”. Pada bagian ini yang ditekankan bagi kelompok Qumran ialah unsur “terangnya”, sedangkan bagi orang Masoret hanya sebatas “melihat” tanpa penjelasan yang dimaksudkan (Sitompul, 2002:43).

Hal lain yang menjadi perdebatan disamping teks-teks yang terjadi perubahan adalah berkenaan dengan keasliannya. Menurut Emmanuel Gerrit Singgih bahwa kehadiran naskah-naskah Laut Mati dalam kalangan fundamentalis dari luar agama Kristen mengharapkan bahwa teks-teks Qumran adalah ‘teks asli’ yang akan membuktikan bahwa Alkitab orang Kristen itu telah dipalsukan (1999 : 239). Jauh sebelumnya sudah menjadi berita yang hangat dan menggentarkan dunia teologi khususnya keyakinan kristiani terhadap Alkitab. Menurut Richard W Haskin seorang profesor teologi mengatakan bahwa berita yang spektakuler itu dapat menghancurkan klem-klem tradisional mengenai keunikan Kekristenan. Hal ini terlihat dari seorang pakar yang bernama John Allegro yang mendapat kesempatan pertama untuk membaca dan mempelajari naskah-naskah Qumran. Allegro mengungkapkan bahwa hasil temuan itu merupakan bukti-bukti yang akan merongrong keunikan orang-orang Kristen sebagai suatu sekte (1999 : 168). Menurut catatan Haskin bahwa orang tersebut pada akhirnya meninggalkan keyakinannya dan seringkali dengan cara yang keras mencela kekristenan (1999 : 169).

Dalam upaya untuk memberikan tanggapan yang dapat memenuhi kebutuhan orang banyak supaya tidak terjadi pergolakan iman, maka para ahli menyelidiki teks-teks tersebut dalam naskah yang ditemukan. Penyelidikan yang dilakukan yaitu dengan menentukan kondisi waktu pembuatan atau penulisan dari naskah tua tersebut. Dengan demikian para ahli menentukan 3 cara, yakni paleografi, fysiko-kimia, dan metode C-14. Paleografi adalah cara umum yang dilakukan dengan menggunakan dan melihat perbedaan bentuk huruf, dan membandingkan cara menulisnya. Cara fysiko-kimia adalah dengan memanaskan lembaran-lembaran naskah yang terbuat dari perkamen, kulit kambing sampai mengkerut. Makin rendahnya panas yang diperlukan untuk menunjukkan kerutan tersebut, berarti dinilai makin tua atau usang perkamen-perkamen tersebut. Menurut ahli metode ini pernah dicoba di Inggris dan dapat ditentukan naskah Laut Mati berkisar abad ke-5 Sm. Sedangkan metode C-14 merupakan cara untuk menentukan kondisi dari umur barang tembikar dan sisa kain yang terdapat dalam gua-gua Qumran. Metode ini ditemukan oleh seorang ahli atom, orang tersebut menghitung jumlah bahan C-14 yang ada di dalam barang tertentu seperti kayu, kulit, dan seterusnya. Lalu melalui jumlah bahan C-14 ini maka dapat ditentukan kapan bahan itu dipakai oleh manusia. Hasilnya dari metode ini dapat disimpulkan bahwa kain-kain itu dibuat antara tahun 167 Sm. Wahono juga menguraikan bahwa proses karbon dengan sistem C-14 akan menentukan tahun asalnya tulisan kuno tersebut. Proses yang dilakukan ialah dengan mengambil secuwil kertas atau tulisan kuno lalu dibakar, selanjutnya diukur jumlah isotop karbon 14 terkandung didalamnya. Dengan demikian jumlah isotop karbon 14 itu akan sesuai dengan umur dari kertas atau tulisan yang bersangkutan (1987 : 39).

Seluruh cara yang dipakai oleh ahli menginformasikan bahwa usia naskah tersebut jauh lebih tua dibandingkan dengan Teks Masoret. Khususnya naskah Yesaya yang ditemukan pada goa pertama merupakan naskah yang terbesar dan terpanjang dari Laut Mati. Menurut Tuinstra gulungan tersebut ditulis kira-kira 600 tahun kemudian dari zaman Yesaya (1978 : 89). Sedangkan Burrows berpendapat bahwa teks-teks tersebut sudah ada sekitar dua atau tiga abad sebelum orang-orang Masoret menentukan yang teks definitif dan normatif (1960 : 303).

Penjelasan Istilah

Untuk menolong memperoleh pemahaman sehingga penelitian ini menjadi jelas batasannya, maka perlu dijelaskan beberapa istilah yang berhubungan dengan pokok permasalahan penelitian ini.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Badudu – Zein, naskah berarti karangan yang ditulis dengan tangan baik di atas kertas, dan lain sebagainya. Dapat juga dikatakan sebagai surat atau tulisan yang disiapkan untuk maksud tertentu, misalnya perjanjian. Sedangkan dalam pengertian yang khusus, Naskah Lama berarti semua tulisan peninggalan orang dahulu yang berisi sejarah, peringatan, catatan suatu peristiwa, dan riwayat seseorang, dan lain sebagainya (1996 : 935).

Laut Mati dapat disebut juga sebagai “Laut Asin”, khususnya dalam Perjanjian Lama (Kej. 14:3, Bil. 34:3) atau “Laut Araba” (Ul. 3:17). Menurut Green, panjangnya 69 Km, lebarnya 5 Km sampai 14 Km, dan merupakan genangan air yang paling rendah di dunia (397 Meter dibawah permukaan laut). Oleh sebab itu iklimnya panas sekali, tidak ada saluran untuk keluar, dan bila air meluap, maka akan terjadi menguap. Itu sebabnya airnya penuh dengan garam dan mineral-mineral lain (Green, 1984 : 4). Baker juga menjelaskan bahwa sekeliling Laut Mati terdapat bukit-bukit yang terjal, padang gurun yang panas dan gersang, juga banyak gua-gua, dan seringkali gembala-gembala menjelajahi gua-gua tersebut (Baker, 1992, no.2).

Pernyataan Masalah

Mengenai nilai atau kualitas dari naskah-naskah tua yang telah ditemukan di gua-gua lembah Qumran dan tempat-tempat lainnya sekitar Laut Mati, muncul banyak pendapat atau pandangan dari para ahli yang dikemukakan. Mereka menguraikan bahwa salinan-salinan tua dalam Perjanjian Lama memiliki banyak perbedaan, misalnya perbedaan dalam ajaran dan paham dogmatis. Begitu juga dalam hal cara menuliskan, termasuk membaca dan mendengarkan (vokalisasi) yang digunakan oleh komunitas Qumran. Teks-teks yang disalin menjadi bergeser dan berubah, demikian juga bunyi yang diucapkan tidak menunjukkan kesamaan dengan naskah-naskah yang definitif.

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti terdorong untuk memfokuskan penelitian pada naskah-naskah Laut Mati, khususnya kitab Yesaya. Dan peneliti memusatkan penelitiannya dalam bentuk Kritik Teks sebagai pendekatan penulisan. Dengan demikian ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana dapat terjadi pergeseran atau perubahan teks maupun bunyi di dalam naskah asli itu ? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya ? Apakah dokumen-dokumen tersebut berdiri sendiri ? Kedua, apakah teks-teks asli yang ditemukan di Laut Mati memiliki nilai keasliannya oleh karena dipandang lebih tua dibandingkan dengan Teks Masoret ? Ketiga, Mengapa orang-orang Esseni memisahkan diri dari golongan Yahudi ?

Pertanyaan Penelitian

Untuk memperjelas arah penelitian ini, maka peneliti mendasarkan pembahasan yang didasarkan atas pertanyaan-pertanyaan penelitian ini :

  1. Bagaimana bisa terjadi pergeseran atau perubahan teks maupun bunyi di dalam naskah asli tersebut ?
  2. Apakah teks-teks yang ditemukan di Laut Mati memiliki nilai keasliannya oleh karena dipandang lebih tua dibandingkan dengan Teks Masoret ?

Tujuan Penelitian

Didasarkan atas pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, maka peneliti menetapkan tujuan dari penelitian itu, yaitu :

  1. Bagi peneliti sendiri penelitian ini sangat bermanfaat, yaitu untuk mengetahui makna historis dan nilai keasliannya terhadap penemuan-penemuan di sekitar Laut Mati.
  2. Menolong orang-orang Kristen pada umumnya dalam memahami Alkitab, khususnya naskah Perjanjian Lama (kitab Yesaya) bagi peningkatan mutu hidup rohani dan iman Kristen.

Kepentingan Penelitian

Jika dalam penelitian ini pertanyaan-pertanyaan penelitian terjawab dan tujuan penelitian tercapai, maka penelitian ini penting artinya dalam :

  1. Memberikan dasar yang kuat secara tekstual dalam kajian biblikal bagi setiap orang Kristen mengenai kata demi kata atau naskah secara keseluruhan ditengah-tengah perbedaan nats yang ada dalam naskah Laut Mati.
  2. Menunjukkan kembali nilai keaslian teks (original text) yang sebenarnya, bahwa naskah asli yang terdapat dalam versi Masoret adalah standar yang definitif (kanon).
  3. Bagi umat Kristiani penelitian ini juga dapat memberikan pandangan dan wawasan baru tentang penemuan tersebut. Dengan wawasan dan pandangan yang baru diharapkan sikap orang-orang Kristen tidak menolak dan menurunkan kewibawaan Alkitab sebagai Firman yang diwahyukan (dikanonisasikan), begitu juga tidak ada keraguan lagi terhadap keaslian Alkitab versi Masoret (Stuttgartensia) melainkan hanya sebatas memahami dan mengerti dunia penulisan Alkitab khususunya Perjanjian Lama.

Suatu wacana teologi eksegesis dalam perdebatan, artinya dengan adanya asumsi yang diperoleh dari penelitian ini maka tidak ada lagi sikap yang ‘terganggu’ dari munculnya naskah Laut Mati.

Metodologi

Rancangan Penelitian

Dalam bagian ini peneliti akan memberikan rancangan penelitian terhadap obyek yang menjadi masalah. Masalah tersebut ialah berkenaan dengan penelitian terhadap naskah-naskah Laut Mati. Penelitian ini termasuk tipe penelitian kualitatif, yaitu dengan menggunakan penyelidikan-penyelidikan teks-teks yang menjadi kritiks. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian teologi eksegesis dengan metode kritik teks yang disertai dengan pendekatan historis. Menurut Bambang Subagyo Ph. D, kritik teks secara longgar dipakai juga istilah lain yaitu topical criticism yang berarti istilah umum yang menunjuk kepada analisis ayat-ayat Alkitab atau semua metodologi yang diterapkan untuk menyelidiki teks biblical (1998 : 58).

Mengutip pendapat Bolich, Subagyo menjelaskan bahwa metode ini mencakup pengumpulan semua bahan yang berkaitan dengan tema tertentu. Bahan-bahan yang dikumpulkan ialah termasuk bukti internal bahwa teks mengalami perubahan secara tidak sengaja dalam proses penyalinan seperti kesalahan penglihatan, pendengaran, kesalahan ingatan, kesalahan pemahaman; bukti-bukti internal bahwa teks mengalami perubahan secara sengaja dalam proses penyalinan seperti pembetulan dengan alasan tata bahasa dan ilmu bahasa (1998 : 59).

Hal selanjutnya, peneliti juga menentukan ada tidaknya perubahan dalam teks asli melalui proses penyalinan. Itu sebabnya akan ditentukan atau diperhatikan bunyi teks yang asli ,baik yang pendek maupun yang agak sulit. Demikian juga peneliti harus mendapatkan bukti eksternal, yaitu pengesahan dari berbagai saksi tekstual seperti teks Timur Tengah dan yang lainnya (1998 : 59).

Menurut peneliti metode di atas dianggap perlu oleh karena bagian-bagian yang diteliti adalah menunjuk kepada analisis ayat-ayat Alkitab atau per kitab (teks biblical). Dengan menggunakan metode itu maka akan memudahkan untuk mengkaji secara historis dan melihat keasliannya dengan lebih sempurna.

Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode pemeriksaan naskah atau dokumen-dokumen berikut benda-benda bersejarah. Metode ini merupakan satu-satunya metode yang dapat dipakai dalam penelitian kesejarahan (Subagyo, 1998 : 116). Adapun teks-teks yang akan diteliti ialah naskah Laut Mati, yaitu kitab-kitab yang memilki perbedaan teks dengan naskah asli yang menjadi kanon (Masoret Teks). Naskah yang akan diteliti adalah kitab Yesaya, langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini ialah :

  1. Membaca teks kitab Yesaya dengan berkali-kali, khususnya bagian-bagian yang menjadi perbedaan dengan teks Masoret.
  2. Memberikan tanda untuk setiap ayat-ayat yang didalamnya menunjukkan perbedaan kata atau frasa termasuk kalimat.
  3. Mengelompokkan dalam bagian yang sudah disediakan yaitu tanda Kheteb (yang ditulis) dan tanda Qere (yang diucapkan). Artinya bila ada hal-hal yang ditemukan dari kata atau kalimat yang berbeda maka peneliti mengelompokkan dalam ayat tertentu.
  4. Mempersiapkan data-data yang terkumpul untuk dianalisa.

Keterbatasan

Dalam penelitian ini tentunya ada hal yang menjadi kelemahan atau keterbatasan dalam mengkaji naskah-naskah Laut Mati yang ditinjau dari sudut historis dan menggunakan kritik teks, khususnya kitab Yesaya. Keterbatasan peneliti adalah mencakup teks-teks yang diteliti dengan mempertimbangkan bagian-bagian teks yang bergeser maknanya, begitu juga cara bagaimana peneliti “mendengarkan” secara tepat dan benar teks yang diucapkan. Adapun cara yang dipakai yaitu dengan menyelidiki atau mencari ayat-ayat tertentu (yang berubah) menurut pakar Perjanjian Lama yang diungkapkan dalam buku-bukunya.

Begitu juga dengan naskah-naskah asli yang ada di sekitar Laut Mati menjadi kesulitan peneliti untuk mengumpulkan dalam teks yang sudah diterjemahkan minim sekali, khususnya ke dalam bahasa Indonesia. Adapun teks dalam bahasa lain (Inggris) tetapi tidak semua memberikan terjemahan yang baik. Dalam hal ini peneliti berupaya mencoba untuk melihat kembali teks maupun nats yang asli.

Dengan adanya keterbatasan ini maka peneliti berharap pembaca mau memberikan waktunya untuk meneliti kembali menurut masalah yang ada di riset ini, tentunya ada bagian-bagian yang terlewat dimana seharusnya menjadi obyek penelitian yang baru.

Anggapan Dasar

Naskah-naskah yang ditemukan di Qumran merupakan salinan-salinan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan Aram, dan juga ke dalam bahasa sehari-hari di Palestina selama kurun waktu yaitu ketika naskah-naskah Qumran dibuat, teks-teks yang muncul dan menjadi perbedaan sedikit di dalam kitab Yesaya (versi Qumran) merupakan salinan yang dibuat oleh penduduk Qumran sesuai dengan kebutuhan agama dan kehidupan menurut budaya setempat, dengan demikian teks dari Masoret yang terdapat dalam kitab Yesaya merupakan naskah yang normatif yang dinyatakan benar keasliannya.

Analisis Data

Di dasarkan pada metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode kritik teks dan disertai dengan pendekatan historis, maka langkah-langkah penelitian ini yaitu dengan memeriksa atau menyelidiki bahan-bahan yang disiapkan orang lain . Lalu data tersebut harus dianalisa agar dapat diartikan (Subagyo, 1998 : 140). Adapun langkah-langkah tersebut ialah :

  1. Menjelaskan munculnya naskah-naskah Laut Mati secara kronologis-historis.
  2. Menentukan bagian-bagian data yang menyatakan segi-segi tertentu teks dalam kitab Yesaya yang selanjutnya menentukan makna teks. Lalu membandingkan dengan kata-kata atau frasa-frasa yang sama dengan teks-teks dalam kitab Yesaya versi Masoret. Di dalam penelitian tersebut akan memberikan hasil dan uraian yakni mengapa terdapat atau terjadi pergeseran, tentunya oleh karena sebuah ajaran yang dimiliki oleh komunitas tertentu.
  3. Mencari asal-usul kata atau frasanya yang menjadi dasar kata, termasuk konteks historis.
  4. Mencari kata-kata yang menjadi perbedaan baik dari segi ucapan (khetib) atau bunyi yang didengarkan (Qere), yaitu dengan memperhatikan huruf-huruf vokal maupun konsonan yang berbeda gaya penulisannya termasuk vokalisasinya.
  5. Menarik kesimpulan-kesimpulan arti dari kata atau frasa itu dan menjelaskan maksud penggunaannya sehingga dapat memberikan bukti-bukti tertentu bahwa teks Masoret menunjukkan keasliannya.
  6. Memberikan ketegasan teks yang absah dan benar (dapat dipertanggungjawabkan) menurut ukuran normatif dan definitif yang ditentukan atas dasar kanon sehingga dapat menjawab penelitian ini.

Cara Penafsiran

Yang dipakai sebagai pedoman dalam penafsiran penelitian ini adalah metode penelitian yang dipakai untuk menjelaskan teks yang sesungguhnya (kritk teks) dan membandingkan terhadap teks-teks yang definitif atau normatif dengan atau yang dianggap keliru. Tentunya metode dari penelitian tersebut diambil dari anggapan dasar yang menjadi tolakkan dari riset ini. Di dasarkan pada hal itu maka cara penafsirannya akan mengikuti langkah-langkah ini :

  1. Merumuskan kembali dengan menunjukkan alasan-alasan mengapa terjadinya pergeseran atau perubahan dalam teks-teks tersebut. Dengan menjelaskan terjadinya proses penulisan (penyalinan) dan membedakan segi vokal berdasarkan apa yang dihasilkan dari analisa data dalam penelitian ini maka dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini, yakni berkenaan dengan tingkat ketepatan naskah-naskah yang dimiliki saat ini jika dibandingkan dengan teks-teks asli pada abad pertama. Juga berkenaan dengan naskah (khususnya Yesaya) yang membuktikan bahwa naskah lainnya yaitu versi Masoret dipertanyakan keasliannya.
  2. Membandingkan rumusan dari penjelasan-penjelasan mengenai uraian teks-teks tersebut secara kritis dengan rumusan anggapan dasar dari penelitian ini, kemudian menarik kesimpulan sebagai hasil dari penelitian ini.
Sistematika Penulisan

Dalam bagian ini terdapat sistematika penulisan yang menjelaskan isi dan rangkaian penjelasan yang diperoleh dalam temuan-temuan terhadap penelitian. Pada bab I, penulis menjelaskan tentang isu-isu mengenai kritik teks terhadap naskah Laut Mati. Penjelasan yang dianggap sulit untuk dimengerti, maka penulis memberikan beberapa uraian istilah demi memudahkan pemahaman. Untuk memusatkan kepada penelitian maka penulis mencoba membuat beberapa pertanyaan mendasar untuk lebih teratur dan tidak menyimpang dalam penjelasan. Adapun beberapa tujuan dan kepentingan penelitian, supaya penulis dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Pada bagian lain terdapat penjelasan mengenai metode penulisan, adapun metode tersebut dipakai adalah untuk memudahkan penelitian ini supaya dapat menemukan dan mengembangkan data-data yang diperoleh dari literatur dan media internet. Pelaksanaannya ialah dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dan diteliti, lalu menganalisa data tersebut dengan cermat dalam pemahaman sendiri. Itulah sebabnya dalam bab I ini penulis menampilkan beberapa uraian penafsiran terhadap data-data yang didapat sehinggap muncul suatu anggapan dasar dari hasil penelitian.

Pada bab II penulis membahas secara berturut-turut mengenai latar belakang munculnya komunikasi Qumran yang diduga sebagai cikal bakalnya dalam membuat seluruh naskah yang ditemukan di sekitar Laut Mati. Bagian-bagian yang akan dijelaskan ialah kondisi Palestina yang terjadi sekitar tahun 333 – 323 Sebelum Masehi (pemerintahan Alexander Agung). Lalu munculnya pemberontakan pada masa kekuasaan Helenis, lalu berkesinambungan sampai pada situasi di Palestina khususnya dibawah kekuasaan Romawi. Di dalam perkembangan sejarah itu terdapat raja-raja yang memerintah dan berkuasa untuk mempengaruhi orang-orang Yahudi. Dan pada akhirnya ditengah-tengah pemerintahan yang membuat orang Yahudi kecewa, maka muncullah beberapa golongan yang memisahkan diri dari lingkungan Yahudi. Diantaranya ialah kelompok Esseni, Saduki, Farisi, dan yang ada dalam jumlah yang kecil.

Bab III membahas sejarah dari penemuan naskah Laut Mati. Penemuan-penemuan tersebut dimulai pada penemuan pertama pada goa I sampai berikutnya goa ke-11 di sekitar Laut Mati. Setelah adanya temuan maka mulai penggalian diadakan di sekitar reruntuhan, yakni Khirbet Qumran. Hal yang menjadi penelitian adalah ditemukannya naskah-naskah di goa-goa tersebut. Dalam penemuan itu penulis memberikan bukti-bukti dari Arkeologi dan Paleography supaya dalam penelitian ini tidak muncul anggapan yang spekulasi atau diluar dugaan. Bukti-bukti itu juga akan dijelaskan berdasarkan teks dan tata bahasa yang sudah tertulis di naskah, khususnya kitab Yesaya. Setelah itu akan dibahas usia dari naskah-naskah yang ditemukan berdasarkan perhitungan yang sudah ditetapkan oleh para ahli atau menurut ukuran yang lazim.

Dalam bab IV, penulis akan membahas secara berturut-turut mengenai penyelidikan terhadap teks-teks kitab Yesaya dalam versi Qumran. Adapun pembahasan yang akan dicapai ialah penjelasan singkat mengenai teks masoret dan perkembangannya. Dalam teks tersebut akan dijelaskan bentuk-bentuk yang menjadi ciri khas penulisan. Lalu setelah memahami bagian teks itu, maka penulis akan menguraikan sistem-sistem penulisan yang dikembangkan oleh penulis-penulis naskah Laut Mati. Dan di dalamnya tentu tidak dapat dilepaskan terhadap cara penulis naskah Laut Mati dalam mengeksegesa dalam bentuk naratif terhadap seluruh cerita atau isi yang terkait. Studi linguistik dalam penelitian ini juga akan dikembangkan dan diselidiki khususnya terhadap teks-teks kitab Yesaya dalam perspektif historis. Untuk mengetahui kondisi kitab Yesaya, maka penulis memberikan beberapa informasi atau keterangan yang diperoleh dari literatur, keterangan tersebut berkaitan dengan banyaknya kolom, panjangnya kitab, uniknya kitab, dan lain sebagainya. Setelah memahami lebih jauh maka penulis akan menguraikan beberapa hal yang dapat dikritisi terhadap teks-teks naskah Laut Mati yang ditinjau berdasarkan isi dan penggunaannya. Dan secara khusus akan dibahas mengenai gulungan kitab Yesaya dalam versi Qumran menurut pendekatatan studi komparatif dengan memperhatikan teks-teks yang menjadi permasalahan. Karena penulis memfokuskan kepada kitab Yesaya dalam versi Qumran, maka penulis akan menunjukkan tinjauan analisis terhadap bahasa yang digunakan dalam teks-teks Yesaya tersebut. Begitu juga dengan menjelaskan unsur fonologinya (bunyi) berdasarkan pembentukan kata yang sudah dituliskan (Kheteb) dan kata yang sudah diucapkan atau dibacakan (Qere). Pada akhirnya penulis akan memberikan penjelasan yang menunjuk kepada manfaatnya bagi orang-orang yang mempelajari naskah-naskah asli kitab Perjanjian Lama.

Akhir dari penelitian ini, maka pada bab V penulis akan membuat beberapa kesimpulan dari seluruh rangkaian penelitian. Dan secara berturut-turut penulis juga akan membuat implikasi dari hasil penelitian yang ditujukan kepada orang-orang Kristen dalam menilai dan memahami dunia Perjanjian Lama. Di akhir bab ini penulis akan memberikan beberapa saran-saran dalam penelitian demi pengembangan berikutnya.

Bab II

Latar Belakang Munculnya Komunitas Qumran

Palestina Pada Masa Alexander Agung

Dalam catatan Alkitab, khususnya kitab I-II Tawarikh, termasuk Ezra dan Nehemia, dikatakan bahwa Israel yang kembali dari pembuangan (Babel), pernah membangun Bait Allah di Yerusalem. Menurut para ahli bahwa hal itu bukan berarti mereka adalah bangsa yang merdeka dan yang mengatur pemerintahannya sendiri. Mereka tetap berada dibawah kuasa atau pemerintahan kerajaan Persia sampai pada akhir zaman Perjanjian Lama. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan Persia dilumpuhkan oleh Aleksander Agung. Itulah sebabnya kekuasaan Persia di Asia Kecil, Palestina dan Syria telah berakhir.

Dalam kekuasaannya, Aleksander Agung memusatkan perhatiannya kepada Syria dan Palestina. Dan dengan waktu yang sama juga ia menaklukkan Yudea dan Samaria. Di Yudea ada pristiwa yang tercatat mengenai pemberitahuan-pemberitahuan tentang hubungan sosial antara Aleksander Agung dan Yudea. Menurut Josephus dan dalam Talmud Babel, setelah menaklukkan Gaza pada tahun 332 sebelum masehi, Aleksander telah datang ke Yerusalem dan disana telah bertemu dengan Imam Besar Yadua. Kedatangan Aleksander Agung ke Bait Allah memiliki makna historis, sebagai penguasa atau petinggi pada masa itu, ia berhak mendatangi atau mengundang pemimpin agama dalam acara-acara silaturahmi meskipun terkait unsur politis.

Di Samaria pada masa kekuasaan Aleksander terjadi pemberontakan. Dengan keputusan yang diambil, Aleksander memerintahkan sekelompok orang Makedonia untuk tinggal di Samaria. Atas pemberontakan tersebut penduduk Samaria menerima hukuman oleh pasukan-pasukan Aleksander pada tahun 331 sebelum masehi. Setelah orang-orang Makedonia membunuh masyarakat Samaria maka terjadi pengembangan sejarah, yakni pembangunan kembali kota Sikhem yang dilakukan oleh sisa-sisa penduduk Samaria.

Mengenai bait Allah orang Samaria, Josephus menegaskan bahwa Bait Allah itu dibangun bersamaan dan berhubungan dengan pembangunan kembali kota Sikhem pada tahun 330 sebelum masehi dan tahun-tahun berikutnya. Pembangunan Bait Allah tersebut dilakukan di atas gunung Gerizim sekitar akhir abad keempat sebelum masehi. Jogersma menjelaskan bahwa pembangunan Bait Allah itu belum tentu langsung dikatakan sebagai sesuau perpecahan dari peribadahan di Yerusalem. Hal ini didasarkan oleh pernyataan bahwa di tempat-tempat lain juga terdapat tempat-tempat ibadah yang dianggap sah di samping Bait Allah di Yerusalem, misalnya seperti di Leontopolis di Mesir dan di Araq-el-Emir di daerah seberang sungi Yordan (1991: 20). Di dalamnya terjadi perbedaan kilbat yang menjadi ciri khas penyembahan atau ibadah di Yerusalem maupun Gerizim menjadi berkembang dalam kurun waktu sejak abad ketiga sebelum masehi sampai abad kedua sebelum masehi.

Berdasarkan kajian historis di atas maka pada sekitar abad ke-4 sebelum masehi kaum Samaria atau yang disebut Samaritani betul-betul memisahkan diri dari persekutuan umat Yahudi. Menurut para ahli bahwa mereka menjadi kelompok atau persekutuan agama yang berdiri sendiri, setelah dalam waktu yang cukup lama berada dalam hubungan yang tidak harmonis dengan persekutuan Yahudi yang pusat kedudukannya di Sikhem. Meskipun mereka memisahkan diri, mereka tetap memelihara kitab-kitab Taurat sebagai satu-satunya kitab suci mereka.

Pada abad ke-17 pernah dipublikasikan sebuah manuskrip kuno berbahasa Ibrani yang berisikan kelima kitab Musa (Pentatukh) dalam PL. Setelah diteliti naskah tua itu merupakan naskah kitab suci kaum Samaritani, dan biasanya disebut Pentatuk Samaritani. Menurut ahli naskah-naskah tersebut berasal dari masa dimana para Masoret di dalam Biblia Hebraica sedang dalam proses penyusunannya menjadi teks baku (standar teks). Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Lambe dapat dibenarkan, yakni manuskrip Pentatukh Samaritani tersebut digolongkan sebagai manuskrip-manuskrip pre-Masoretis (1992 : edisi 3).

Di dalam naskah Laut Mati yang disinyalir berasal dari abad 2 terdapat banyak perbedaan dengan teks Masoret, begiru juga dengan naskah-naskah Samaria yang muncul pada abad ke-4 dianggap berbeda juga dengan hasil karya Masoret yang sudah dibakukan. Lambe mengatakan bahwa teks-teks PL yang terdapat di dalam manuskrip tua Samaria (Pentatukh) mengandung sekitar 6000 perbedaan dengan naskah-naskah Masoretis. Perbedaan-perbedaan itu sebagian besar hanya karena kurang sempurnanya penyalinan sesuatu teks dengan tulisan tangan. Tetapi terdapat juga berbagai petunjuk bahwa di antara perbedaan itu ada yang memperlihatkan unsur kesengajaan, dan hal itu disebabkan adanya perbedaan dogmatis (ajaran) dari kaum Samaritani dengan kaum Yahudi (1992 : edisi 3).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Palestina pada masa kejayaan Aleksander Agung dapat mempertahankan kekhasan Yahudi baik dari segi tradisi hidup bersama dalam lingkup Torah maupun dibawah penguasaan yang diatur oleh masa pemerintahan setempat. Ditengah-tengah perkembangan sejarah tersebut, meskipun terjadi gejolak ditengah-tengah kaum Yahudi yang disebabkan pengaruh Helenis atau faktor-faktor ketidakpuasan terhadap alim ulama Yahudi, maka tidak sedikit yang memisahkan diri dari kelompok Yahudi kepada kelompok yang indenpenden. Kelompok-kelompok tersebut menjadi besar pengikutnya pada zaman Yesus. Pada bagian berikutnya akan dibahas secara berturut-turut mengenai Farisi, Saduki, dan Esseni yang diduga sebagai paguyuban Qumran.

Awal Pemberontakan

Setelah masa kejayaan Aleksander Agung berakhir (323 Sm), maka kerajaannya terpecah, dan Palestina menjadi pokok perselisishan antara Mesir dan Syiria. Mesir berada dibawah pemerintahan dinasti Ptolomi, dan Syria dibawah pemerintahan dnasti Seleukid. Pada mulanya dinasti Ptolomi yang menguasai Palestina. Tetapi akhirnya di tahun 198 sebelum masehi Raja Syria Antiokhos III mengalahkan tentara Mesir dan mengambil alih kekuasaan atas Palestina.

Dalam catatan sejarah dikatakan bahwa kemenangan Antiokhos III agaknya disambut baik oleh pemimpin agama di Yerusalem. Hak-hak istimewa kaum Yahudi dijamin kembali, sehingga terciptalah hubungan baik antara jemaat Yahudi dan pemerintahan baru tersebut. Akan tetapi hubungan baik tersebut tidak tahan lama oleh karena munculnya Antiokhos IV Epifanes. Antiokhos IV adalah anak dari Antikhos III. Pada tahun 175 sebelum masehi, Antiokhos IV secara tidak sah mengambil alih kekuasaan. Ia menimbulkan kerusuhan-kerusuhan yang penyelesaiannya menuntut banyak biaya. Lain dari itu, Antiokhos IV dinilai orang Yahudi sebagai orang yang serakah. Ia merampas beberapa kali untuk memuaskan nafsu keserakahannya. Itulah sebabnya para pemimpin agama di Yerusalem merasa kuatir oleh karena niat raja tersebut bisa mengarah kepada kekayaan milik pusaka Bait Allah. Ancaman lain yang dapat dikuatirkan ialah ancaman perpecahan dikalangan orang Yahudi sendiri oleh karena pengaruh kebudayaan Hellenis.

Sejarah membuktikan bahwa perpecahan itu sungguh-sungguh terjadi. Orang-orang Yahudi terpecah mejadi dua kelompok. Artinya kelompok yang satu terbuka terhadap proses Hellenisasi, yang memang didesak (dipaksakan) oleh Antiokhos IV, sedangkan golongan lain menolak penyesuaian diri dengan kebudayaan tersebut. Alasan mereka disebabkan oleh karena perbuatan yang mereka lakukan dapat dikatakan sebagai usaha kafir yang tidak dapat disesuaikan dengan iman dan torat Yahudi. Memang pengaruh Hellenis sangat kuat pada masa itu. Pernah terjadi di Yerusalem, yaitu seorang Imam Besar membangun sebuah “gymnasium”, gedung olah raga yang menjadi ciri khas kota-kota di Yunani. Ini menunjukkan bahwa keberadaan dari pemimpin umat sudah mulai berubah oleh karena kekuasaan Hellenis. Tidak lagi memprioritaskan kegiatan ibadah atau bertanggung jawab terhadap upacara-upacara Yahudi melainkan berurusan soal politik dan lainnya.

Oleh karena kaum Yahudi berada dalam kekuasaan Hellenis, maka ditengah-tengah berjalannya kekuasaan pada masa itu, tepatnya tahun 169 sebelum masehi, Raja Antiokhos membuat kota Yerusalem bermandikan darah. Akhirnya ia merampas milik pusaka Bait Allah ke Antiokhia. Dan ia menyuruh membasmi agama Yahudi, kemudia melakukan pembunuhan besar, penjarahan dan perusakan di kota Yerusalem.

Pada masa itu juga dilaporkan bahwa setiap laki-laki yang tidak menyerah akan dibunuh, tiap-tiap perempuan dan anak-anak dijadikan budak. Menyedihkan sekali bahwa di tempat bait Allah didirikan mesbah bagi Zeus dewa Yunani, dan tembok-tembok Yerusalem diruntuhkan. Seluruh kegiatan tradisi keyahudian ditiadakan, dan diberlakukan untuk setiap orang di Yudea untuk mempersembahkan korban kepada dewa-dewa Yunani tiap bulan. Dan mereka tidak diperkenankan merayakan sabat dan penyunatan.

Namun, meskipun hal itu diberlakukan kepada orang Yahudi, perlawanan mereka untuk memberontak tidak membuat mereka patah semangat. Justru dengan adanya perbuatan-perbuatan yang paling kejam itu semangat perlawanan makin membara. Ditengah-tengah pemberontakan tersebut muncullah seorang Imam tua bernama Matatias, ia membunuh seorang pegawai raja Antiokhos yang menuntut persembahan kepada dewa kafir. Kemudian Matatias bersama dengan lima orang putranya melarikan diri ke gunung. Inilah permulaan pemberontakan yang dipimpin oleh Matatias dan anak-anaknya, yaitu keluarga Makabi. Banyak orang saleh melarikan diri untuk bergabung dengan Matatias. Pada waktu Matatias wafat, pemberontakan dipimpin oleh Yudas Makabi, anaknya yang ketiga. Dibawah pimpinan Yudas Makabi, mereka beberapa kali mengalahkan pasukan Syria. Dan pada akhirnya Yudas Makabi bersama-sama pengikutnya merebut kembali kota Yerusalem dan mendirikan mesbah untuk Tuhan. Seluruh kegiatan atau tradisi Yahudi dapat berjalan kembali dengan teratur.

Palestina Di Bawah Kekuasaan Romawi

Untuk masuk ke dalam penemuan naskah-naskah Laut Mati, sebaiknya perlu diketahui secara historis kondisi di Palestina, khususnya di dalam penjajahan kekuasaan kerajaan Romawi, yaitu sampai kepada keruntuhan Bait Allah di Yerusalem tahun 70 SM. Dengan demikian akan memperoleh suatu gambaran tentang suasana histories yang mengatur kepada terbentuknya persekutuan Qumran di tengah-tengah Laut Mati.

Dalam sejarahnya, orang-orang Yahudi terbiasa hidup di bawah pemerintahan kerajaan asing. Menurut E.W. Tuinstra, sejak tahun 586 BC mereka tidak memiliki kemerdekaan politis lagi. Mulai dengan kerajaan Babelonia, Persia, Syria, dan kemudian kerajaan Romawi (1978 : 21). Pada masa kerajaan Romawi, orang-orang Yahudi merasa terpukul oleh karena penghancuran Bait Allah yang dipimpin oleh Titus pada tahun 70 BC. H. Jogersma mengemukakan bahwa sakit hati orang Yahudi oleh karena kehadiran bangsa Romawi yang turut mewarnai kehidupan bangsa Israel, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, maupun keagamaan. Misalnya dalam bidang sosial, terlihat dengan pengambilalihan kepemilikan tanah dari penduduk setempat ke tangan orang-orang Romawi (1999 : 270). Sehingga timbullah rasa kebencian yang dalam dari orang Yahudi terhadap orang Romawi, dampaknya adalah menimbulkan pemberontakan.

Begitu juga dalam bidang ekonomi, pengaruh Romawi ini ditandai dengan pembebanan pajak yang sangat tinggi, adanya dua jenis pajak (pajak langsung dan beacukai), munculnya golongan-golongan kaya, perdagangan berkembang pesat, apalagi setelah dibangun kota pelabuhan Kaisarea oleh Herodes Agung. Tuinstra memberikan informasi bahwa hampir seluruh Palestina sebagai daerah pemerintahan Herodes Agung (1978 : 23), dan ditengah-tengahnya ia memperluas dan memperbaharui Bait Allah di Yerusalem, yang sampai sekarang masih nyata sisa-sisa bangunan itu.

Dalam bidang politik pengaruh Romawi menyebabkan Yudea diperlakukan sebagai wilayah pemerintahan yang khusus, munculnya partai Makabe sehingga kemudian timbul rasa nasionalisme yang tinggi di kalangan bangsa Yahudi, peran golongan Saduki dalam pemerintahan, munculnya pemimpin-pemimpin pemberontakan, misalnya Barkhoba (Bruce, 1959 : 13).

Secara khusus dalam bidang keagamaan, pengaruh ini ditandai dengan adanya pajak Bait Allah sebesar setengah sykal bagi orang-orang Yahudi diaspora, penghilangan fungsi politik Imam besar dan mereka hanya diperlakukan sebagai pemimpin agama (politis), munculnya istilah ‘sanhedrin’ untuk menamai Dewa Agung yang terdiri dari 70 tua-tua, dengan demikian timbullah golongan-golongan keagamaan yang memisahkan diri yakni, Saduki, Farisi, dan Esseni.

Berdasarkan tekanan-tekanan dari kerajaan Romawi, makin kuatlah orang-orang Yahudi untuk memberontak terhadap kekuasaan asing dan kafir itu. Dan yang paling aktif dalam usaha pemberontakan tersebut adalah golongan Zelot. Seperti arti namanya, orang Zelot ialah orang-orang dengan penuh semangat yang berjuang untuk kepentingan Allah. Menurut Tuinstra, pemberontakan terjadi dari tahun 66-73 AD. Pemberontakan yang dimulai tahun 66 AD dipimpin oleh Eleasar, seorang anak imam besar. Mereka (pemberontak) berhasil menduduki kota Yerusalem dan suatu benteng di pinggir Laut Mati. Acara korban untuk kaisar di Roma yang menjadi tradisi dihentikan oleh bangsa Yahudi. Dengan demikian perang bagi orang Yahudi menjadi suatu perang mati-matian (1978 : 26). Pada saat itu Nero yang menjabat kaisar di Roma. Ia mengirim Vespasianus, seorang panglima yang akan menertibkan keadaan di Palestina. Tetapi Vespasianus tidak dapat meneruskan oleh karena Nero meninggal di Roma. Dengan demikan pada tahun 70 AD, Vespasianus menyerahkan pimpinan pasukannya kepada Titus, anaknya. Titus melancarkan penyerangan terhadap orang-orang Yahudi dan ia menawarkan supaya mereka menyerah, tetapi para pemimpin Yahudi menolak. Titus berusaha masuk ke dalam Bait Allah, dan ia meminta untuk membakar pintu-pintu gerbang halaman Bait Suci. Tetapi kebakaran tersebut tidak dapat di atasi. Maka terjadilah kebakaran besar, dan timbullah kepanikan, lalu tentara-tentara Romawi membunuh orang-orang Yahudi yang ada di dalamnya.

Penyerangan terhadap orang-orang Yahudi belum selesai, Tuinstra menjelaskan bahwa di Masada terdapat benteng yang dibangun oleh Herodes dipinggir Laut Mati, orang-orang Yahudi yang dipimpin oleh kaum Zelot tetap mempertahankan dirinya di sana, dan benteng tersebut sukar sekali untuk di rebut (1978 : 28). Tetapi pada tahun 73 AD mereka berhasil memasuki benteng itu, dan membunuh orang-orang yang ada di dalamnya. Demikianlah akhir dari pemberontakan orang Yahudi melawan kerajaan Romawi, dan pada tahun itu juga berakhir pula orang-orang Esseni di Qumran yang juga habis oleh karena usaha orang Romawi. Tetapi dalam peninggalannya telah dihancurkan oleh mereka (Esseni), kecuali naskah-naskah yang disembunyikan di goa-goa.

Munculnya Beberapa Golongan Terkemuka dan Perkembangannya

Di dalam perjalanan kaum Yahudi untuk memulai kembali kepada tradisi mula-mula (pada masa awal pemberontakan) sudah terjadi pengelompokkan, yakni orang Yahudi yang terpaut dengan pemerintahan Hellenis, dan kaum Yahudi yang setia dengan torah. Jauh sebelumnya pun juga terjadi pemisahan pada masa Aleksander Agung berkuasa, yaitu dimana kelompok yang menamakan dirinya Samaria Pentatukh mengasingkan diri dari kelompok Yahudi asal. Begitu juga pasca keluarga Makabe terjadi pengelompokkan orang Yahudi pada masa Yohanes Hyrkanus. Ditengah-tengah pemerintahannya, muncullah aliran-aliran Yahudi yang terdiri dari Farisi, Saduki, dan Esseni. Dalam catatan sejarah terlihat bahwa ketiga kelompok tersebut sebagai golongan yang kurang lebih berdiri sendiri. Haskin menyebutkan bahwa kemunkinan ketiga golongan itu adalah kaum Yahudi yang memiliki pemikira yang berbeda (filsafat Yahudi) tentang ajaran atau dogma Yahudi. Haskin mengatakan bahwa Josephus pernah mengelompokkan dengan mengurutkan bahwa aliran pertama yang muncul adalah Farisi, aliran kedua Saduki, dan ketiga Esseni (1999:154). Jogersma menyebutkan bahwa ketiga aliran tersebut dalam keterangan-keterangan Josephus dapat dipastikan bahwa mereka sudah mulai terbentuk pada zaman Yonatan (1991:100). Yonatan adalah adik dari Yudas Makabi yang sebelumnya pernah memimpin pemberontakan Yahudi terhadap pemerintahan Antiokhos. Di sinilah mulai orang Yahudi berkembang dan meningkatkan tradisi ritual dan kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian banyak orang Yahudi yang mendukung pemerintahan dinasti Makabi sampai kekuasaan dipegang oleh Yonatan.

Menurut ahli sejarah, dijelaskan bahwa terbentuknya kaum Esseni sebagai aliran ketiga dari Yahudi, disebabkan karena pemerintahan Yonatan yang menyimpang dari keyakinan orang Yahudi. Yonatan menjadikan dirinya sebagai Imam Besar sekaligus sebagai raja. Orang-orang Esseni memprotes dengan keras bahwa keluarga Makabi tidak dibenarkan menjabat raja dan Imam Besar. Sebab jabatan raja adalah hak keturunan Daud dan Imam Besar adalah hak keturunan Harun (Lewi). Itulah sebabnya reaksi tidak setuju dari beberapa golongan orang-orang saleh terus menyuarakan hak dan kebenarannya.

Bertolak dari penjelasan tersebut maka tanpa dikatakan muncullah paguyuban Qumran. Jogersma mengatakan bahwa paguyuban tersebut merupakan sebagian besar terdiri dari imam-imam yang memperkenalkan dirinya sebagai “putra-putra Zadok”, dan memiliki hubungan dekat dengan golongan Esseni (1991:103). Tetapi bagi orang Esseni sendiri, mereka tidak ingin disamakan oleh kelompok lain karena mereka memiliki ciri tersendiri. Ada juga beberapa ahli atau peneliti berpendapat bahwa peguyuban Qumran ada hubungannya dengan golongan Farisi, Saduki, atau orang-orang Zelot. Jogersma juga menambahkan bahwa teori baru yang muncul dan berkembang saat ini ialah bahwa inti dari paguyuban Qumran itu terdiri dari sekelompok orang-orang Yudea (Palestina) yang konservatif, yang tidak lama setelah tahun 165 sebelum masehi telah kembali ke Palestina dari Babilon (1991:103).

Maka dari itu, penemua naskah-naskah Laut Mati dapat disinyalir bahwa tulisan-tulisan itu adalah karya dari kelompok Qumran. Selama ini para ahli menilai bahwa kaum Esseni yang lebih dekat menyamai dari hasil temuan itu. Hal ini dapat dilihat dari ditemukannya menuskrip-manuskrip yang menjelaskan tentang aturan-aturan komunitas yang terkait, termasuk dogma dan etika. Setelah dicocokkan, rupanya memiliki identitas yang sama dengan Esseni. Oleh karena itulah naskah-naskah yang ditulis sekitar tiga dan dua abad lalu sebelum masehi, kini ditemukan oleh orang-orang Badui, dan ditafsir sebagai naskah asli atau tulisan yang sudah usang tetapi memiliki otoritas penulisannya.

Bab III

Sejarah Dari Penemuan Naskah Laut Mati

Penemuan-penemuan Pertama dan Berikutnya di Sekitar Laut Mati

Pada tahun 1947, para gembala kambing dan domba dari suku Badui yang hari-harinya adalah tinggal ditengah-tengah sekitar Laut Mati, merasa kehilangan dombanya. Maka Mohammad ed-Di’b (Muhammad Srigala) bersama rekan-rekannya mencari seekor kambing yang hilang, dan ia melalui tebing-tebing yang terjal dan berbatu-batu, akan tetapi pada waktu itu ia melemparkan batu ke dalam gua maka ia mendengar ada suara pecahan dari sesuatu benda. Dia tidak langsung menyelidiki ke dalam gua itu karena sulit dimasuki, melainkan memberitahukan hal itu kepada rekan-rekannya, dan beberapa hari kemudian mereka kembali ke tempat itu.

Setelah mereka masuk ke dalam tempat itu, maka mereka menemukan delapan guci. Hanya satu di antara kedelapan guci tersebut yang berisikan tiga gulungan naskah (Tuinstra, 1978 : 30). Dan salah satu dari guci tersebut telah hancur atau pecah oleh karena lemparan sebelum mereka masuk ke dalam goa. Guci tembikar tersebut memiliki tinggi kurang lebih 75 cm. Sementara mereka memeriksa gua tersebut, ditemukan tiga bundel yang dibungkus dengan kain linen. Ternyata bundelan itu berisi naskah-naskah gulungan (Baker, 1992, no.2). Cross menjelaskan bahwa hampir semua naskah-naskah tersebut hancur dan rusak, meskipun dapat dibaca sebagian (1958 : 4).

Lalu ketujuh gulungan naskah asli tersebut dijual kepada dua tokoh antik di Betlehem. Lalu empat gulungan dijual (dengan harga murah) kepada Athanasius Teshue Samuel, seorang Uskup gereja Syria di St. Marks Monastery di kota tua Yerusalem (Burrows, 1960 : 5). Dan tiga gulungan asli lainnya yang ditemukan oleh anak-anak Badui dijual kepada Sukenik, yaitu seorang ahli arkeologi di Hebrew University. Sukenik adalah orang pertama yang mengakui bahwa naskah-naskah itu memang sangat kuno (Tuinstra, 1978 : 30). Yigael Yadin juga menuliskan bahwa penemuan tersebut merupakan kisah yang besar selama para ahli menanti-nantikan fakta sejarah yang sangat penting, dan tulisan-tulisan yan diteliti oleh Sukenik (ayahnya) dinilai asli dan benar (1957 : 32). Begitu juga para ahli dari American School of Oriental Research yang menelaahnya dengan cermat, mereka menyadari kekunoannya (www. ChristianAnswer.net). Ahli-ahli lainnya adalah J.C Trever dan W.H. Brownlee (arkeolog), kedua ahli tersebut bekerja di Yerusalem pada waktu itu. Mereka menilai juga bahwa penemuan tersebut sangat penting dan bersejarah (Bruce, 1959 : 20).

Sesudah itu para ahli bersama-sama orang Badui sibuk memeriksa gua-gua lain di daerah itu untuk mencari naskah-naskah yang lain (ekspedisi tersebut dimulai tahun 1949). Di bawah pimpinan Departemen Ilmu Arkeologi dari Yordania dan direktur Sekolah Alkitab Perancis, Roland de Vaux, memulai penggalian di padang gurun Yehuda dekat Laut Mati. Cross mengemukakan bahwa suku Ta’amireh membuat berhasil penelusuran gua-gua tersebut, meskipun tempatnya terjal-terjal. Dan hampir semua penemuan penting berasal dari para gembala suku Ta’amireh tersebut (1958 : 9). Dari pencarian mereka pada tahun-tahun berikutnya ternyata sebelas gua menyimpan berbagai naskah gulungan (Baker, 1992: no.2).

Selain gulungan-gulungan naskah yang diselidiki, terdapat juga sobekan-sobekan kain dan sisa-sisa barang pecah. Sementara orang-orang menggali di goa tersebut, dilakukan juga penggalian yang terletak kurang lebih 1 Km di sebelah selatan (Wadi Qumran). Namun setelah diperiksa (sebelah selatan), nampaknya tidak berhubungan dengan goa yang termasyur itu. Tetapi setelah diteliti lagi dua tahun kemudian, maka barang pecah belah yang ditemukan direruntuhan tersebut sama bentuknya dengan barang pecah belah yang digali di dalam goa. Itulah sampai saat ini para ahli menamakan ‘Qumran’ (goa-goa yang ada di Laut Mati), sedangkan reruntuhan seperti puing-puing dari tembikar atau guci, dinamakan ‘Khirbet’.

Penggalian Reruntuhan di Khirbet Qumran

Kemudian para arkeolog memusatkan perhatiannya pada ‘Khirbet Qumran’ setelah menyelidiki dan menemukan gulungan-gulungan naskah di gua-gua tersebut. Menurut mereka bahwa disinyalir ada sebuah benteng kuno dari zaman Romawi (www.christianAnswer.net). Tetapi ahli lain menduga naskah-naskah itu berasal dari sebuah sekte Yahudi yang disebut kaum Esseni (Baker, 1992: no.2). Hal ini dapat dibuktikan oleh karena mereka (Esseni) tinggal di kota Engedi dan benteng Masada, sebagai tempat kediaman orang-orang Esseni, agak jauh dari Laut Mati (Tuinstra, 1978 : 33).

Adanya komunitas itu dapat dilihat dari penyelidikan atas tembok-tembok, lapisan tanah, barang pecah belah dan mata uang. Misalnya, benda seperti tempayan terdapat tulisan “LMLK” (bagi raja) pada pegangan tempayan tersebut. Preiffer juga melaporkan bahwa adanya tangga yang digunakan untuk menuju ke suau tempat, kemungkinan ke pengambilan air (mata air), karena tangga-tangga itu merupakan jalan yang biasa dilalui. Bukti lainnya dari tangga tersebut ialah terdapat tempat untuk mengambil air disediakan semacam ruang tunggu umum, kemungkinan untuk antri (1957:18). Disamping itu terdapat juga suatu kegiatan persekutuan (dalam bentuk bangunan), bangunan itu terdiri dari beberapa ruangan besar. Lebih lengkap lagi Yigael Yadin menceritakan nahwa sebenarnya reruntuhan tersebut merupakan suatu bangunan yang sangat besar sebelumnya. Besarnya ialah seperti empat persegi panjang bangunannya. Ukurannya diperkirakan 30 X 37 meter. Yadin menjelaskan bahwa hal tersebut sangat jelas karena bangunan yang menjadi reruntuhan itu pernah digunakan dalam waktu yang terpisah (1957:61). Yadin juga menggambarkan bahwa kemungkinan bangunan pertama diawali dengan tata ruang yang cukup besar, lalu diikuti dengan bangunan dalam bentuk menara yang ukuran tinggi sekitar 10 meter tingginya, dan berada ditengah-tengah tembok bangunan tersebut (tata ruang) dengan jarak sekitar satu sampai tiga meter. Menara tersebut terdiri dari dua lantai. Bagian paling bawah dari menara tersebut digunakan sebagai tempat atau ruangan untuk interaksi atau saling berkomunikasi antar individu (kelompok Esseni saja). Hal yang menarik dari menara tersebut ialah interior dari bangunan itu tanpa jendela luar. Menurut Yadin ada kemungkinan juga dengan berdirinya menara tersebut menunjukkan sebagai tempat pertahanan atau untuk mengetahui bila ada perlawanan (musuh) yang datang dari Yerikho atau Yerusalem. Yadin juga menginformasikan bahwa selain lantai bawah yang memiliki ruang, lantai atas juga terdapat tiga ruangan besar (semacam aula). Satu sebagai tempat istimewa (sangat panjang), dengan ukuran 4 X 13 meter. Sedangkan dua ruangan sisa dengan ukuran 8 X 4 meter. Menurut ahli ruangan itu digunakan untuk sivitas lingkungan Esseni dalam berkomunikasi. Dalam ruangan lainnya juga terdapat tempat untuk memasak, dengan ukuran 4 X 10 meter. Tidak jauh dari ruangan itu ada kolam kecil yang ditemukan. Dan ada juga kendi atau guci milik pribadi dari seorang penguasa pada masa itu, di atas dari guci itu tertulis nama Yohanan Ha-taleh.

Dalam wilayah atau bagian Selatan-Timur, terdapat bangunan yang terdiri dari berkas-berkas lainnya. Tempat tersebut berisi bangunan yang sangat indah meliputi kolam-kolam dengan ukuran 2 X 2 meter, dan lebar yang membujur dengan ukuran 3 X 8 meter. Kemudian bila turun dalam 14 langkah selanjutnya terlihat wilayah cagar alam (taman). Lalu ke Timur dari kolam-kolam tadi terdapat ruang kerja mereka, dimana ditemukan beberapa alat besi.

Dengan demikian susunan bangunan tersebut dapat dirumuskan sebagai empat bagian utama, yakni sebuah benteng dengan menaranya, ruang aula besar sebagai tempat untuk berdoa dalam komunitas tersebut, ruang makan atau ruang-ruang untuk menulis, kolam-kolam air dan ruangan-ruangan tempat untuk bekerja.

Ada juga beberapa bengkel, yaitu tempat membuat barang-barang seperti tembikar (guci). Itu sebabnya para ahli menilai bahwa dari sinilah asal mula banyak tempayan dan guci yang ditemukan di goa-goa sekitar Khirbet Qumran (Tuinstra, 1978 : 34).

Penggalian di Qumran juga memberitahukan bahwa adanya kehidupan atas komunitas tertentu pada masa itu. Hal itu terbukti oleh karena ditemukannya mata uang dan dua tempat tinta. Salah satu tempat tinta itu masih berisi tempat tinta, walaupun sudah kering. Tinta dimana ditemukan terdapat pula sebuah ruang untuk menulis, ada bangku-bangku panjang dan alat-alat tulisnya. Yadin menambahkan bahwa ada juga meja yang cukup besar, meja itu dapat memuat ratusan buku yang berisi aturan-aturan yang terkait dengan orang-orang Esseni. Meja yang ada di dalam ruangan besar itu kemungkinan digunakan untuk tempat menulis naskah-naskah (1957:64). Kemungkinan disitulah tempat penulisan naskah-naskah Laut Mati. Begitu juga ditemukan kurang lebih 1100 kubur, setelah digali kerangka-kerangka tersebut tersusun rapih, yaitu dengan kepala ke selatan. Menurut Vanderkam, tempat kuburan tersebut diprediksikan ada tiga wilayah. Pertama dengan kuburan yang besar di atas bukit yang tersusun dengan rapih, dan kuburan tersebut tidak hanya dibagian utara melainkan ke arah selatan yang juga digunakan sebagai tempat pemakaman. Setengah dari tempat itu dikhususkan untuk laki-laki, kecuali tujuh kuburan. Dan di sebelah timur terdapat empat untuk wanita dan bayi-bayi. Tetapi pada bagian utara ada juga kuburan yang bercampur, sedangkan di selatan ada yang dikhususkan empat kuburan untuk anak-anak termasuk perempuan. Vanderkam menambahkan, didalam kuburan itu dikhususkan untuk laki-laki, dalam penemuan itu tidak ada hal yang tersisa di bagian tubuh mereka, tetapi tiga dari lima kuburan yang ada khusus untuk wanita terdapat beberapa perhiasan yang tertingal di bagian kubur tersebut (2002:45). Tetapi untuk bagian timur memang tidak teratur. Seluruh kerangka, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak diduga adalah hasil pembantaian oleh orang-orang Romawi terhadap orang-orang Yahudi, khususnya kaum Zelot yang mempertahankan diri.

Berdasarkan penggalian dan penemuan Khirbet Qumran, Tuinstra dapat membagi ke dalam dua bagian mengenai masa hidup atau tinggal (pemukiman) kaum Esseni (1978 : 35-37), Pada pemukiman yang pertama, ia menduga bahwa pemukiman didudukinya Khirbet Qumran terjadi antara pertengahan dan akhir abad kedua sebelum masehi (150-100 BC). Menurut Bruce akhir dari hidup mereka adalah akibat dari gempa bumi, sehingga mereka harus meninggalkan tempat itu untuk beberapa saat, itu sebabnya seluruh tempat-tempat dimana mereka tinggal hancur dan tertimbun (1959 : 48-49). Josephus memprediksikan bahwa terjadinya gempa bumi sekitar tahun 31 BC menelan korban 30.000 jiwa. Lalu setelah masa terang (pasca gempa), mereka (Esseni) kembali lagi kepada lingkungannya. Inilah masa kedua dimana mereka bermukim. Bruce mengemukakan bahwa mereka membangun kembali komunitasnya, tetapi ditengah-tengah kerajaan Romawi yang dipimpin oleh Nero, mereka memberontak oleh karena pemerintahan Nero merugikan kaum Esseni (1959 : 50). Itu sebabnya mereka mendirikan Muraba’at, sebagai tempat perlindungan orang-orang Yahudi, dan meninggalkan Khirbet Qumran.

Penemuan Naskah-naskah di Goa-goa

Menurut Tuinstra ada terdapat tujuh naskah besar yang berasal dari goa pertama. Semuanya ditemukan oleh orang Badui. Ketujuh naskah itu terdiri dari tiga naskah kitab-kitab Perjanjian Lama, tiga naskah yang bersifat menjelaskan asal-usul komunitas orang Esseni, dan satu naskah berbahasa Aram (tafsiran kitab Kejadian). Ketiga naskah kitab-kitab PL itu adalah dua naskah kitab Yesaya dan satu naskah kitab Habakuk, beserta dengan tafsirannya (1978 : 38). Menurut Cross, ada juga didalamnya (Goa pertama) tafsiran-tafsiran dari Hosea, Nahum, Mika, Zefanya. Lainnya ditemukan juga naskah Damaskus Dokumen yang didalamnnya terdiri dari catatan-catatan tentang hukum, liturgi-liturgi, doa-doa, kegembiraan besar, berkat-berkat, nyanyian, dan hikmat orang-orang Esseni (1958 : 35).

Lalu ketiga naskah lain berisi tulisan tentang norma-norma yang dibuat oleh kaum Qumran yaitu naskah yang berisi petunjuk-petunjuk mengenai hidup persekutuan orang Esseni yang hidup di Khirbet Qumran, beserta nyanyian pujian, dan naskah lainnya mengenai suatu perang kudus antara anak-anak terang dan anak-anak kegelapan (1978 : 39). Burrows menambahkan bahwa kitab seperti Imamat, potongan-potongan dari Keluaran, dua catatan tentang Ruth, Yesaya, Yeremia, Mazmur masing-masing satu. Ada juga beberapa naskah yang diluar tulisan Alkitab Ibrani maupun Aramik (1960 : 60).

Pada goa ketiga yaitu tahun 1952, ditemukan suatu gulungan tembaga yang ditulisi (Tuinstra, 1978 : 40). Lasor menginformasikan bahwa tiap-tiap tembaga 12 inchi tingginya, dan tiap lembar memiliki panjang 32 inchi. Gulungan tembaga tersebut ditemukan dalam keadaan tertimbun dengan kedalaman 16 sampai 18 kaki (Lasor, 1956 : 33-34). Cross juga menjelaskan mengapa gulungan tersebut terbuat dari tembaga, menurut beliau adalah supaya gulungan tersebut terjaga dan terpelihara atau terhindar dari sobekan dan potongan-potongan (1958 : 16). Ia juga menambahkan yaitu dengan mengutip dari Prof. Khun, ia mengatakan bahwa dengan adanya gulungan tembaga maka hal itu dapat memungkinkan terjaga dari usaha-usaha orang-orang Romawi yang ingin menghancurkan naskah-naskah kaum Yahudi (1958 : 17).

Empat tahun kemudian, pada goa yang keempat ditemukan beribu-ribu kepingan (great collection), dan ini adalah penemuan yang sangat penting, karena diperoleh 15.000 fragment, dan beberapa diantaranya 574 naskah yang ditemukan dalam kondisi kurang baik (www.christianAnswer.net). Tuinstra mengatakan bahwa dari 400 naskah atau penggalan naskah, 120 berisi bagian dari Alkitab. Hampir semua kitab PL terdapat dalam tulisan itu, kecuali kitab Ester. Ada bagian dari kitab Samuel, Keluaran dan Yeremia yang berasal dari abad ketiga BC (1978 : 40). Bagian lainnya yang ada dalam goa keempat yaitu dokumen-dokumen yang bercorak pseudepigrapha yang ditulis dalam bahasa Aram dan Ibrani, misalnya kitab Tobit, Jubilee, Nyanyian Yosua, Pseudo-Jeremianic Works, Perjanjian antara Imam dan Naftali, lalu sumber-sumber dari perjanjian berikutnya seperti 12 Patriakh, Henokh, dan beberapa catatan tentang Penyingkapan Daniel (Cross, 1958 : 34), Burrows dalam bukunya ia menambahkan, yaitu naskah terjemahannya di akhir karangannya (The Dead Sea Scrolls, 1960). Naskah-naskah itu ialah dalam bentuk tafsiran, seperti tafsiran Mazmur, Yesaya, dan beberapa nabi kecil. Ada juga nyanyain sekte seperti Mazmur Ucapan Syukur dari Rabi, buku tentang Disiplin, dan lainnya (1960 : 63).

Untuk goa kelima, enam, sampai ke sepuluh tidak ada banyak tentang catatan atau informasi mengenai hasil temuan atau galian tersebut. Cross hanya mengemukakan bahwa di dalam goa kelima hanya terdapat tanah liat, dan aliran air yang turun ke permukaan. Dan tidak ditemukan juga naskah-naskah Qumran (Minor Finds). Tetapi pada goa ketujuh ada beberapa papirus, misalnya surat Yunani dari Yeremiah (1958 : 22).

Dan pada goa yang terakhir yaitu kesebelas, orang-orang Badui tersebut menemukan lagi gulungan Mazmur terjemahan kitab Ayub dalam bahasa Aram dan tulisan-tulisan yang lainnya (Tuinstra, 1978 : 40). Dalam penemuan kesebelas ini, bagi Cross hal ini adalah tidak kalah pentingnya dengan yang ada di goa pertama dan keempat (1958 : 23). Alasannya ialah baik goa pertama, empat, dan sebelas masing-masing menunjukkan kelengkapannya dan kesempurnaannya (jelas dan informative).

Dan pada goa lainnya juga dapat ditemukan sejumlah koin yang sangat besar. Lasor menceritakan jumlahnya terdiri dari 250 koin. Sedang pada tahun 1954 bertambah lagi sekitar 150 koin. Dibawah ini Lasor mendeskripsikan koin-koin yang ditemukan menurut orang-orang yang berkuasa pada masa itu (1956:35). Koin-koin tersebut terdapat gambar-gamabr dari wajah raja yang berpengaruh pada waktu itu, di antaranya ialah :

Antiokhus VII (Abad dua sebelum masehi) dengan jumlah 3 koin

John Hyrkanus (135-104 BC) dengan jumlah 14 koin

Aleksander Jannoeus (103-76 BC dengan jumlah 38 koin

Hasmoneaus (tidak diketahui) dengan jumlah 15 koin

Artigonus (Matatias), 40-37 BC dengan jumlah 2 koin

Herodes The Great (37-4 BC) dengan jumlah 1 koin

Tyre (29 BC) dengan jumlah 1 koin

Herodes Archelaus (4 BC-6 AD) dengan jumlah 6 koin

Yang dikuasakan dibawah Augustus dengan jumlah 3 koin

Yang dikuasakan dibawah Tiberius dengan jumlah 7 koin

Agrippa I (37-44 AD) dengan jumlah 23 koin

Yang dikuasakan dibawah Claudius dengan jumlah 5 koin

Yang dikuasakan dibawah Nero dengan jumlah 15 koin

Pemberontakan pertama, tahun kedua (67-68 AD) dengan jumlah 11 koin

Kaisarea dibawah Nero (67-68 AD) dengan jumlah 8 koin

Dora dibawah Nero (67-68 AD) dengan jumlah 1 koin

Dora (dengan waktu yang berbeda) dengan jumlah 1 koin

Vespasian (70 AD) dengan jumlah 1koin

Ashkalon (72-72 AD) dengan jumlah 1 koin

Beberapa tipe lainnya dengan jumlah 1 koin

Judea Capta dibawah kekuasaan Titus (setelah 79 AD) dengan jumlah 3 koin

Agrippa II (kira 86 AD) dengan jumlah 1 koin

Pemberontakan kedua, 132-135 AD dengan jumlah 13 koin

Byzantine dengan jumlah 3 koin

Arab dengan jumlah 2 koin

Bukti-bukti dari Arkeologi dan Paleography

Millar Burrows menjelaskan mengenai dasar dari pertentangan terhadap penemuan di rerntuhan Qumran. Burrows mengatakan bahwa seluruh dokumen-dokumen tersebut menjadi polemik oleh karena penemuan itu belum tentu mengandung arti historis atau bukti-bukti yang kuat, dan tidak menunjukkan hal yang penting (1960:73). Contoh orang yang menolak bahwa hal itu tidak mengandung sejarah adalah Norman Golb, ia memiliki pendirian tentang reruntuhan Qumran. Menurutnya reruntuhan tersebut ialah biasa dipakai untuk urusan militer, dan Golb mengatakan bahwa tidak ada hubungannya dengan naskah-naskah yang ditemukan di dalam 11 goa yang berdekatan. Adapun alasan yang dimaksud ialah bahwa bagian utara Laut Mati dan bagian besar pesisir barat Laut Mati dapat dipantau. Begitu juga dengan benteng-benteng besar di Masada (barat daya Laut Mati) dan di Machaerus (sebelah timur Laut Mati), seluruh daerah itu dapat dipantau dan dikuasai, dengan demikian serangan pada Yerusalem dari tenggara dapat dihentikan. Sedangkan dalam reruntuhan Qumran terdapat landasan untuk sebuah menara, inilah yang menjadi alasannya bahwa tempat itu sebagai pengamatan militer.

Golb juga melaporkan bahwa bangunan yang sudah menjadi reruntuhan itu terdsiri dari beberapa urusan militer, misalnya seperti kandang untuk kuda, tempat untuk menempa besi, dapur dan ruang makan, penggilingan dan gudang untuk menyimpan pangan, dan satu ruangan dengan bangku-bangku yang dipasang pada tembok, ruangan yang bisa digunakan untuk rapat atau pun tuk ibadah.

Mengenai naskah-naskah Qumran, Golb mengatakan bahwa ada lebih dari lima puluh macam tulisan tangan yang kelihatan dalam naskah-naskah tersebut. Karena menurutnya tidak mungkin satu kelompok orang dengan jumlah yang tidak seberapa memeiliki begitu banyak juru tulis untuk menyalin. Naskah-naskah itu juga lebih dari 800 karangan. Hal ini berarti bahwa tulisan itu merupakan sebagian besar dari seluruh sastra yang dihasilkan keyahudiannya di Palestina. Naskah-naskah Qumran itu menurut Golb merupakan tulisan-tulisan yang dibawa ke Qumran dari Yerusalem, dan diantaranya ada naskah-naskah yang tadinya disimpan di komplek Bait Allah di Yerusalem. Tulisan-tulisan ini dibawa dari Yerusalem dan disembunyikan ke dalam gua-gua dekat Qumran dengan harapan bahwa tulisan tersebut akan diselamatkan dari pasukan Roma yang sedang mendekati ibukota masyarakat Yahudi.

Berdsasarkan pegamatan Golb maka dapat diperhatikan bahwa sebenarnya ia membuktikan adanya penemuan itu, yaitu dengan menjelaskan beberapa uraian atau informasi yang tidak jauh berbeda dengan temuan arkeologi lainnya. Hanya Golb tidak menganggap penting bahwa hal itu adalah temuan sejarah yang memiliki nilai luas. Karena baginya temuan reruntuhan itu merupakan peninggalan dari orang-orang Romawi yang berkuasa pada masa itu dan difungsikan untuk militer. Meskipun Golb menunjukkan unsur yang nasionalis dan militan, ia tetap membuktikan penelitiannya bahwa sebelumnya pernah ada suatu komunitas yang mendiami tempat tersebut dan membuat tulisan-tulisan dalam bentuk paleography (berdasarkan gaya dan ajaran).

Vanderkam mengatakan bahwa bukti-bukti dari penemuan itu tentunya menunjukkan gamabran yang jelas, dalam bukunya “The Meaning of The Dead Sea Scrolls” melaporkan bahwa hal yang dimaksudkan ialah adanya bukti-bukti sosial, hal bercocok tanan yang dikerjakan oleh penduduk setempat, dan berbagai macam benda-benda yang ditemukan. Tentunya hal itu dapat dilihat ditempat-tempat seperti museum, atau infoe,asi-informasi dari para penggali yang pernah ditulis dalam bukunya, misalnya Roland de Vaux (2002:37).

Paleography adalah suatu studi tentang penguraian tulisan kuno, dalam hal ini peneliti menentukan keasliannya dalam hitungan periode yang berjalan pada masa itu (Pfeiffer, 1957:21). Bukti-bukti penulisan itu dapat dilihat dari bentuknya yang dari tahun ke tahun mengalami perubahan secara progresif. Burrows mengatakan bahwa esensi penulisan memiliki sikap yang hati-hati untuk mengerjakannya (1960:83). Bukti-bukti penulisan juga terdapat dalam penulisan huruf gaya Romawi, atau dalam penggunaan bahasa Turki. Tulisan-tulisan yang kuno itu juga membuktikan bahwa orang-orang pada masa lalu sudah dapat menggunakan dan mengembangkan pengetahuan menulis menurut budaya yang berlaku dalam kelompok tertentu. Contohnya orang Babilonia dalam memakai tulisan Aramik, tentunya menggunakan gaya dari bangsa Kanaan, tetapi orang-orang pada waktu itu dapat memodifikasikan secara teratur jenis-jenis hurufnya (lihat gambar dalam lampiran).

Usia dari Naskah-naskah yang Ditemukan

Setelah menelusuri beberapa penggalian dan penemuan di sekitar Laut Mati, maka yang perlu diketahui ialah mengenai usia dari naskah-naskah tersebut, apakah betul-betul usang (kuno) ? Bahkan melebihi dari naskah asli yang sudah ditentukan oleh kelompok Masoret. Berdasarkan dengan itu maka penulis akan meneliti uraian dari para ahli atau sarjana yang menentukan sikapnya terhadap usia dari naskah-naskah yang sudah ditemukan itu.

Cara-cara yang dipakai ialah dengan melihat penulisannya yaitu bentuk pelografi, cara ini berdasarkan bahwa tiap zaman mempunyai cara menulis yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud adalah bukan bahasanya, melainkan bentuk hurufnya. Tuinstra menjelaskan bahwa bentuk huruf yang diteliti ialah sesuai dengan bentuk huruf pada jembangan berisi tulang yang berasal dari abad pertama sebelum dan sesudah masehi (1978 : 43). Berbeda dengan Pfeiffer, dengan kecermatannya ia menilai bahwa bentuk tulisan (paleografi) dapat dibagi menjadi dua bagian pada masa itu, pertama dengan mengamati prasasti-prasasti dari orang-orang Ibrani awal (sudah kolot, tidak dipakai lagi). Tulisan itu digunakan pada zaman Saul atau Daud (abad 11 BC). Lalu dalam bentuk tulisan ‘kuadrat’ alphabet, artinya tulisan tersebut dipadukan dari beberapa gaya penulisan yang dipakai oleh bangsa Aram dan Ibrani. Misalnya Paiprus Nash menggunakannya (1957 : 23). Menurut Schubert, tulisan itu masih dipakai pada masa Barkhoba, dan ditemukan tulisannya di Wadi Murabb’at, sekitar Laut Mati sebelah selatan dari Qumran (1958 : 17).

Cara lain yaitu dengan menggunakan Fysiko-Kimia. Menurut Tuinstra, lembaran-lembaran naskah yang terbuat dari perkamen, atau kulit kambing dipanaskan sampai mengkerut. Maka makin rendahnya panas yang diperlukan untuk mengakibatkan kerutan itu, makin tuanya perkamen-perkamen tersebut. Ruginya metode ini ialah bahwa bagian kecil dari naskah harus disobek atau dipecahkan (1978 : 44).

Metode C-14 merupakan metode yang sering digunakan oleh para ahli untuk menentukan umur barang tembikar dan sisa kain yang terdapat dalam goa-goa Qumran. Orang dapat menghitung jumlah bahan C-14 yang ada dalam barang tertentu, seperti kayu, kain, kulit, dan sebagainya. Maka melalui jumlah bahan C-14 ini mereka dapat menentukan kapan bahan itu dipakai oleh manusia (1978 : 44). Menurut Pfeiffer, karbon 14 itu adalah sebuah radioaktif yang memiliki berat yang tidak stabil dengan kekuatan 14. Dikatakan normal atau stabil yaitu 12 berat atomnya. Sedangkan bila melebihi dari standar maka ditentukan bahwa usia dari naskah atau benda yang diteliti 5500 tahun. Arinya bahwa 1 ons karbon 14 dikurangi kepada setengah ons didalam 5500 tahun, yaitu dari sisa kerusakan padsa benda atau naskah tersebut ( Pfeiffer, 1957 : 26). Secara sederhana Schubert mengatakan bahwa proses radio karbon, yaitu dengan membungkus naskah tersebut dan memakai linan (semacam kain), lalu akan mernghasilkan kira-kira berapa lama usia naskahnya atau tembikar tersebut ( 1958 : 16).

Berdasarkan metode yang digunakan maka seluruh ahli mengambil kesimpulan bahwa naskah- naskah dan benda-benda yang bersejarah tersebut berumur 1000 tahun lebih tua dari teks Alkitab Ibrani versi Masoret. Artinya sebelum para Masoret menyimpan teks-teks asli Perjanjian Lama yang akan dibakukan, bahwa jauh sebelumnya terdapat teks-teks asli Perjanjian Lama yang memiliki “kesamaan“ dengan terjemahan saat ini. Penggalian dan penelitian membenarkan bahwa seluruh naskah ditulis oleh sekelompok Qumran yang hidup pada sekitar abad dua sebelum masehi.

Bahkan dapat diprediksikan dari usia tembikar yang pada masa Helenis, yaitu Alexander Agung berkuasa pada tahun 323 sebelum masehi. Pfeiffer melihat ada kesamaan juga dengan masa kaisar Agustus ( 31 BC ), sampai ditemukannya pada abad ke 20 ini ( 1957 : 25). Bukti-bukti arkeologi mendukung dan menentukan usia naskah atau gulungan yang ditemukan, karena menurut Alkitab khususnya Yeremia 32 : 14 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan Yeremia untuk menyimpan salinan teks kedalam tanah supaya tahan lama. Dengan pernyataan tersebut berarti merupakan tradisi orang Israel untuk mempertahankan naskah-naskahnya, mereka harus menaruhnya ke dalam bejana tanah. Yeremia hidup pada masa pemerintahan raja Yosia 625 BC sampai dengan keruntuhan Yerusalem pada tahun 587 BC. Berdasarkan konteks pada kekuasaan Zedekia, raja Yehuda. Dan kondisi itu Babel mengepung Yerusalem dan membakar habis lalu membawa mereka ke Babel.

Itulah sebabnya orang-orang dari komunitas Qumran, pun mempertahankan hasil karya mereka ( salinan) dan menimbunnya atau menyimpannya ditempat yang dianggap aman dan tepat. Ditengah-tengah pengepungan oleh orang-orang Romawi pada pemerintahan Titus. Maka jauh sebelumnya mereka mengamankan seluruh naskah dan apa yang menurut mereka anggap penting, di goa-goalah tempatnya, itu pun dimasukkan ke dalam tanah.

Pada hakekatnya benda-benda sejarah yang ditemukan memiliki nilai dan makna histories, tentu tidak ada unsur spekulasi. Para ahli hanya dapat menduga berdasarkan metede-metode yang sering dipakai. Secara kasat mata yaitu dengan melihat naskah-naskah yang tua dan sudah pecah atau terkoyak maka dapat ditentukan bahwa gulungan naskah-naskah itu sudah terkubur, dan sudah tua usianya ( usang ).

Bab IV

Penyelidikan Terhadap Teks-teks Yesaya Versi Qumran

Teks Masoret

Para ahli menyepakati bahwa sejarah teks PL berbahasa Ibrani dimulai pada sekitar tahun 100 Masehi. Tetapi apabila dilihat jauh ke belakang mengenai perkembangan bahasa, Sitompul mengatakan bahwa ada lima perkembangan bahasa Ibrani (1992:22). Pertama, bahasa yang muncul sebelum tahun 1000 BC. Pada waktu itu hanya ada beberapa tulisan dari jaman kuno tersebut, sehingga sifat bahasanya kurang dapat dipastikan. Kedua, tahun 1000-500 BC, bahasa pada zaman itu dikatakan sebagai “bahasa Ibrani klasik”, yang dikenal sebagai bahasa Alkitab khususnya PL. Ketiga, tahun 500 sebelum masehi sampai 500 sesudah masehi, selama seribu tahun itu bahasa Ibrani semakin kurang dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari, tetapi tetap dianggap penting sebagai bahasa agama. Keempat, tahun 500 sampai 1900 sesudah masehi. Selama empat belas abad bahasa Ibrani hidup sebagai bahasa sastra untuk orang Yahudi tetapi tidak dipakai dalam hidup sehari-hari. Menurut ahli pada masa itu para sarjana dari bangsa Yahudi (orang Masora) menyempurnakan sistem penulisan Ibrani serta menyalin naskah-naskah Alkitab Ibrani sekaligus untuk menetapkan teksnya yang resmi, yangsampai saat ini masih dipakai. Sejak abad ke-16 bahas Ibrani masih diperbaharui tetapi masih dalam bidang sastra. Kelima, pada abad kedua puluh khususnya tahun 1881 bahasa Ibrani dipergunakan dalam bebrapa daerah di Palestina, dan pada tahun 1948 menjadi bahasa resmi dalam negara Israel. Menurut orang Yahudi, bahasa Ibrani modern pada dasarnya serupa dengan bahasa Alkitab, tetapi tata bahasanya dan pengucapannya disederhanakan, dan banyak kata baru dibentuk ataupun diadopsi dari bahasa lain.

Berdasarkan perkembangan di atas maka teks Masoret sudah mulai dibentuk pada sekitar abad ke-9 atau 10 M, dan memperoleh sistem vokalisasi yang baku sekitar abad ke-14 M (Lambe, Forum Biblika, 1992). Seluruh teks tersebut disusun oleh orang-orang yang memiliki keahlian dalam menulis dengan akurat. Menurut Lambe orang-orang yang telah berperan dalam penyusunan teks dasar itu biasa dikenal dengan nama “sopherim”, yaitu orang-orang yang menulis teks namun hanya terdiri atas konsonan saja. Sedangkan orang-orang yang membubuhkan tanda-tanda baca, yaitu vokal dan tekanan-tekanan baca pada kata-kata dan kalimat teks yang bersangkutan dinamakan “nakdanim”. Dan pengertian Masoret yaitu orang-orang yang membubuhkan catatan-catatan kritis mengenai cara-cara untuk membaca atau melafalkan sesuatu teks pada teks-teks yang bersangkutan, dan dengan catatan-catatan itu teks yang terkait tidak akan mudah berubah atau diubah (Forum Biblika, 1992). Catatan-catatan yang dimaksudkan para ahli menyebutkan dengan nama Massora (bahasa Ibrani), artinya pembakuan naskah (final) melalui pemberian tanda-tanda atau catatan-catatan baca oleh para rabi Yahudi.

Dalam proses pembuatan teks, ada dua kelompok Masoret yang terkemuka untuk mengerjakan sistem penulisannya. Kelompok pertama yaitu dari kelompok Masoret Barat yang berkedudukan terutama di Tiberias (Palestina), dan kelompok kedua yaitu keluarga Masoret Timur yang berkedudukan di beberapa kota di Babelonia. Kedua kelompok tersebut bersama menciptakan sistem untuk membukukan teks-teks yang bersangkutan, dan berupaya untuk menghindar dari pengubahan-pengubahan. Dengan sistem itu maka pada generasi berikutnya dapat menerima suatu teks yang sudah memiliki petunjuk dalam cara membaca. Para ahli PL menambahkan bahwa diantara kelompok Masoret di Barat dengan yang di Timur juga terdapat perbedaan dalam hal sistem membaca teks-teks itu. Bahkan dikalangan keluarga Masoret di Barat sendiri pun terdapat perbedaan dalam hal sistem Masora, khususnya anatara keluarga Masoret Ben Asyer dan keluarga Masoret Ben Naftali.

Berdasarkan catatan sejarah penulisan akhir teks Masoret, maka pada abad ke-9 sistem penulisan Ibrani dengan menggunakan vokalisasi ditetapkan dan meluas disekitar Palestina, dan disambut baik oleh Masoret Timur. Teks baku itu yang sudah ditetapkan dikenal dengan nama “textus receptus”, artinya teks yang sudah diakui dan diterima baik. Diangap baik dan diakui oleh karena “textus receptus” tersebut sudah memiliki bentuk yang lengkap (termasuk vokalisasi). Oleh ahli bahasa ibrani dikatakan bahwa teks tersebut dinamakan teks Masoretis, artinya teks yang mendasari teks-teks PL di dalam Biblia Hebraica. Sedangkan Biblia Hebraica Stuttgartensia dilandaskan atas naskah tua tulisan tangan (manuskrip) yang kini dikenal dengan codek Lengradensis. Naskah PLyang terdapat di dalam manuskrip itu diperkirakan berasal dari tahun 1008 M.

Bentuk Teks Masoret

Dalam tulisan-tulisan Masoret, mereka memiliki bentuk dan gaya penulisan tersendiri. Seperti yang sudah diketahui bahwa kaum Masoret memiliki tingkat kedisiplinan yang sangat tinggi dan memperlakukan teks Alkitab dengan rasa hormat, dan disertai suatu alat pengamanan yang sangat rumit untuk mencegah kesalahan dalam tulisan. Josh Mcdowell memberitahukan bahwa beberapa kali mereka menghitung setiap huruf dari alfabet yang muncul dalam sebuah kitab, mereka menunjukkan huruf tengah di Pentatukh dan huruf tengah dari seluruh Alkitab Ibrani, serta mereka membuat penghitungan yang bahkan lebih rumit dari pada sebelumnya (2002:99). Seorang ahli lain juga pernah mengatakan bahwa dalam membuat hitungan tersebut, mereka melakukan catatan khusus agar berbagai penghitungan dapat diingat dengan cepat. Disamping memperkirakan tulisan-tulisan tersebut, merekajuga menomori ayat, kata dan huruf dari sebuah kitab, lalu mereka memperhitungkan kata tengah dan mengukur dari tiap-tiap sisi penulisan baik kanan maupun kiri, dan setiap huruf yang ada ditengah diperhitungkan kembali. Hampir semua huruf ditandai. Seluruh upaya yang dilakukan oleh kaum Maosret bertujuan untuk meberikan perhatian yang ekstra ketat kepada penyalinan teks secara tepat. Lain dari itu, tanda-tanda yang diberikan atau diperhitungkan merupakan sebagai pengamanan agar tidak ada satu iota atau titik, atau huruf yang terkecil pun akan terlewatkan atau dapat hilang.

Untuk lebih dapat mengerti lagi maka dapat dilihat pada lampiran yang disediakan pada halaman belekang, yakni mengenai bentuk teks Masoret baik dari segi tulisan maupun format yang dipakai, khususnya kitab Yesaya.

Sistem Penulisan dari Naskah-naskah Laut Mati

Seorang ahli PL dalam bidang kritik sastra menanggapi mengenai sistem atau gaya penulisan dari naskah-naskah Laut Mati. Orang tersebut bernama Rochelle altman, katanya ada beberapa bagian yang harus dipahami, pertama ialah mereka harus memilih dengan baik naskah tersebut, artinya bahan dalam bagian yang akan ditulis tidak sepat rusak atau punah, begitu juga alat tulisnya sehingga setiap huruf yang ditulis tidak dapat sulit untuk dibaca. Kedua, bagian yang penting untuk membuat tulisan, para penuis Qumran mencoba dengan sistem format (layout) sehingga seluruh isi berada tetap dalam ruangan yang sudah dirancangkan. Dan pada akhirnya tiap-tiap kitab memiliki ukurannya untuk ditulis.

Berdasarkan unsur-unsur penulisan tersebut, maka didalamnya terdapat bagian-bagian yang menjadi ciri dan pelaksanaannya untuk menulis naskah Laut Mati. Menurut Altman, semua sistem penulisan di atas seperti naskah, format, dan ukurannya merupakan usaha kajian dari gaya dunia Barat, tetapi perlu diketahui bahwa jauh sebelumnya dunia Timur menjadi pusat penulisan naskah-naskah kuno, hal ini dimulai dari gaya bahasa dan sistem bunyi dari Mesopotamia, sehingga seluruh di bagian Mesopotami dan sekitarnya menggunakan penulisan dan gaya bahasa yang sama (phoenician). Di samping itu mereka memiliki satu stel lengkap huruf cetak yang sama jenis dan ukurannya secara tersendiri. Mereka juga memakai tulisan-tulisan yang sudah diedisikan kembali sehingga semakin sempurna. Hal yang menarik lagi bahwa setiap naskah yang akan ditulis, kertas atau catatan-catatan tersebut memiliki nilai yang resmi, artinya kertas tersebut harus mendapat izin dari penguasa yang hidup pada waktu itu. Karna untuk margin dan bahkan sampai pada berat kertas atau bahan harus sepengetahuan dari penguasa setempat. Itulah sebabnya pada masa orang Yahudi merasa ingin dihancurkan termasuk catatan-catatan atau manuskrip yang ditulisnya, mereka lebih dulu menyembunyikan dengan baik yaitu di dalam goa-goa. Oleh karena itu orang-orang Romawi mengetahui bahwa orang-orang Yahudi telah menulis naskahnya atas izin yang diberikan, tetapi mereka mengetahui bahwa apa yang mereka tulis adalah berupa naskah-naskah “hal yang suci” sehingga perlu juga untuk dihancurkan (untuk menghilangkan jejak). Tetapi ileh karena orang Yahudi lebih mengetahuinya maka mereka menyembunyikannya di tempat yang dianggap aman.

Seluruh sistem yang berlaku atau yang ditetapkan oleh Greco-Roman dalam hal penulisan khususnya, harus dijalankan dengan baik. Altman mengatakan bahwa setiap orang pada masa itu khususnya paguyuban Qumran mengikuti peraturan itu dengan terpaksa. Mereka harus menyesuaikan setiap ukuran naskah menurut aturan yang dipakai, yaitu tiap kitab yang dimuat dalam naskah harus dapat terisi di dalam papirus atau gulungan (kulit) sepanjang 731 cm, dengan lebar 30 cm. Itulah sebabnya kitab Yesaya dikenal dengan naskah yang terpanjang.

Sistem yang berlaku pada masa itu tidak hanya dilihat dari segi format dan alat ukurnya saja. Altman menambahkan bahwa ada juga sistem pemberian tanda-tanda baca (punctuation sistem). Tanda-tanda baca yang ditulis tentunya berhubungan dengan tradisi atau dogma yang terkait dalam paguyuban. Artinya dengan kata yang menekankan kuat atau lemah, maka digunakan tanda khusus. Misalnya dalam teks Masoret, tanda akhir kalimat mereka “silluq” atau “sof pasuq” (ֽ), dan tanda pertengahan kalimat menggunakan “atnakh” (ˆ), lalu bila da perhentian kecil memakai “zaqef qaton” (:). Dan pada penekanan yan keras atau lembut digunakan “begedkefet”. Sedangkan dalam teks Qumran, kata-kata yang terjadi seperti di atas digunakan tanda yang sama, tetapi dengan pemahaman yang berbeda. Artinya ketika kata diucapkan dengan penekanan yang lemah atau yang kuat, maka dengan konteks yang diperhatikan akan dapat dipahami maksud artinya. Misalnya kata “seala” dalam Yesaya 7:11 versi Masoret diartikan sebagai bentuk kata perintah (imperatif) yaitu “tanyalah”. Sedangkan dalam teks Qumran memakai kata “sye’ol” dengan arti “sampai kedunia bawah”. Dengan demikian berdasarkan pemahaman tradisi yang dipegang oleh orang Qumran maka artinya yang ditekankan ialah kepada dunia orang mati. Menurut ahli sistem penulisan ini ditentukan oleh gaya bahasa teks yang dipengaruhi oleh kebiasaan budaya terkait.

Altman juga menegaskan bahwa di dalam sistem penulisan Qumran, tiap sistem atau aturan yang ditentukan harus membentuk suatu konstruksi penulisan dan mempengaruhi setiap sub-sub sistem lainnya sehingga ada kaitan penulisan yang kuat. Artinya konsisten dalam penulisan.

Eksegesa Naratif Terhadap Naskah-naskah Laut Mati

Di dalam naskah-naskah Laut Mati menceritakan banyak kejadian sepanjang hidup paguyuban Qumran, disamping mereka memiliki catatan tersendiri seperti Dokumen Damaskus dan kehidupan lainnya, merek ajuga memiliki naskah-naskah kitab PL yang tidak jauh berbeda isi dan bentuk dengan versi Masoret. Uniknya setelah mencoba dengan menggunakan metode eksegesa naratif, terdapat beberapa makna historis yang tidak sama dengan kajian Masoret. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan dijelaskan secara berturut-turut sekitar naskah-naskah Laut Mati yang didalamnya terjadi pengdistorsian makna.

Untuk memulainya perlu diperhatikan bahwa kajian eksegesa atau kritik naratif, para ahli sependapat (tidak semua) bahwa pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan analisis alur cerita (plot), tema, motif-motif, watak (karakterisme), gaya (style), gamabaran pidato, simbolik, bayangan, pengulangan, kecepatan waktu dalam naratif, sudut pandangan, dan lainnya. Menurut Sitompul, pengkajian tersebut lebih mementingkan nilai estetika (keindahan) dan pekerjaan dari pada nilai teologi dan moral (2002:303).

Berdasarkan mekanisme yang tersaji maka naskah-naskah Laut Mati dapat diamati dengan kritis. Misalnya seorang ahli dari Hungaria Ida Frohlich menjelaskan bahwa naskah kitab Kejadian (Genesis) memiliki gaya cerita yang berbeda. Hal ini terlihat dari adanya gambaran atau deskripsi yang bersemangat dalam menjelaskan cerita tersebut, baik dari segi dialog dan monolog, termasuk cara mengungkapkan hal-hal yang ilahi dalam cerita itu. Menurut Frohlich, cerita/gambaran tersebut terdapat dalam Genesis Apocryphon dalam garis yang ke-252 (4Q 252), artinya naskah itu ditemukan dalam goa ke-4 dengan kitab Genesis (Kejadian) dalam garis yang ke-252. Pada bagian tersebut terdapat teks yang misterius, maksudnya terdapat kata-kata baru dalam bentuk pernyataan yang tidak sama dengan Genesis dalam Pentatukh. Setelah diteliti, Frohlich mengatakan bahwa setiap perintah dalam teks itu menggunakan seluruh kelima kitab Musa sebagai referensi. Dan mereka sering menyisipkan dengan menambahkan cerita-cerita lain. Cerita-cerita itu dipilih berdasarkan tradisi atau budaya mereka, dan menghilangkan atau mengabaikan hal yang definitif dari salinan lainnya (http: www.orion.mscc.huji.ac.il/orion/symposium/ist/papers/frohlich96.html). Cerita yang dimaksudkan di sini ialah mengenai Nuh yang di dalamnya terdapat kelahirannya, Air Bah, bahkan sampai terjadinya banjir besar meliputi samudera. Cerita ini dikemas dengan tema dan motif yang dikembangkan oleh orang-orang Qumran berdasarkan tradisi yang diterima. Dengan demikian penulis mencoba untuk menceritakan kembali (retelling) kepada pembaca bahwa inilah gaya dan gambaran yang dapat diterima oleh kelompok Qumran. Artinya dari segi naratif, penulis mencoba membuat sesuatu yang dapat dipahami dengan masuk akal (possible), itulah sebabnya Air Bah dalam masa Nuh harus dimengerti dengan motif yang dipahami (arti tertentu daja) oleh orang yang hidup pada masa itu.

Dalam penjelasan di atas berarti dapat dikatakan bahwa dalam pendekatan naratif tentunya akan muncul sudut pandang yang berbeda. Menurut Sitompul, sudut pandang yang dimaksudkan ialah suatu perspektif yang dilakukan oleh berbagai karakter atau aspek-aspek dalam narasi. Tentunya hal itu selalu dikaitkan kepada narator yang berinteraksi dengan cerita dalam berbagai cara yang menghasilkan pengaruh bahwa cerita itu dapat diketahui oleh pembaca (2002:304). Gaya atau makna cerita terletak pada orang memandangnya (world view), tetapi penulis sebagai pencerita berusaha membawa pembaca untuk memahami makna cerita itu. Dengan demikian bila adanya perubahan yang misterius dalam naskah Qumran, maka hal itu terkandung pesan tertentu saja, ada pun motif yang dimaksudkan oleh penulis hanyalah untuk melintasi pembaca agar paham apa yang dituliskannya, sehingga pesan tersebut mengarahkan pembaca untuk memperoleh suatu arti cerita yang sesuai dengan kebutuhan rohaninya.

Dengan contoh atau kasus teks yang sudah dipahami itu berarti naskah-naskah Laut Mati perlu dikaji kembali dari segi semua pendekatan ilmiah (bila perlu). Naskah-naskah besar seperti kitab Yesaya pun memiliki kasus yang sama apabila ditelusuri letak perbedaannya. Oleh karena itu dalam bagian-baian selanjutnya akan diselidiki teks-teks yang terkait dalam kitab Yesaya dengan menggunakan corak studi komparatif. Tentunya motif dan gaya dalam versi Qumran, Yesaya menyimpan makna khusus, dan pesan yang tersembunyi, dan juga memiliki nilai otoritas yang berpengaruh.

Studi Linguistik dari Teks-teks Yesaya dalam Perspektif Historis

Dalam memahami kitab Yesaya khususnya versi Qumran perlu dikaji hal-hal yang yang berkaitan dengan ilmu bahasa pada masa itu. Sebelumnya perlu diketahui bahwa seluruh bahasa yang ada di dunia dapat digolongkan ke dalam beberapa rumpun (Baker, 1992:19). Rumpun yang pertama ialah Indo-Eropa, yaitu bahasa-bahasa yang ada di Eropa, Iran dan India. Kedua, rumpun Austronesia, yaitu bahasa-bahasa yang terdapat di Malagasi, Indonesia, Filipina, dan Oceania. Ketiga, rumpun Semito-Hamit, bahasa-bahasa yang ada di Asia Barat dan Afrika. Rumpun Semito-Hamit dibagi lagi menjadi rumpun Semit (bahasa-bahasa Asia Barat) dan rumpun Hamit (bahasa-bahasa Afrika).

Kalau dilihat sejarah munculnya rumpun bahasa Semit, maka teringat dengan nama Sem anak Nuh yang dianggap sebagai leluhur bagi bangsa Timur Tengah dalam Kejadian 10. Dalam catatan Alkitab selanjutnya rumpun bahasa tersebut terdiri dari tiga tempat, yaitu (1) Timur, yang terdiri dari bahasa Akkad yang mencakup bahasa Babel dan bahasa Asyur. (2) Selatan, yang terdiri dari bahasa Arab dan bahasa Etiopia. (3) Barat, yang terdiri dari bahasa-bahasa Kanaan, termasuk bahasa Ebla, Ugarit, Moab, dan Ibrani, lalu bahasa Aram.

Menurut para ahli, dua bahasa dari rumpun Semit khususnya bagian Barat digunakan dalam PL, bahasa itu adalah bahasa Ibrani (hampir seluruh PL), dan bahasa Aram (Ezra 4:8-6, 6:18, 7:12-26, Yeremia 10:11, Daniel 2:4-7:28). Pada abad ke-9 sebelum masehi, bahasa Aram telah menjadi bahasa internasional sehingga semakin lama bangsa Israel mempelajari bahasa Aram, bahkan mereka menggunakan bahasa itu sebagai percakapan sehari-hari (2 Raja-raja 18:26), dan mereka (orang Yahudi) tidak bisa lagi berbahasa Ibrani). Bahasa Ibrani yang digunakan sebelumnya hanya dipakai dalam bidang keagamaan saja. Dengan demikian seandainya naskah Yesaya ditulis 600 tahun kemudian dari zaman Yesaya maka ada kemungkinan corak penulisan dipengaruhi oleh tulisan Aram atau tata bahasa Internasional pada masa itu (Aramik). Karena berkisar tahun 500 sebelum masehi sampai 500 sesudah masehi, selama seribu tahun itu, bahasa Ibrani semakin kurang dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari, meskipun tetap dipentingkan sebagai bahasa agama.

Berdasarkan fakta-fakta di atas yang menerangkan kondisi perkembangan bahasa, maka secara khusus perlu ditelusuri kembali dengan menggunakan pendekatan studi linguistik dalam konteks historis kritis. Dalam aspek historis, pakar ilmu linguistik mengakui bahwa pasca zaman patriakh, orang pada masa itu menggunakan bahasa Ibrani (Abdul Chaer, 2003:7). Tetapi jauh sebelumnya masih belum ditentukan oleh karena sifat bahasanya sulit dipastikan, yaitu sekitar tahun 1000 sebelum masehi (Baker, 1992:22). Mengenai teks yang ada di dalam Yesaya, tentunya tidk dapat dilepaskan dengan pergeseran-pergeseran bahasa atau pengaruh budaya setempat pada masa itu. Verhaar menambahkan bahwa di dalam perkembangan linguistik, untuk memahami bahasa-bahasa kuno maka yang menjadi obyek penelitian adalah beberapa hal yang menjadi dasar diantaranya adalah hukum, dan sosiologi atau budaya (2001:5). Teks-teks Yesaya yang ditulis dalam tata bahasa Aram dan penulisannya tentu mengikuti hukum-hukum yang berlaku. Para ahli menjelaskan bahwa kitab Yesaya dituliskan secara definitif dan dipegang oleh kelompok Qumran. Ada kemungkinan dibawah kekuasaan sesudah Aleksander Agung, maka unsur-unsur penulisan dan bahasa yang dipakai terkontaminasi dengan bahasa internasional, yaitu Aram. Meskipun memakai tulisan Ibrani (karena maksud religius), tulisan atau bahasa yang dipakai dapat mengubah maknanya. Itu sebabnya seringkali vokal yang dipakai dalam teks Ibrani, atau tanda penekanan huruf dari kata Ibrani yang digunakan dapat membuat arti yang bertolak belakang dengan versi Masoret. Karena menurut Verhaar bisa saja hal itu terjadi oleh karena dalam linguistik, bahasa yang dipakai sehari-hari dapat mengungkapkan afeksi atau emosi sehingga hal itu sebagai sifat khas golongan sosial setempat yang tidak dapat diubah lagi (2001:5). Sedangkan Suparno menambahkan bahwa bisa saja terjadi campur aduk bahasa (mix of language), baik dalam wujud bahasa maupun dalam media huruf, demikian juga secara otomatis mencampuradukkan pengertian bunyi dan huruf (2003:36). Begitu juga pada masa teks Yesaya ditulis, secara linguistik terjadi penggabungan bahasa maupun tulisan antara Ibrani dengan Aram sehingga terjadi perubahan makna. Misalnya dalam Yesaya 21:8a “maka berserulah ia: Seekor singa Tuhan. . . . . “, sedangkan dalam Masoret “kemudian berserulah orang yang melihat itu. . . . .”. Perbedaan terjemahan ini disebabkan oleh satu huruf saja dalam bahasa Ibrani, yaitu kata “singa” berubah menjadi “melihat” (Tuinstra, 1978:90).

Gulungan Kitab Yesaya Versi Qumran

Di dalam kehidupan kekristenan dan kelompok Yahudi, kitab Yesaya merupakan kitab yang dianggap penting, oleh karena beberapa bagian menunjukkan pesan penghakiman dan kabar yang menyenangkan mengenai kedatangan kerajaan Allah (Mesias yang dijanjikan). Beberapa sarjana menyetujui bahwa pasal 1-36 atau 1-39 merupakan tempat dimana Yesaya melayani, yaitu Yerusalem (7 Sebelum Masehi). Sedangkan pasal 40-55 tercatat nubuatan Yesaya, pada bagian ini seringkali dikatakan sebagai Yesaya Kedua (Second Isaiah). Sebagian ahli dari garis liberal menyetujui bahwa bagian ini belum diketahui siapa penulisnya (mungkin orang dekat Yesaya), dan pada bagian itu juga dejelaskan bahwa Yesaya melayani sekitar tahun 587 Bc. Sedangkan pada pasal 55-56 masih dikatakan sebagai kitab Yesaya Kedua atau kitab yang ditulis oleh nabi lainnya dengan gaya yang sama. Gulungan kitab Yesaya ditemukan di daerah Yudea khususnya daerah padang pasir. Ditemukannya gulungan itu merupakan salah satu bagian atau temuan besar selain beberapa kitab lainnya.

Gulungan kitab Yesaya merupakan satu dari tiga kitab yang sangat terkenal menurut kelompok Qumran. Oleh karena kitab tersebut terdiri dari 21 naskah yang ditemukan. Di lembah Qumran kitab Yesaya dtemukan pada goa pertama dengan jumlah dua gulungan, goa keempat dengan 18 gulungan, dan satu buah pada goa kelima. Satu naskah lainnya ditemukan lebih jauh ke Selatan di Wadi Murabbat. Dalam catatan sejarah hanya pada goa pertama yang dianggap utuh makalahnya, tetapi beberapa yang lainnya tetap dianggap penting seperti pada penemuan di goa empat. Para ahli sepakat bahwa naskah-naskah itu merupakan salinan yang berakhir kira-kira hampir dua abad lamanya.

Di antara semua gulungan-gulungan yang ditemukan di lembah Qumran, gulungan kitab Yesaya merupakan gulungan kitab yang sangat komplit dari lainnya. Manuskrip atau gulungan kitab Yesaya terbuat dari kulit binatang yang terdiri sekitar 17-18 potong yang dijahit secara bersamaan, naskah itu ditemukan dalam kondisi baik dan ada yang parah juga. Di samping itu terdapat jug akekosongan atau potongan-potongan yang rusak, dan teks sebelah kirinya seperti ada celah yang sudah termakan usia atau akibat tumpukan. Dibawah ini adalah bagian-bagian dimana potongan-potongan yang terbuat dari kulit sudah hancur dan berguguran. Kekosongan itu dapat ditemukan dalam pasal 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 12, 15, 16 , 17, dan pasal 38 (http://religion.rutgers.edu/iho/dss.html). Hal yang menarik ialah bahwa unsur orthography (spelling) dari kitab itu sangat lengkap dan lebar. Sedangkan dari segi penulisan (Paleography) menunjukkan beberapa analisa yang membuktikan bahwa naskah itu merupakan salinan yang berkisar dari abad 2 BC-1 BC. Di dalamnya terdapat 50 sampai 54 kolom. Dalam temuan pada goa pertama terdapat 60-66 pasal dari kitab Yesaya, kecuali ada beberapa hal yang menunjukkan celah-celah yang dimana dari kulit-kulit naskah tersebut mengalami kerusakan, misalnya pada kolom 1-9. Menurut ahli teks, khususnya Venderkam dan Flint, teks yang ada dalam gulungan kitab Yesaya pada umumnya mendapat persetujuan dari Masoret, tetapi dari segi isi dan pembacaan perlu dikoreksi secara teliti, yang mana hal itu menjadi perhatian bagi para sarjana (2002:131).

Pada gulungan kitab itu dan bukti-bukti lainnya yaitu naskah-naskah usang, rupanya hanya terdiri satu edisi saja. Meskipun demikian tetap ada beberapa varian (ke dalam bentuk bahasa lain). Dari hal itu yang menarik lagi ialah seluruh isinya terkandung juga bentuk-bentuk tradisi penulisan Yahudi sehingga teks-teks Ibrani seperti ada unsur kesamaan dengan teks Masoret, dan sama berharganya dari kitab-kitab lainnya.

Kitab Yesaya juga memiliki pengaruh bagi kitab-kitab lainnya, hal itu terbukti oleh karena beberapa bagian dikutip oleh kitab-kitab lainnya dalam naskah-naskah Laut Mati (naskah pseudographia). Bukti tersebut menunjukkan bahwa kitab Yesaya memiliki pengaruh yang kuat oleh karena penulis kitab berasal dari kelompok yahudi yang dianggap penting dalam paguyuban Qumran.

Dalam kitab Qumran terdapat pemahaman khususnya dalam kitab Yesaya bahwa nubuatan Yesaya memebrikan gambaran atau pengertian yaitu mereka sendiri akan memisahkan diri dari orang-orang Yahudi yang berada di Yerusalem, dan mereka mengakui bahwa dalam perintah lainnya terdapat pernyataan seseorang yang akan menyiapkan jalan untuk Tuhan. Tetapi dengan perspektif yang lain mereka membuat pemahaman baru dalam dogma yang berbeda, artinya dengan pola kehidupan seperti Yohanes di padang belantara yang menunjukkan bahwa itulah kehidupan kelompok Qumran yang sebenarnya.

Mengenai gulungan kitab Yesaya ada beberapa macam yang sudah diterjemahkan, sebagian besar ke dalam bahasa Inggris. Sedangkan untuk bahasa Indonesia hanya ayat-ayat tertentu saja. Dalam bahasa Inggris yang dipakai terdapat dalam terjemahan Revised Standard Version. Di bawah ini ada beberapa contoh terjemahan dari gulungan kitab Yesaya (Dead Sea Scrolls Bible) versi Fred P Miller (www.ao.net/~fmoeller/qum_12.htm). Misalnya :

1. Yesaya 7:11 “Ask for Yourself a sign from YHWH your God (from the deep ask) it or from the height above”. Dalam teks ini kelompok Qumran menekankan kepada dunia bawah atau dari bawah atau kedalaman (the deep ask). Kata yang dikurung menurut penafsiran Miller adalah kata yang tidak digunakan oleh Masoret.

2. Yesaya 45:2, “ I will go before you, and make straight : the crooked places I will shatter the gates of brass, and chop up the bars of iron”.

3. Yesaya 53:11, “of the toil of his soul he shall see (light) and he shall be satisfied and by his knowledge shall he make righteous even my righteous servant for many and their iniquities he will bear”. Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah kata “see light”, dalam Masora tidak menekankan “melihat terang” dan bukan menunjukkan arti seperti yang dibayangkan oleh orang-orang Qumran.

Sedangkan dalam terjemahan bahasa Indonesia, Tuinstra dapat menafsirkannya dari teks Qumran ke dalam bahasa Indonesia dalam varian Klinkert (1978:90-91), misalnya :

1. Yesaya 51:19c, “. . . . .maka dengan siapa gerangan akau akan menghiburkan dikau?”. Bila memperhatikan terjemahan Masora dipakai kalimat “. . . . .siapakah yang akan menghibur engkau?”. Seperti di dalam terjemhan sebelumnya, pada bagian ini juga disebabkan oleh satu huruf saja, yaitu penekanan pada ה (the) yang sering kali dipakai atau tidaknya dalam penekanan kalimat oleh para penyalin naskah, itu sebabnya tergantung kebutuhan kelompok dulu. Teks Qumran tersebut tentunya menyesuaikan dengan bahasa Aram meskipun tidak sama.

2. Yesaya 60:19, “Bahwa matahari tiada lagi akan terang bagimu pada siang hari dan cahaya bulan pun tiada bersinar lagi kepadamu, karna Tuhan juga bagimu akan terang yang kekal. . . “. Sedangkan dalam terjemahan Masoret, “Bagimu matahari tidak lagi menjadi penerang pada siang hari dan cahaya bulan tidak lagi memberi terang pada malam hari, tetapi Tuhan akan menjadi terang abadi bagimu. . . “. Kata yang menjadi persoalan adalah “pada malam hari”, kalimat tersebut sebagai tambahan dalam teks Qumran, tetapi tidak ditemukan dalam teks lain seperti Masoret.

Dari seluruh terjemahan gulungan kitab Yesaya, masih terdapat banyak lagi, karena seluruh kitab Yesaya terdiri dari 66 pasal, dan 54 kolom berdasarkan pengelompokkan yang sudah disiapkan atau diformat oleh paguyuban Qumran. Dan untuk meneliti secara mendalam mengenai teks-teks yang menjadi pergeseran dan ketimpangan maka penulis akan menjawab bagain itu pada fokus selanjutnya.

Kritik Terhadap Naskah Laut Mati (Tinjauan Isi)

Berdasarkan penelitian para ahli bahwa naskah-naskah Laut Mati dinilai jauh lebih tua, dan naskah-naskah itu berasal dari zaman sebelum Kristus. Kecuali kitab Ester, seluruh naskah memiliki ‘kesamaan’ isi, meskipun bentuk vokalisasi berbeda, begitu juga bentuk penulisan atau gaya penulisnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh kekuasaan yang dipegang oleh Raja yang berkuasa pada waktu itu, ditambah lagi dengan pengaruh dari bangsa dan budaya lain, baik Syria dan Hellenis.

Meskipun dianggap tua, yakni 1000 tahun dari naskah Masoret, maka tidak akan mengurangi nilai keaslian dan kebenaran versi Masoret (ahli-ahli Talmud). Naskah Laut Mati memang lebih tua, tetapi perlu diketahui bahwa seluruh naskah yang ditemukan (kurang lebih 500 kitab) digunakan untuk kalangan sendiri, yaitu dalam lingkungan persekutuan Qumran. Uraian atau isi dari kitab-kitab yang ditulis oleh mereka (seperti Torah, Nevi’im, Ketub’im) harus memberikan unsur-unsur implikatif yang biblis terhadap kitab-kitab lainnya termasuk catatan-catatan harian dari orang-orang Esseni (Misalnya Dokumen Damaskus, buku tentang Disiplin, Mazmur Ucapan Syukur dari Rabi). Begitu juga dengan ajaran-ajaran yang diyakini atau dipegang, meskipun dalam konteks ajaran PL, mereka tidak boleh menganggap bahwa konsep pemilihan Allah hanya berlaku untuk orang-orang Esseni (ekklusive). Dalam catatan Alkitab, Allah justru memilih Israel untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, supaya mereka mengenal Allah Israel. Begitu juga dalam hal takdir, bagi Allah tidak ada takdir atau nasib. Hal ini diperlihatkan Allah mengenai kondisi bangsa Israel ketika diperbudak Mesir selama 400 tahun. Karena teriak mereka minta tolong, maka Allah menyelamatkan dan membebaskan mereka.

Oleh karena itu seluruh naskah-naskah yang ditemukan di Laut Mati, khususnya kitab-kitab yang sama dengan yang sudah dibakukan, tentunya hanya sebatas transmisi dalam penulisan, bukan dalam usaha pengdistorsian tetapi menginformasikan bahwa dalam masa sebelumnya ada sekelompok Qumran yang menulis kitab-kitab PL pada gulungan-gulungan tersebut. Berbeda dengan versi Masoret, seluruh kitab PL yang ditulis atau dibukukan (kanon) tidak ada kesalahan tulis sedikitpun. Untuk naskah Laut Mati yang kemungkinan dibuat oleh orang-orang Esseni tentu ada kesalahan-kesalahan kecil (sekedar tulis), karena tidak ada kriteria-kriteria penulisan. Sebagai orang-orang yang mengklaim kelompoknya ‘saleh’ dan menjaga seluruh hukum taurat, maka untuk menuliskan dan menyalin tulisan-tulisan ke dalam kitab (gulungan) maka harus disertai dengan aturan-aturan. Itu sebabnya pada masa itu tidak ada usaha untuk pembakuan (kanon), melainkan hanya untuk menjaga dan melindungi dari ancaman serangan orang-orang Romawi.

Untuk mengumpulkan dan membuat kitab-kitab berdasarkan pernyataan histories dan penyingkapan ilahi, maka Allah memakai orang-orang yang terampil atau ahli dalam bidang penulisan naskah, bukan untuk kepentingan golongan, tetapi untuk semua orang, yaitu bagi orang-orang yang takut dan loyal kepada Allah. Dengan demikian para Masoret sebagai ahli Talmud memberikan uraiannya dengan kriteria-kriteria penulisan. Samuel Davidson menggambarkan beberapa di antara tata tertib ahli-ahli Talmud dalam hubungan dengan kitab suci. Peraturan tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Gulungan kitab harus ditulis di atas lembaran-lembaran kulit binatang yang dianggap suci.
  2. Dipersiapkan untuk dipakai secara khusus di sinagoge oleh seorang Yahudi.
  3. Lembaran-lembaran itu harus dirangkai menjadi satu dengan menggunakan urat binatang yang dianggap suci.
  4. Setiap kulit harus berisi sejumlah kolom tertentu, dan dibuat seragam untuk seluruh kodeks.
  5. Panjang setiap kolom tidak boleh kurang dari 48 atau melebihi 60 baris, dan lebarnya harus berisi 30 huruf.
  6. Seluruh salinan harus, pertama-tama dibuat bergaris, dan apabila 3 kata ditulis tanpa garis, maka kata-kata tersebut dianggap tidak berguna.
  7. Tinta yang dipakai harus berwarna hitam, tidak boleh berwarna merah, hijau ataupun yang lainnya, dan harus dipersiapkan berdasarkan resep yang tetap.
  8. Salinan yang benar adalah lembaran yang telah ditulis oleh penyalin tanpa penyimpangan sedikitpun.
  9. Tidak boleh ada kata atau huruf, bahkan sebuah yod (huruf terkecil Ibrani), yang ditulis berdasarkan ingatan, yakni bahwa sang penyalin menulis sebelum melihat kodeks yang terbentang didepannya.
  10. Di antara setiap huruf mati harus ada ruangan selebar rambut atau benang.
  11. Di antara setiap parashah (bagian torah yang telah ditetapkan untuk dibaca di sinagoga), atau bagian baru, harus diberi jarak yang sama dengan deretan sembilan huruf mati.
  12. Di antara setiap kitab, harus tiga baris.
  13. Kelima kitab Musa harus diakhiri dengan tepat, yakni dengan sebuah baris lengkap. Tetapi kitab lain tidak harus demikian.
  14. Sang penyalin harus duduk dan berpakaian Yahudi secara lengkap.
  15. Ia harus membersihkan tubuhnya (dengan mandi).
  16. Tidak mulai menulis nama Allah dengan pena yang baru saja dicelupkan dalam tinta.
  17. Seandainya ada seorang raja yang menegurnya ketika ia sedang menuliskan nama tersebut, ia harus mengabaikan raja tersebut.

Davidson menambahkan bahwa gulungan-gulungan yang dihasilkan tanpa memperhatikan tata tertib di atas, maka diputuskan untuk dikubur di dalam tanah atau dibakar, atau dibuang ke sekolah-sekolah untuk dijadikan buku bacaan (www.greatcom.org). Pernyataan Davidson tersebut menampik kemurnian dari sudut tulisan yang dibuat oleh kelompok Qumran, khususnya naskah-naskah PL. Orang-orang Esseni menulis tidak memakai aturan-aturan kaligrafi atau kebiasaan rabi Yahudi. Mungkin dalam aturan-aturan sehari-hari yang dibuat oleh kelompok Esseni tidak memasukkan yang berkaitan dengan tulisan Ibrani, khususnya ketika disusun. Dengan demikian tidak ada ketetapan-ketetapan bagi si penyalin, mereka dengan bebas menulis.

Menurut Gleason Archer, walaupun dua naskah Yesaya yang ditemukan di gua Qumran I di dekat Laut Mati pada tahun 1947 itu berumur 1000 tahun lebih tua dari pada naskah tertua yang dikenal sebelumnya (980 M), naskah-naskah itu membuktikan bahwa ada persamaan kata per kata dengan Alkitab Ibrani baku yang sekarang ini lebih dari 95 persen. Perbedaan yang 5 persen itu terutama berisi kekeliruan yang terlihat jelas dalam mencoretkan pena dan perbedaan ejaan. Bahkan serpihan-serpihan kitab Ulangan dan Samuel dari Laut Mati yang menunjukkan bahwa naskah-naskah itu berasal dari kelompok naskah yang berbeda dari naskah yang dijadikan dasar teks Ibrani yang sudah kita terima itu, tidak memberikan tanda-tanda tentang adanya perbedaan dalam pengajaran atau ajaran. Kekeliruan pencoretan pena dan perbedaan ajaran itu tidak mempengaruhi sedikitpun berita yang diwahyukan itu (www.greatcom.org).

Bila naskah telah disalin dengan mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Talmud, dan telah teruji kebenarannya, maka naskah itu diterima sebagai naskah yang benar dan dipandang memiliki nilai yang sama dengan naskah lain yang manapun. Tetapi jika semuanya sama-sama benar (dari sudut isi), maka umur tidak memberikan manfaat apa-apa kepada suatu naskah, justru sebaliknya, usia sangat merugikan. Karena sebuah naskah memiliki kemungkinan untuk cacat atau mengalami kerusakan dalam pergeseran waktu. Dan naskah yang rusak atau tidak sempurna, segera dinyatakan tidak layak pakai.

Untuk naskah-naskah yang tidak memenuhi target atau sasaran, maka dianggap keliru, dan biasanya diasingkan ke tempat-tempat ibadah (seperti sinagoge atau Bait Allah). Setiap sinagoge selalu dilengkapi dengan ‘Gheniza’, yaitu lemari kayu. Gheniza adalah tempat menyimpan naskah-naskah cacat yang sudah dikesampingkan, dan dari tempat penyimpanan itulah beberapa di antara naskah yang masih bertahan sampai saat ini telah ditemukan orang pada zaman modern. Jadi, jauh dari pemikiran mereka untuk memandang bahwa naskah-naskah kitab suci yang lebih tua itu berharga, kebiasaan Yahudi justru sebaliknya, yaitu lebih menyukai yang lebih baru, sebagai naskah yang paling sempurna dan bebas dari kerusakan.

Naskah-naskah yang lebih tua, ketika di simpan di ‘Gheniza’ sudah agak lama maka akan hancur secara wajar. Ada kemungkinan oleh karena tidak dihiraukan lagi, atau mungkin dibakar oleh karena dianggap penuh.

Kritik Teks Terhadap Gulungan Kitab Yesaya Versi Qumran

Pada bagian ini akan diteliti secara kritis mengenai keberadaan teks-teks dari kitab Yesaya. Pendekatan yang dipakai ialah dengan menggunakan kritik teks (teks criticism). Seperti yang sudah dijelaskan dalam pendahuluan khususnya pada bagian metode penulisan, bahwa kritik teks adalah ilmu yang berupaya menyusun kembali teks asli Alkitab sedekat mungkin dapat ditetapkan. Prosedurnya meliputi penyusunan kembali sejarah pemindahan dan penilaian hal yang relatif dari naskah-naskah yang diteliti. Hayes menambahkan bahwa untuk memahami teks-teks yang akan diteliti perlu melihat bagian-bagian yang mejadi perhatian (1993:39), misalnya (1) Beberapa nasnakah tulisan dalam bentuk bahasa-bahasa aslinya (Aram, Ibrani, atau Yunani), (2) Dengan menggunakan naskah-naskah tulisan dalam terjemahan-terjemahan kuno, (3) Dan kutipan-kutipan di dalam karya-karya tulis Yahudi dan Kristen. Hayes mengatakan bahwa hal itu perlu oleh karena banyak kutipan-kutipan di dalam sastra rabinik dan Kristen kuno bermunculan oleh karena penulisnya seringkali mengutipnya dari ingatan mereka.

Adanya bermacam-macam varian teks, hal itu disebabkan oleh karna faktor “kerusakan”. Itulah sebabnya dalam penelitian ini akan membuktikan bukti internal dan eksternal bahwa mengapa hal itu bisa terjadi “kerusakan” atau perubahan. Perlu diketahui bahwa sampai saat ini tidak ada satu pun naskah-naskah asli, atau autograf-autograf dari tulisan alkitabiah yang masih terpelihara. Bahkan sejarah membuktikan dalam penelitian para ahli bahwa tidak ada satu pun salinan pertama ataupun kedua dari naskah-naskah tulisan yang asli atau yang masih ada (Hayes, 1993:38). Naskah-naskah yang ada atau yang pernah ditemukan merupakan salinan dari salinan-salinan lainnya yang ditulis oleh tangan para penyalin. Dan naskah-naskah yang dinilai paling tua atau yang masih ada, khususnya kitab-kitab PL diduga berasal dari abad ketiga sebelum masehi. Berdasarkan hal itu maka dapat diperhatikan bahwa ada kesenjangan waktu antara naskah asli yang ditulis oleh seorang pengarang asli atau yang dikumpulkan oleh seorang penyunting dengan salinan tertua yang berhasil dipertahankan (Hayes, 1993:39). Jadi ada kemungkinan untuk menemukan kembali dengan pasti (tidak mutlak) susunan kata demi kata yang asli dari sebuah teks.

Seluruh naskah juga jauh sebelumnya dapat dipertahankan dengan baik. Beberapa diantaranya adalah naskah-naskah salinan yang lengkap yang berisikan seluruh PL atau PB. Naskah lainnya benyak yang berupa naskah-naskah kitab yang berdiri sendiri-sendiri. Ada juga naskah–naskah yang berisikan hanya sebagian dari satu kitab (sobekan). Meskipun demikian, tidak ada satu pun dari naskah-naskah itu yang sama sampai pada rincian-rinciannya.

Hayes juga menginformasikan bahwa ketika PL mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (abad ketiga SM), dan kemudia ke dalam bahasa-bahasa lainnya, termasuk bahasa Syria dan Latin. Begitu juga PB mulai diterjemahkan pertama-tama ke dalam bahasa Syria, kemudian ke dalam bahasa Latin. Bersamaan dengan itu muncul juga dalam bahasa yang kurang dikenal, seperti bahasa koptik, bahasa Mesir. Menurut Hayes seringkali naskah-naskah terjemahan itu bahkan di dalam bahasa yang sama, berbeda satu dengan yang lainnya secara mencolok (1993:39). Perbedaan teks terjadi oleh karena penyalinan yang tidak sempurna, hal ini disebabkan karena “kerusakan” naskah. Meskipun mengandalkan ingatan, tetapi tidak menjamin akan baik atau dapat sama, dan hasilnya tidak memuaskan. Dalam penyelidikan para ahli, rupanya terdapat dua alasan “kerusakan” pada naskah-naskah salinan. Pertama, kerusakan yang tidak sengaja. Dan kedua, kerusakan yang disengaja. Kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja mencakup kesalahan-kesalahan yang dibuat para penyalin, baik karena salah mendengar ataupun karena salah membaca teks. Ciri khas atau cara untuk menyalin dengan cepat di dalam dunia kuno ialah satu orang membacakan teks dengan keras sementara seruangan penuh para penyalin menuliskan apa yang di dengar. Meskipun cara tersebut dinilai baik dan efektif untuk membuat banyak salinan-salinan tersebut, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kesalahan dalam mendengar. Ada kemungkinan penyalin dapat untuk tidak mendengar kata yang dibacakan dengan benar, itu sebabnya akan menulis yang lain (distorsi). Atau meskipun penyalin mendengar dengan tepat, ia dapat saja salah menulis apa yang didengarnya. Atau bahkan bila si penyalin membuat salinan dengan cara melihat sebuah dokumen dan membuat sebuah salinan tertulis, kesalahan penglihatan juga dapat terjadi. Misalnya penyalin dapat saja melompati satu kata atau satu baris, menulis satu kata atau satu baris dua kali, salah membaca satu kata, membalik urutan huruf-huruf di dalam satu kata, atau membalik urutan kata-kata di dalam satu kalimat. Para ahli juga menilai bahwa kadang-kadang catatan atau tambahan-tambahan yang dibuat pada margin teks-teks kuno dipandang sebagai bagian dari teks sendiri dan dimasukkan ke dalam teks oleh penyalin-penyalin zaman selanjutnya. Dan masih banyak lagi dari kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dengan tidak sengaja.

Hasan Sutanto juga mengatakan bahwa terjadi ketidaksengajaan oleh karena seringkali terjadi menulis dan membaca huruf yang mirip, seperti ב dan כ, ד dan ר, ה dan ח, ה dan ת, ן dan י, ע dan ץ, כ dan נ. Semua huruf-huruf yang hampir sama itu merupakan dapat memungkinkan untuk fatal. Sehingga pada waktu penyalinan pembaca dapat menilai itu huruf lain (1987:149). Hal lain yang diperkirakan oleh Sutanto ialah menghilangkan salah satu huruf dari dua huruf yang sama dan berdekatan. Menghilangkan salah satu kata dari dua kata yang sama dan berdekatan. Salah mengurangi huruf, kata atau kata-kata yang sudah disalin. Lalu bila ada dua kata yang mirip, maka penyalin salah meneruskan penyalinannya dan menghilangkan kata-kata diantara dua tersebut (1987:150).

Sedangkan dari segi kesengajaan adalah dapat diprediksikan bahwa seorang penyalin dapat “dipaksakan” untuk memperbaiki ejaan atau tata bahasa dari suatu naskah tulisan yang sedang disalinnya, dan ia tidak mempersoalkan apakah perbaikannya benar atau salah. Hal “dipaksakan” terjadi karena ia merasa perlu untuk memasukkan sebuah variasi teks lainnya lagi ke dalam tradisi teks. Hayes juga mengatakan bahwa penyalin berhak memutuskan untuk menyusun ulang susunan kata-kata, kalimat-kalimat, atau bahkan alinea-alinea, dan sekali-sekali menambahkan sesuatu jika dirasakan ada kebutuhan untuk itu.

Sutanto menilai bahwa dalam sejarah penyalinan pernah terjadi penyisipan kata umum dan pendek, misalnya ו, לכ, ךחא, התע, רשא, םש, דמאל ke dalam naskah yang disalin. Seringkali juga dalam pemakaian komunitas orang Yahudi, juga pernah terjadi kasus bahwa suatu kata yang kurang umum diganti dengan kata yan lebih dikenal (1987:150). Sutanto juga menambahkan bahwa kata-kata yang dianggap kurang hormat atau sopan pernah diganti dengan kata yang lebih bisa diterima, misalnya kata ןרב (memuji, memberkati) mengganti kata ללק (mengutuk) dalam kitab Ayub. Mungkin pernah terjadi keterangan atau komentar yang diberi kepad suatu naskah, tetapi akhirnya menjadi bagian dari naskah tersebut (1987:151). Menurut Hayes, dalam kemungkinan itu bisa terjadi dengan maksud untuk menghasilkan uraian yang lebih terpadu agar sistematis dan urutannya logis (1993:41). Jadi dapat dikatakan bahwa para penyalin merekonstruksikan teks-teks kepada kebutuhan kelompok. Begitu juga yang dilakukan dalam lingkungan paguyuban Qumran, mereka mencoba dengan membuat aturan dan pemakaian sendiri.

Dengan adanya konsep sendiri, maka muncullah pertimbangan teologis atau dogmatis. Itulah sebabnya para penyalin juga mengubah teks dengan sengaja oleh karena pemahaman yang doktrinal. Artinya jika sebuah teks yang tengah disalin berisikan sebuah penyataan yang tidk disetujui penyalin, kadang-kadang teks tersebut diubah atau diperluas untuk disesuaikan atau dibuat sejalan dengan posisi yang lebih ortodoks. Hayes menambahkan bahwa para penyalin Yahudi kuno, pernah mencatat paling sedikit delapan belas kasus yang didalamnya mereka melakukan perubahan teks oleh karena pertimbangan teologis. Ketika muncul kasus-kasus tertentu, penyalin memutuskan untuk membuang saja ayat atau bagian tertentu yang bersifat menyerang (1993:41).

Seorang ahli seperti P. Kyle McCarter yang dikutip oleh Sitompul memberikan beberapa perbandingan yang terjadi dalam teks oleh karena faktor-faktor di atas, khususnya gulungan kitab Yesaya (2002:58). Berkenaan dengan huruf ד dan ר bentuk huruf tulisan ini seringkali menimbulkan kesalahan, dan sering timbul adanya dukungan dari orang-orang terkait untuk meragukan keabsahan teks Masoret. Misalnya dengan huruf latin yang dipakai “bd” dengan arti “melayani”, dan “br” yang memiliki arti “melewati” (Yesaya 23:10). Contoh lain juga seperti Yesaya 14:4, dalam teks Masoret berbunyi הבהדמ התבש sedangkan dalam Qumran (1 Qisa) dikatakan הבהרמ התבש. Disamping “dalet” dan “res”, terdapat juga dengan “he” dan “het”. Contoh dalam kitab Yesaya adalah Yesaya 19:18 םרהה ריע (teks Masoret), sedangkan versi Qumran םרחה ריע. McCarter menambahkan bahwa golongan Qumran dengan teks-teks dari Masora seringkali terjadi polemik mengenai keasliannya, bahkan sampai saat ini sedang berlangsung.

Ada juga teks yang menggunakan “waw” (ו) dan “yod” (י), misalnya untuk Yesaya 28:10 versi teks Masoret וצל וצ וצל וצ sedangkan untuk Qumran 1 Q Isa יצל יצ יצל יצ Perbedaan dalam konteks ini penyalin menggunakan pemahaman yang dapat diterima oleh kebutuhan kelompok, yang lebih bisa diterima adalah pemakaian kata, artinya penyalin dapat menambahkan demi pertimbangan-pertimbangan dogmatis, atau mungkin upaya-upaya penulis dengan harapan isinya akan dapat lebih baik dari apa yang disalin. Begitu juga ketika “resh (ר) dan “nun” (נ) yang berada ditengah-tengah huruf lain, teks itu terdapat dalam Yesaya 33:1 yang mengatakan ךב ורגבי ןגבל ךתלנכ dalam versi Masoret Teks, sedangkan dalam versi Qumran dikatakan ךב ורגכי ךגבל ךתלככ. Menurut ahli terjadinya penyisipan dalam bagian ini dengan huruf yang berbeda merupakan penempatan bunyi dari apa yang diucapkan, dengan demikian orang Yahudi menyebutkan “Qere” (hal yang diucapkan).

Hal yang mencolok juga terjadi di dalam Yesaya 16:8-9, Vanderkam secara khusus membuat perbedaan yang terdapat dalam teks-teks itu (2002:132), yaitu dalam versi Qumran dikatakan bahwa “Ladang-ladang dari Hesbon dan kebun-kebun anggur Sibma telah layu”, sedangkan untuk teks Masoret ada tambahan seperti sebab kebun-kebun Hesybon dan pohon anggur Sibma telah merana : para penguasa bangsa-bangsa telah memotong pohon-pohon anggurnya yang terbaik, yang dahulu meluas sampai ke Yaezer dan merambat ke padang gurun, ranting-rantingnya bergerak sampai ke seberang laut”. Dalam hal ini Vanderkam mengkomentari bahwa dalam teks Yesaya versi Qumran setelah kata “Sibmah” tidak terdapat ucapan lain lagi (omission) sampai kepada ayat sembilan. Artinya terjadi pengosongan teks, sebelum masuk kepada ayat sembilan, sedangkan teks Masoret setelah “Sibmah” kata itu diikuti dengan kata-kata lainnya. Meskipun di dalam bagian tersebut terjadi perbedaan, maka bukan menunjukkan bahwa ada yang dipalsukan oleh penyalin pada masa itu, yaitu kelompok Masoret yang dinilai mengikuti tulisan-tulisan Qumran abad ketiga dan keempat. Sesungguhnya yang perlu diperhatikan adalah maksud dari penyalinan pada kelompok Qumran dalam membuat dan menulis teks tersebut, bagian tertentu yang dihilangkan kemungkinan oleh karena faktor politis atau historis. Menurut Tuistra dalam persekutuan Qumran, mereka justru mengkritisi para penguasa-penguasa, dan menganggap dirinya sudah lepas dari ikatan-ikatan tersebut (memisahkan diri), dan mengkleim dirinya sebagai persekutuan yang murni (1978:59). Dengan pernyataan ini maka penyalin menganngap perlu untuk menghilangkan bagian yang di atas demi maksud kemurniannya (pengakuan yang menjadi dogma).

Hal lain yang patut dikritisi ialah mengenai nubuatan akan penderitaan Kristus sebagai Mesias yang dijanjikan, khususnya Yesaya 53:11. Bagi teks Masoret yang dipakai ialah kalimat “He shall see of the travail of his soul : he shall be staisfaied by his knowledge shall my righteous servant justify many; for he shall bear their iniquities”. Dalam teks ini yang menjadi kesulitan ialah dalam kalimat “he shall see”, biasanya dalam kalimta seperti itu menunjukkan arti yang akan dijelaskan atau tertuju kepada obyek pelakunya, dan anehnya tidak diikuti dengan kata depan, dalam teks Ibrani tidak dipakai samasekali. Beberapa sarjana menduga bahwa kata Ibrani “he shall see” ( הארי ) dapat dibaca “he shall be filled” ( הורי ), dalam perbedaan ini terdapat pertukaran konsonan. Sedangkan dalam gulungan kitab Yesaya digunakan kata “light”, ini merupakan tambahan kata yang dipakai oleh kelompok Qumran. Dengan adanya kasus di atas tentunya hal yang nampak adalah penyusunan kalimat dengan tata bahasa yang baik sehingga dapat lebih baik atau dimengerti. Meskipun adanya perbedaan dan tambahan, baik dengan preposisi kata atau penambahan konsonan, semua ayat atau pasal yang diselidiki tidak terjadi kerusakan makna yang menjadi substansi dari nubuatan itu. Menurut Stuart, bisa saja terjadi perluasan kata meskipun dalam bentuk tambahan yang bersifat menjelaskan baik di dalam teks Masoret dan teks lainnya termasuk Qumran (1997:59). Stuart juga menambahkan bahwa terjadi ratusan perbedaan dalam terjemahan di antara versi-versi PL yang modern khususnya dalam bahasa Inggris telah disebabkan oleh para penerjemah yang menyusun kembali teks Ibrani, tidak ada terjemahan masa kini yang mengikuti Biblia Hebraica dengan sempurna. Stuart mengatakan bahwa semua penerjemah mengubahnya bila mana mereka berpendapat bahwa petunjuk dari versi-versi kuno menunjukkan adanya teks Ibrani yang asli yang berbeda dengan yang dipertahankan dalam kodeks Leningrad (1997:61). Tentunya akan terjadi perubahan “variasi kata” atau gaya bahasa yang dipakai untuk menyempurnakan dalam konteks yang bergeser dan berkembang.

Begitu juga sebelum munculnya terjemahan versi-versi PL dalam pemakaian yang modern, misalnya dalam abad ketiga atau kedua sebelum masehi. Pada masa itu tidk dapat dipastikan lagi keberadaan teks-teks asli dalam catatan yang ditulis oleh tokoh-tokoh Alkitab seperti Musa, Daud, dan nabi-nabi. Yang ada justru salinan demi salinan yang ditulis oleh para penyalin Yahudi. Oleh karena itu, seluruh yang terjadi dalam kitab Yesaya terdapat perbedaan dengan salinan-salinan lain khususnya teks Masoret, bukan menunjukkan hal yang insubstansial tetapi rekonstruksi bahasa yang dipengaruhi oleh lingkungan masing-masing tetapi tidak menghilangkan nilai obyek yang dimaksudkan (ide dari ceritanya). Itulah sebabnya sobekan dan potongan yang terdapat dalam kitab Yesaya menjadi pergumulan bagi penyalin, walaupun demikian para penulis Qumran mencoba untuk merekonstruksi bagian-bagian yang telah hilang dengan memadukan sesuai dengan ingatan dari teks-teks yang pernah ada ditangan mereka.

Potongan-potongan yang terdapat dalam kitab Yesaya menjadi perhatian bagia orang saat ini. Kira-kira bagaimana untuk dapat menyususn kembali dengan mencocokkan secara pasal demi pasal, baris demi baris, dan sebagainya. Menurut ahli terdapat 17-18 potongan, tiap-tiap potongan terdiri dari 3-4 halaman. Dan seluruh potongan itu ada beberapa yang hilang atau tidak dapat dibaca lagi, begitu juga sulit dipahami oleh karena terjadi lipatan. Dengan adanya kesulitan dalam menyusun kembali kepada salinan yang baru pada masa itu, maka diciptakan unsur-unsur sejarah, kesusastraan, dan struktur bahasa yang dapat dipahami. Dalam teks-teks asli versi Qumran yang diduga ditulis sebelum Kristus lahir, naskah itu juga terdapat kekosongan-kekosongan yang tidak jelas maksud dari tujuannya. Tetapi setelah terjadi perbandingan, maka muncul maksud-maksud teologis dalam kitab itu yang disesuaikan dengan keyakinan mereka. Dan setelah dimakan oleh usia atau masuk kepada zaman berikutnya, naskah demi naskah yang ditemukan dalam bentuk varian (septuaginta, Aramik, Hebrew, koptik, Leningrad, sampai pada bahasa daerah) disalin menurut gaya penulisan dan struktur bahasa yang berbeda.

Kritik teks yang terdapat di dalam seluruh bagian gulungan Yesaya (54 kolom) tidak hanya memenuhi aspek tertentu saja. Tetapi perlu adanya penyelidikan terhadap bidang-bidang kehidupan (sitz im leben) dari kelompok Qumran. Tambahan-tambahan atau adanya kekosongan memberikan kemungkinan adanya “hadis lisan” (Sitompul 2002:82). Maksudnya bahwa perubahan dan perbedaan terjadi oleh karena adanya penyampaian nats-nats sejak waktu lisan atau tertulis (makan waktu lama). Jauh sebelumnya terbentuknya suatu nats serta perubahannya selalu terjadi dalam bentuk lisan, sedangkan dalam bentuk tulisan nats itu sangat sulit untuk berubah. Sitompul menambahkan bahwa hal itu logis karena kalimat atau kata-kata yang disisipkam dalam suatu naskah yang ditulis oleh penyalin memungkinkan daya tangkap manusia dalam penyampaian suatu teks (baik dalam pembicaraan maupun pendengaran) akan terbatas, dan tidak tahan lama untuk ditulis (2002:83). Contoh khusus dalam Yesaya 14:1-29, khususnya pada baris ke sembilan versi Qumran. Kata akhir memakai kata “shavtah” yang berarti “kamu duduk diam” sedangkan Masoret memakai kata “shakavtah” dengan arti “kamu berbaring”. Dalam hal itu maka dari segi kehidupan orang Qumran kata “shavtah” lebih bermanfaat oleh karena faktor hukum-hukum yang terkait bagi kalangan mereka. Seandainya memang “shavtah” merupakan karya penulisan yang direduksikan oleh kelompok Qumran dari salinan lain, maka ini menyatakan suatu bentuk tradisi dari lingkungan mereka menurut apa yang mereka dengarkan sehingga terjadi pergeseran konsonan dan vokal. Itulah sebabnya mengapa terjadi penambahan konsonan dalam gulungan kitab Yesaya, hal itu terjadi oleh karena adanya “Hadis Lisan” yang dapat memberikan petunjuk tentang adanya suatu budaya yang satu mempertahankan “shavtah” sementara yang lainnya menekankan “shakavtah”.

Alasan lainnya ialah karena orang-orang di Qumran untuk memahami makna kata dari gulungan kitab Yesaya dilihat dari cara mereka yang meneruskan tradisi lisan itu kepada generasi berikutnya (turun temurun). Setiap kata yang dipahami dan dianggap perlu diajarkan, atau dipelihara. Kata demi kata yang ditafsirkan harus memenuhi kebutuhan sosial mereka. Artinya apabila ada kata yang berkaitan dengan teologi, maka penyalin harus mengkonfrontasikan kata itu dengan kegiatan-kegiatan ritual mereka, hal inilah yang harus diajarkan secara turun temurun. Di luar kitab Yesaya yang mereka miliki, kelompok Qumran juga mempunyai naskah-naskah yang berisikan tentang doktrin-doktrin, aturan-aturan yang sudah menjadi tradisi mereka, baik tertulis maupun tidak tertulis. Contohnya, Dokumen Damaskus, Manual of Discipline, dan masih banyak lagi.

Analisa Bahasa Terhadap Teks-teks Yesaya Versi Qumran

Dalam catatan historis mengenai bahasa yang ada di Palestina pada masa itu (abad 3-2 SM), hanya tiga bahasa yang digunakan secara resminya, yaitu Ibrani, Aram, dan Yunani. Walaupun sering menjadi perdebatan mengenai bahasa mana yang lebih banyak dipergunakan, tetapi pada kenyataannya dari naskah-naskah yang diperoleh terdapat adanya bahasa Aram, Ibrani, dan Yunani. John Stambough mengatakan mengenai bahasa yang ada di Palestina, ia berpendapat bahwa kebanyakan orang mengira bahasa Aram mulai berkurang dipakai pada zaman Seleukid atau pra-Makabe (abad ketiga Sebelum Masehi), karena banyak bukti mengenai bahasa Aram yang terkumpul di manuskrip-manuskrip yang ditemukan (1994:98). Stambough juga menjelaskan mengenai temuan yang bersejarah di lembah Qumran, ia mengatakan bahwa temuan-temuan di Qumran mengungkapkan bahwa sastra masih ditulis dalam bahasa Aram, khususnya pada abad pertama sebelum dan sesudah Kristus (1994:98). Tetapi ia juga mengatakan bahwa bukan berarti bahasa Ibrani tidak setenar bahasa Aram, karena ada petunjuk-petunjuk dalam bentuk prasasti dan sastra lainnya bahwa bahasa Ibrani ditulis dan masih digunakan dalam kegiatan-kegiatan lisan tertentu seperti dalam khotbah-khotbah dan pengajaran-pengajaran yang diterima dirumah-rumah ibadah (1994:99). Dengan adanya pemakaian bahasa-bahasa yang berkembang pada masa itu, maka pada naskah-naskah Laut Mati khususnya gulungan kitab Yesaya terdapat pengaruh yang besar, yaitu baik dri segi tulisan, bahasa, dn pengucapannya.

Tetapi pada sub ini akan diteliti secara mendalam uraian atau analisa bahasa terhadap teks-teks Yesaya Versi Qumran. Untuk memahami bahasa Alkitab yang dipakai, maka akan dijelaskan tipologi bahasa yang dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yakni tipologi genealogis, geografis (areal), dan struktural (Soeparno, 2003:23). Perlu penyelidikan seperti ini, oleh karena bahasa pada masa Palestina dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti bahasa asing, dari garis keturunan, perubahan politik, geografi (tempat), dan lain sebagianya.

Dalam aspek genealogis, bahwa diperlakukan sama dengan manusia yang memiliki keturunan. Secara teoritis dapat dibayangkan bahwa bahasa berasal dari satu induk yang kemudian menurunkan beberapa rumpun, dan selanjutnya rumpun-rumpun itu menurunkan beberapa bahasa dan dialek-dialek. Menurut Soeparno bahasa yang dikelompokkan salah satunya adalah kelompok Semit dan Hamit. Semit terdiri dari Arab, Ibrani, Phoenesia, dan Kanaan. Seangkan Hamit, terdiri dari Mesir kuno, koptik, Barbar, dan Somalia (2003:24). Bahasa Ibrani dan Aram sama-sama berada dalam kelompok yang sama, yaitu Semit. Aram merupakan bagian dari Kanaa. Dengan demikian bahasa yang digunakan pada masa itu (kelompok Qumran) dipengaruhi oleh masing-masing bahasa, sehingga tulisan atau ucapan yang terjadi di dalam gulungan Yesaya oleh karena evolusi bahasa, adanya bahasa yang dipakai juga oleh karena kondisi kekuasaan yang dipegang oleh raja atau kaisar.

Dari aspek geografis (pengaruh tempat dan lingkungan) tentunya mendapat perhatian oleh karena kehidupan di Palestina dimana bangsa Israel selalu mendapat tempat di tangan penjajah seperti Babel, Asyur, Persia, dan Mesir. Dengan dikelilingi oleh bangsa-bangsa asing maka Israel pada masa pembuangan ditawan dan diperlakukan sebagai budak. Oleh sebab itu seluruh keberadaan Israel ada di tangan kekuasaan Babel pada itu termasuk dalam penggunaan bahasa. Dan bahasa yang dipakai ialah bahasa Aram yang dipengaruhi oleh bahasa Akkad. Hal itu terbukti dalam temuan kitab Daniel, terjemahan Mazmur, dan kitab Ayub di Laut Mati. Tulisan yang yang digunakan ialah ke dalam bahasa Aram. Walaupun aspek geografis mempengaruhi bahasa di Palestina, tetap tidak akan membuat bahasa Ibrani menjadi pudar atau hilang. Dala perkembangan sejarah sampai saat ini bahasa tersebut masih digunankan meskipun dalam warna yang modern. Tetapi oleh karena dilahirkan dalam lingkungan yang sama, maka kedua bahasa itu memiliki rumpun yang sama sehingga penggunaannya pun mesti sama. Ada beberapa bahasa di Palestina yang memiliki kesamaan makna kendati berbeda untuk mengucapkannya. Misalnya kata בא (‘ab) yang digunakan dalam bahasa Ibrani yang berarti Bapa atau Ayah. Sedangkan dalam bahasa Aram dipakai “abba” dengan tulisan konsonan Ibrani yang sama tetapi untuk “beth” ditambah titik ditengah (guttural), artinya juga sama. Menurut ahli ada kemungkinan kata dasar yang dipakai ialah yang digunakan oleh bahasa Aram. Secara khusus dalam Yesaya 9:5 (Bapa yang Kekal), dan Yesaya 63:16, “Engkau sendiri bapa kami”. Hal lain juga yang mempengaruhi ke dalam bahasa Aram yaitu pada Yesaya 1:15 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “And when you spread your hands I will hide my eyes from you, also when you multiply prayer I will not listen, your hands are fill of blood (and your fingers)”. Menurut Miller, kata yang di dalam kurung itu merupakan kata yang tidak terdapat dalam Masoret Teks, oleh karena Masoret tidak ingin memakai bahasa Aram (www.ao.net/~fmoeller/qum-12.htm).

Di samping pengaruh keturunan dan tempat dimana bangsa Israel tinggal, bahasa yang digunakan juga memiliki strukturnya. Itulah yang dimaksudkan adanya penggabungan unsur pokok dan unsur tambahan dari bahasa-bahasa yang dipakai dalam lingkungan Palestina. Dalam ilmu linguistik, Soeparno menjelaskan bahwa struktur bahasa cenderung memakai morfologi bahasa (gramatikal). Morfologi itu memiliki tipe, yakni aglutinatif, dan fleksi (2003:26). Aglutinatif ialah penggabungan unsur kata atau kalimat dengan bahasa-bahasa yang terdekat atau satu rumpun, misalnya seperti pengadopsian dari Aramik ke Ibrani dalam kata בא. Lalu fleksi merupakan suatu perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perubahan jenis, jumlah, dan kasus. Untuk bahasa Ibrani semua kata benda berjenis kelamin dan dapat digolongkan kepada jenis maskulin yang mencakup laki-laki dan jantan, atau jenis feminim, yang mencakup perempuan dan betina. Contoh maskulin : םוי (yom), תיב (bayit), םע (‘am), sedangkan feminim ץרא (erets), הרות (tora). Sebuah contoh itu sudah ditetapkan jauh sebelumnya oleh orang-orang Yahudi. Lalu untuk kata ganti orang (personal), bahasa Ibrani memakai kata ינא atau יכנא (saya/aku) dalam bentuk tunggal, ונחנא dalam bentuk jamak yaitu kami atau kita. Begitu juga dengan kata בוה (hu) maskulin, איה (hi) feminim, םתא (aatem) “kamumaskulin, ןתא (atten) “kamu” feminim, המה (hemma) “mereka” maskulin, הנה (henna) “merekafeminim. Semua bentuk kata ganti orang tersebut memberikan penjelasan tentang jenisnya dan kepemilikan . Pada bagian itu menunjukkan tidak jauh beda dengan apa yang terdapat dalam kitab Yesaya. Misalnya dalam Yesaya 11:15, dalam versi Qumranada kata ganti orang menurut jenis Aramik, yaitu “’etsba’otheykem” yang berarti “jari atau tanganmu” menunjukkan orang kedua maskulin plural. Kesamaan gramatikal antara versi Qumran dengan konsep Masoret adalah terdapat penggunaan pada akhiran “-em”.

Mengenai ejaan dalam bahasa Aram, selalu ditekankan huruf א () setelah ו (waw). Contohnya terdapat pada Yesaya 1:18-19, “and your fingers” digunakan ke dalam pengejaan bahasa Aram. Begitu juga dalam Yesaya 48:17, dalam kalimat di ayat itu menunjukkan bahwa apa yang ada di teks Masoret sementara di Qumran tidak ada, hal ini membuktikan bahwa Qumran memakai bahasa Aram atau pengejaan Aramik. Hal yang dipakai oleh teks Masoret ialah kata ךכירדמ, sedangkan kata ini tidak ditemukan. Ada kemungkinan mereka meniadakan dan menggantinya dengan gaya bahasa yang terkait. Atau, meskipun ada, tetapi kelihatan berbeda khususnya dari segi pengucapan. Menurut ahli seperti Miller, kesamaannya terletak pada akar katanya “hdr” walaupun pada huruf konsonan menunjukkan sedikit perbedaan. Tapi Miller menambahkan bahwa dlam hal khusus penyalin Qumran tidak mau memakai atau mempertahankan gaya penyalin yang disalin, mereka mengubah menurut kekhassannya (www.ao.net/~fmoeller/qum-12,htm).

Teks lain yang dapat menyebabkan terjadi perubahan atau pergantian dari bahasa Aram kepada Masoret ialah Yesaya 65:3. Pada ayat ini menunjukkan bahwa ketika dibaca ada kesan bahwa logat Aramiknya tidak nampak, penyalin berusaha untuk menghilangkannya. Kata yang dimaksud ialah “yinaqu”. Pada catatan Biblia Hebraica, dijelaskan bahwa kata itu tidak ada dalam teks Masoret, dan awalnya dipakai kata “yinaqu”. Hal ini terjadi oleh karena faktor ketidaksezamanan, artinya ketika penyalin memahami kata tersebut maka dikategorikan sebagai kata yang tidak memiliki tampatnya lagi. Begitu juga dengan kata dalam Yesaya 65:25, menjelaskan bahwa kata “lion” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tidak memiliki tempat di teks Masoret, karena dinilai tidak sinkron.

Bentuk kata yang berbeda dalam bahasa, bahkan adanya kata yang tidak tertulis dalam teks-teks, baik Masoret maupun naskah Laut Mati, bukan merupakan bentuk yang bertentangan, misalnya mengenai kata-katanya (bahasa), atau isinya. Para ahli sepakat bahwa nats-nats tersebut berdiri sendiri oleh karena dipengaruhi oleh sejarah hadis (transmisi dalam tradisi) sampai kepada adanya lagi penyalin. Begitu juga sering dijumpai ketidakseragaman susunan oleh karena adanya kata-kata lain yang disisipkan sehingga dapat merubah tata bahasanya. Tentunya dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa bentuk kata atau kalimat yang terjadi perubahan atau pergantian mempunyai maksud-maksud tertentu, atau yang ditambahkan di kemudian hari. Perlu diketahui juga bahwa bila terjadi perubahan tata bahasa, maka baik fonologi (suara) maupun morfologi (gramatikal) punakan berubah. Karena pergeseran kata akan mengakibatkan penekanan suara ketika dibaca berubah pula menurut konteksnya.

Analisa Fonologi : Kheteb dan Qere dalam Teks-teks Yesaya

Dalam bidng linguistik, ilmu yang mempelajari, menganalisa, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi. Menurut Abdul Chaer, fonologi dapat dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik berarti ilmu yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik, ilmu yang mempelajari bunyi bahasa dengan memeprhatikan fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna (2003:102). Di dalam tulisan Ibrani setiap kata mengandung unsur fonolog atau bunyi yang diucapkan. Makna dari kata Ibrani tergantung dari bunyi yang ditekankan atau tidaknya menurut silabel yang berlaku. Perlu diketahui bahwa silabel ialah satuan ritme terkecil dari hasil bunyi-bunyi bahasa dalam arus udara (Verhaar, 2001:59). Chaer menambahkan bahwa silabel biasanya meliputi satu vokal, atau satu vokal dan satu konsonan atau lebih. Artinya, silabel sebagai satuan ritmis yang memiliki puncak kenyaringan atau sonoritas yang biasanya jatuh pada sebuah vokal (2003:123).

Berdasarkan pernyataan di atas maka untuk kata Ibrani yang sebelumnya terdiri dari konsonan, maka dengan adanya huruf vokal yang sudah ditentukan, bunyi dari bahasa Ibrani dapat menentukan makna yang dimaksudkan. Misalnya, kata החנ (naha) yang berarti “dia (perempuan) beristirahat”, sedangkan kata החנ (naha), artinya “dia (laki-laki) memimpin”. Begitu juga dengan ונב (banu) yang berarti “mereka membangun”, tetapi kata yang diucapkan lain “banu” menunjukkan arti “di dalam kita” (Davidson, 1962:22). Dalam hal ini juga dikatakan eleh Davidson bahwa tiap kata yang diucapkan tergantung dengan logat atau tekanan yang kuat (dalam Ibrani “ < ” atau “ ^ ”), dan itu diikuti oleh vokal yang berubah dan dipengaruhi oleh tekanannya, inilah yang dinamakan pemakaian silabel (1962:22). Karena pengaruhnya terletak pada tekanan suara, maka yang harus diketahui bahwa seringkali dalam bahasa Ibrani, tekanan suara terletak pada suku kata yang terkahir, seperti kata dalam elohim, ne’vim, syalom. Tetapi ada juga beberapa kata dengan tekanan suara pada suku kata kedua dari belakang, misalnya erets, khayil (Sitompul, 1992:36). Berarti dengan memahami arti yang lebih jelas, perlu diperhatikan teks yang tertulis dan yang diucapkan. Teks yang tertulis dinamakan “kheteb” sedangkan teks yang diucapkan dinamakan “qere”. Kedua bagian ini saling terkait dan belum tentu menunjukkan arti yang sama, karena perlu dianalisa suara atau bunyi (fonolog) dari teks aslinya.

Pada teks-teks Yesaya yang ditemukan di Lembah Qumran, bila dilihat dalam ilmu Linguistik khususnya pada unsur bunyi atau suara (fonologi), maka pemakaiannya memiliki muatan bunyi yang fonetik dan fonemik. Dikatakan fonetik, karena bunyi atau suara yang ada di teks Yesaya tidak selalu memperhatikan apakah bunyi-bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Misalnya dalam teks yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya ketika dibandingkan dengan teks Masoret, maka ada kesamaannya kendati dari segi huruf konsonan ada yang ditambahkan di dalam teks Qumran. Tetapi kadang-kadang juga fungsi bunyi dipakai sebagai pembeda makan dengan memakai tanda yang ditekan (fonemik). Contoh yang dimaksudkan ialah terdapat dalam Yesaya 3:16-20 sebagaimana tertulis dalam salah satu naskah dari Laut Mati. Perubahan nama Allah dari Adonay menjadi YHWH, dan dari YHWH menjadi Adonay pada posisi yang berbeda. Menurut Weingreen, mengenaipenulisan nama ilahi, huruf matiyang ditulis (Kheteb), sebaiknya harus dibaca (Qere) atau diucapkan ינדא yang berarti juga Tuhan. Berdasarkan contoh ini, Weingreen menyatakan bahwa kheteb memberikan penjelasan kata yang ditulis, kadangkala huruf konsonan saja, tetapi denga adanya Qere maka harus ditampilkan tanda baca dalam bentuk vokal sehingga dapat diucapkan (1939:15). Dengan demikian konsonan yang berada dalam unsur Kheteb menunjukkan bentuk yang belum mengalami pengoreksian, meskipun pembaca sudah memahami sedikit arti atau maksudnya dari akar kata. Tetapi dengan adanya hal yang diucapkan (bila didengar), maka Qere memberikan arti luas.

Untuk membedakan bunyi atau suara yang ada di dalam teks-teks Yesaya dengan teks-teks Masoret, dengan mudah dapat diperhatikan dengan baik huruf vokalnya (a, i, e, o, dengan yang lainnya). Karena disamping tanda ( < ) yang menekankan fonetik dan fonemis, maka huruf vokal yang menggunakan konsonan “yod” dan “waw” dapat menentukan makna yang sesungguhnya. Misalnya tulisan םי (ym) dapat diucapkan “yam” , artinya “laut”, atau םוי, dengan arti “hari”. Persamaan kata atau huruf juga dapat dipahami dengan memperhatikan konteks perkataan atau hal yang diucapkan. Karena tidak mungkin ketika kata itu diucapkan,misalnya “yom” tetapi artinya lain, misalnya “Tuhan melihat bahwa semuanya itu laut” (ym), tapi bukan “baik” (yom). Begitu juga sebaliknya

Manfaat Mempelajari Penelitian ini

Dengan adanya temuan-temuan yang menyimpan nilai sejarah itu, maka akan mendapatkan manfaat yang sangat berarti. Penemuan yang bersejarah itu akan melaorkan bahwa jauh sebelumnya pernah terjadi hal-hal yang penting, baik itu pertempuran antar bangsa, berkuasanya seorang raja, munculnya kelompok-kelompok yang ingin memberontak, adanya peninggalan-peninggalan bersejarah seperti guci, tembikar, bangunan-bangunan, dan kuburan-kuburan. Bahkan perpustakaan yang menyimpan naskah-naskah tua dalam teks Ibrani. Seluruh informasi ini membuka pikiran manusia bahwa dunia Palestina memberikan keterangan-keterangan mengenai perkembangan agama pada umumnya, dan perkembangan “pembuatan” Alkitab sampai kepada bentuk yang definitif secara khusus.

Penemuan terbesar sepanjang sejarah membuat para ahli pada waktu itu tidak berhenti untuk menyelidiki teks-teks asli, khususnya naskah-naskah besar seperti Yesaya, Habakuk, dan Dokumen Damaskus. Naskah yang ditemukan pada tahun 1947 itu mengalami kerusakan pada bagian kulit yang robek atau terpotong, sehingga para ahli mendapat kesulitan untuk meneliti. Tetapi meskipun banyak bagian yang masih dianggap “rusak”, artinya susunanya belum dapat dipahami dengan baik, tetapi dari aspek lain naskah-naskah itu mencukupi dalam mengemukakan pokok-pokok ajaran atau pemberitaan iman yan hendak diajarkan kepada orang yang hidup juga pada masa kini (substansi dogmatis).

Dengan mempelajari naskah-naskah Laut Mati, khususnya memahami kitab Yesaya, maka sangat berarti untuk menentukan makna yang tersembunyi baik dari segi konteks maupun tata bahasanya. Oleh karena itu pekerjaan kritik teks sangat menolong dan banyak manfaatnya. Tanpa pekerjaan kritik teks itu, pasti orang Kristen yang mempelajarinya akan mendapat kesulitan untuk mengerti dengan baik dari tek-teks Alkitab yng ditemukan tanpa inisial. Begitu juga tanpa pendekatan ilmiah ini maka kita tidak dapat mengenal apa yang hendak diajarkan Alkitab kepada kita. Tanpa kritik teks juga kita tidak mungkin dapat membangun landasan iman kita dengan baik dan benar. Kehadiran kritik teks justru memberikan kita keterangan mengenai keaslian atau keutuhan sebuah teks PL. Dan metode ini dapat mengevaluasi atau menguji susunan teks secara gramatikal. Apakah gaya bahasanya mulus atau tidak, apakah ada tekanannya atau irama yang digunakan. Semuanya itu ditinjau dri sudut tata bahasa Ibrani. Lalu hal lain yang harus diuji ialah apakah kata atau kalimat yang digunakan di dalam teks-teks yang sedang diteliti memiliki arti dan makna dalam konteks keseluruhan nats yang bersangkutan atau tidak, baikditinjau dari sudut pemahaman teologis maupun dari sudut historis.

Dengan mempelajari teks-teks dalam kitab Yesaya versi Qumran, maka akan memperoleh petunjuk-petunjuk yang jelas dan tidak mudah untuk dipengaruhi dasar imannya bahwa kehadiran naskah-naskah Laut Mati dapat mengurangi keutuhan teks-teks Masoret yang diterima dengan definitif. Dan orang-orang yang memahaminya bukanlah hanya sebatas tahu dan tertarik saja dengan peninggalan-peninggalan di masa lampau, melainkan menunjukkan usaha yang keras dengan melakukan langkah-langkah seperti di atas (memeplajari studi teks), supaya kebenaran Allah yang terkandung di dalam Alkitab dapat dibaca dengan dan jelas atau melihat varian lainnya, sehingga akan memperoleh makna yang obyektif.

Selain memperoleh manfaatnya, ada juga akibatnya, yaitu terjadi adanya kebimbangan (skeptis) terhadap Alkitab setelah membaca argumen-argumen yang dikemukakan bab demi bab. Ada kemungkinan pembaca akan mempertanyakan keontentikkan teks-teks Alkitab sebagai yang dianggap berotoritas, setelah mereka (pembaca) mengetahui bahwa naskah yang ada pada kita sekarang ini adalah sebagian merupakan hasil rekonstruksi berdasarkan metode kritik teks (konyektur). Tetapi, adalah wajar timbulnya keragu-raguan seperti itu, kendati demikian keragu-raguan tersebut tidak memiliki alasan atau dasar sama sekali. Seorang ahli pernah katakan bahwa dari semula faktor manusia senantiasa dilibatkan secara penuh oleh Allah untuk menyampaikan FirmanNya kepada manusia. Bukankah Firman itu telah menjadi daging?” (Yohanes 1:14). Demikian pula jika dengan metode kritik teks, banyak orang telah mengambil bagian dalam memulihkan, mengutuhkan dan memurnikan teks-teks Alkitab (dengan Apologetika) dari berbagai “kekeliruan” (salah teks, pengubahan, dan lainnya), maka hal itu tidak berarti bahwa pikiran-pikiran yang terkandung di dalam kata-kata naskah Alkitab sekarang ini adalah buah pikiran manusia belaka. Mereka mewakili faktor manusia dalam seluruh proses yang Allah kerjakan untuk menyampaikan FirmanNya kepada manusia.

Daftar Kepustakaan

Black, Matthew., The Scrolls and Christian Origins., Toronto & New York : Thomas

Nelson and Sons Ltd, 1961.

Burrows, Millar., The Dead Sea Scrolls., New York : The Viking Press., 1960.

-------------------., What Means These Stones ?., New York : Meridian Books, 1957.

Boeker, T.G.R., Bahasa Ibrani I., Malang : STT “I-3”., 1992.

-----------------., Bahasa Ibrani II., Malang : STT “I-3”., 1993.

Bruce, F.F., Second Thoughts on The Dead Sea Scrolls., Michigan : Eedmans

Publishing., 1959.

Campbell Jr, Edward F., The Biblical Archaeologist., New York : Anchor Books,

1970.

Chaer., Abdul., Linguistik Umum., Jakarta : Rineka Cipta, 2003.

Coote, Robert B., Marry P. Coote., Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab.,

Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001.

Cross, Jr., Frank Morre., The Ancient Library of Qumran and Modern Biblical Studies.,

New York : Doubleday & Company, 1958.

Davidson, A.B., An Introductory Hebrew Grammar., Edinburg : T & T

Clark, 1962.

Ensiklopedi Alkitab Masa Kini., Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.,

Oktober, 1995

Eissfeldt, Otto., The Old Testament an Introduction., New York : Harper & Row, 1976.

Finegan, Jack., Light From The Ancient Past., Vol. I., New Jersey : Princeton

University Press, 1969.

Frederick J, Murphy., The Religious World of Jesus., Nashville : Abingdon Press, 1991.

Gaster, Theodor H., The Dead Sea Scriptures., New York : Doubleday & Company,

1956.

Groenen, O., Hermeneuse Alkitabiah., Flores : Nusa Indah, 1977.

Green, Denis., Pengenalan PL., Malang : Gandum Mas., 1984.

Harrison, R.K., Introduction to The Old Testament., Michigan : Grandrapids, 1971.

Howlett, Duncan., The Essenes and Christianity., New York : Harper & Brothers, 1957.

Jogersma, H., Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba., Jakarta :

BPK. Gunung Mulia, 1991.

Kautzsch, E., Gesenius’ Hebrew Grammer., Oxford : Clarendon Press, 1980.

Kittel, R., Biblia Hebraica Stuttgartensia., Edisi Kedua.

Lasor, William Sanford., Amazing Dead Sea Scrolls., Chicago : Moody Press, 1956.

New International Version., Holy Bible., Colorado : International Bible Society, 1984.

Mulder, Mr. D.C., Pembimbing ke Dalam Perjanjian Lama., Jakarta : BPK Gunung

Mulia., 1963.

McDowell, Josh., More Evidence that demands a verdict Vol. 2., USA : Campus

Crusade.

-------------------., Apologetika, Vol. 1., Malang : Gandum Mas, 2002.

Owens, John Joseph., Analytical Key to The Old Testament, Vol. 4., Michigan :

Baker Book House, 1999.

Pfeiffer, Charles F., The Dead Sea Scrolls., Michigan : Baker Book House, 1957.

Russell, D.S., From Early Judaism to Early Church., Philadelphia : Fortress Press,

1986.

Revised Standard Version., The Holy Bible., New York & Toronto : Thomas Nelson &

Sons Ltd, 1957.

Sinaga., Martin L dan Pramudianto., Pergulatan dan Kontekstualisasi Pemikiran Protestan Indonesia., Jakarta : STT Jakarta, 1999.

Sutanto, Hasan., Hermeneutik : Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab., Malang : SAAT, 1987.

Singgih, Emmanuel Gerrit., Dunia yang Bermakna (Kumpulan Karangan Tafsir PL)., Jakarta : Persetia, 1999.

Sitompul, A.A., Beyer, Ulrich., Metode Penafsiran Alkitab., Jakarta : BPK Gunung Mulia., 2002.

Sitompul, A.A., Pengantar Bahasa Ibrani., Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1992.

Sommer, A. Dupont., The Jewish Sect of Qumran and Essenes., New York : The

Macmillan Company, 1956.

Soeparno., Dasar-dasar Linguistik., Yogyakarta : Mitra Gama Widya, 2003.

Stambaugh, John., Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula., Jakarta : BPK Gunung Mulia

1994.

Schubert, Kurt., The Dead Sea Community., New York : Harper & Brothers, 1959.

Stuart, Douglas., Eksegese Perjanjian Lama., Malang : Gandum Mas, 1997.

Toombs, Lauwrence E., Di Ambang Fajar Kekristenan., BPK Gunung Mulia, 1978.

Tuttle, Gary A., Biblical and Near Eastern Studies., Michigan : William B Eerdmands,

1978.

Tuinstra, E.W., Naskah-naskah dari Laut Mati., Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1978.

Vanderkam, James., Peter Flint., The Meaning of The Dead Sea Scrolls., New York :

Harpercollins Publishers, 2002.

Verhaar, J.W.M., Asas-asas Linguistik Umum., Yogyakarta : UGM Press, 2001.

Vriezen, Th. C., Agama Israel Kuno., Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983.

Wahono., S. Wismoady., Di Sini Kutemukan., Jakarta : BPK Gunung Mulia,

1987.

Weingreen, J., A Practical Grammar for Classical Hebrew., Oxford : At The Clarendon

Press, 1939.

Yadin, Yigael., The Message of The Scrolls., New York : Simon & Schuster, 1957.

Mengenal Naskah Laut Mati., Forum Biblika., Jhon. J. Bimson & David L Baker

Edisi April 1992, Nomor 2., LAI.

Kritik Teks Naskah PL., Forum Biblika., I.P. Lambe., Edisi Oktober 1992.,

Nomor 3., LAI.

www.ChristianAnswer.net/indonesian.

www.greatcom.org/indonesian/apologetik/kejujuran_Alkitab.

http://orion.mscc.huji.ac.il/orion/programs/altman/altman99.shtml.

http://religion.rutgers.edu/iho/dss.html.

http://www.ao.net/~fmoeller/qum-12.htm.

DAFTAR ISI

Bab I Pendahuluan

- Permasalahan Penelitian

- Penjelasan Istilah

- Pernyataan Masalah

- Pertanyaan Penelitian

- Tujuan Penelitian

- Kepentingan Penelitian

Metodologi

- Rancangan Penelitian

- Pengumpulan Data

- Keterbatasan

- Anggapan Dasar

- Analisis Data

- Cara Penafsiran

- Sistematika Penulisan

Bab II Latar Belakang Munculnya Komunitas Qumran

- Palestina Pada Masa Aleksander Agung

- Awal Pemberontakan

- Palestina Di Bawah Kekuasaan Romawi

- Munculnya Beberapa golongan Terkemuka dan Perkembangannya

Bab III Sejarah Dari Penemuan Naskah Laut Mati

- Penemuan-penemuan Pertama dan Berikutnya di Sekitar Laut Mati

- Penggalian Reruntuhan Di Khirbet Qumran

- Penemuan Naskah-naskah di Goa-goa

- Bukti-bukti Dari Arkeologi dan Paleography

- Usia Dari Naskah-naskah yang Ditemukan

Bab IV Penyelidikan Terhadap Teks-teks Yesaya Versi Qumran

- Teks Masoret

- Bentuk Teks Masoret

- Sistem Penulisan Dari Naskah-naskah Laut Mati

- Eksegesa Naratif Terhadap Naskah-naskah Laut Mati

- Studi Linguistik Dari Teks-teks Yesaya Dalam Perspektif Historis

- Gulungan Kitab Yesaya Versi Qumran

- Kritik Terhadap Naskah Laut Mati (Tinjauan Isi)

- Kritik Teks Terhadap Gulungan Kitab Yesaya Versi Qumran

- Analisa Bahasa Terhadap Teks-teks Yesaya Versi Qumran

- Analisa Fonologi : Kheteb dan Qere Dalam Teks-teks Yesaya

- Manfaat Mempelajari Penelitian ini

Bab V Penutup

- Kesimpulan

- Saran-saran

- Lampiran-lampiran

Daftar Kepustakaan

Tidak ada komentar: