Senin, 10 Oktober 2011

Resume Terhadap Buku Prof. Norman Geisler & Paul D Feinberg

Filsafat Dari Perspektif Kristiani

Buku ini ditulis oleh dua orang penulis yaitu Norman Geisler, mantan guru besar apologetika di Dallas Theological Seminary yang sekarang menjabat dekan dari Liberty Center for Christian Scholarship dan Paul D. Feinberg, seorang guru besar teologi Alkitabiah dan sistematika di Trinity Evangelical Divinity School.

Pendahuluan
Buku ini dibagi menjadi lima bagian besar, di mana setiap bagian tersebut di bagi menjadi beberapa bab lagi. Lima bagian besar tersebut adalah: Pengantar filsafat, Apakah pengetahuan itu?, Apa arti realitas?, Apakah yang tertinggi?, dan Apakah arti baik atau benar?.

Bagian I: Pengantar Filsafat
Bagian pertama ini terdiri dari lima bab yang membahas apakah filsafat itu?, bidang-bidang ilmu dalam filsafat, metodologi dalam filsafat, alat-alat filsafat, dan tantangan terhadap filsafat.

Bab 1:

Ada kesulitan utama dalam mendefinisikan filsafat, yaitu adanya perbedaan pendapat d antara para filsuf tentang apakah filsafat hanya berkaitan dengan analisis terhadap berbagai konsep dan pengertian, ataukah lebih dari itu? Dan apakah yang dimaksud dengan ‘lebih dari itu’ tersebut. Penulis memberikan definisi filsafat sebagai analisis kritis atas konsep-konsep dasar yang dipertanyakan oleh manusia, sekaligus diskusi normatif mengenai bagaimana pikiran dan tindakan manusia seharusnya berfungsi, dan juga gambaran tentang realitas itu sendiri. Dalam bab ini juga penulis menguraikan tentang filsafat sosial dan politk, estetika, logika, dan filsafat agama. Dalam filsafat agama dan filsafat ilmu pengetahuan berupaya untuk mengevaluasi secara kritis konsep dan metodologi disiplin mereka masing-masing.
Jadi manfaat belajar filsafat dapat dirangkum menjadi beberapa hal yaitu, memahami masyarakat, pembebasan dari prasangka dan kepicikan, nilai praktis, dan tantangan bagi orang kristen untuk memiliki iman yang matang berdasar akal sehat yang baik.

Cara paling logis untuk mempelajari filsafat adalah dengan mendefinsikan ilmu ini. Berbeda denga ilmu lain, mendefinisikan filsafat bukanlah hal yang mudah dan tidaklepas dari kemungkinan timbulnya perbedaan pendapat. Beberapa filsuf berpendapat bahwa masalah filosofis yang utama dan paling mendasar adalah sifat filsafat itu sendiri. Dia antara para praktisi filsafat terdapat perbedaan pendapat yang radikal mengenai definisi-definisi dan penjelasan-penjelasannya. Sering sekelompok filsuf menganggap kelompok lain sangat keliru mendefinisikan tugas filsafat. Sebagian orang mengatakan bahwa dibandingkan dengan ilmu khusus lainnya, seperti fisika dan biologi, filsafat adalah “ratunya ilmu pengetahuan”, yang memiliki sifat paling umum dan universal. Orang lain bahkan menolak anggapan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan. Ada yang berpendapat bahwa filsafat member tahu kita tentang berbagai unsur pokok utama dunia, sedang filsuf lain berkata bahwa penyeldikikan semacam itu tidak pernah ada. Ada yang berkata bahwa pada dasarnya filsafat merupakan aktifitas rasional yang memusatkan perhatian pada argumentasi dan evaluasi data secara kritis. Namun yang lain menganggap bahwa penggunaan akal sehat bukanlah hal yang sangat penting da tidak ada argumen yang meyakinkan dalam filsafat. Karena itu penjelasan yang akurat, komprensif dan sederhana tentang filsafat hendaknya meliputi sejumlah praktik dan pandangan yang jelas tidak konsisten.

Bab 2:

Filsafat mempunyai beberapa bidang yaitu bidang etika (moralitas) yang berhubungan dengan tindakan individu, filsafat sosial dan politik yang berhubungan dengan sekelompok orang, estetika yang berhubungan dengan anlisa atas ide-ide akan keindahan, citarasa, dan seni, logika yang merupakan kajian rasional, filsafat agama, sejarah filsafat, filsafat sejarah, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat-filsafat yang lainnya, epistemologi (penyelidikan tentang asal mula dan sifat-sifat pengetahuan), metafisika yang mengkaji kualitas dan hubungan dari realitas, filsafat pemkiran, dan teori tindakan.
itu sebabnya dalam bab ini yang paling menonjol adalah etika, logika, epistemology, dan metafisika. Etika mempelajari aturan dan kewajiban yang menuntut kepada tindakan yang benar. Filasafat agama dan filsafat ilmu pengetahuan berupaya untuk mengevaluasi secara kritis konsep dan metodologi disiplin masing-masing. Logika sebaliknya mebahas peraturan-peraturan berargumentasi yang benar. Teori pengetahuan adalah nama lain dari epistomologi, dan metafisika adalah studi tentang realitas atau hakikat.

Jelas bahwa berbagai pertanyaan dan masalah yang menjadi kajian filsafat mencakup spectrum yang luas. Walaupun penemuan-penemuan dalam ilmu tertentu (seperti biologi atau psikalogi) mungkin berhubungan dengan filsafat, ilmu dan filsafat setidaknya secara logika tidak saling bergantung.

Bab 3:

Filsafat mempunyai beberapa metodologi utama yang telah mengalami perubahan-perubahan dalam rangka mencapai tujuannya (berfilsafat). Metodologi filsafat dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Metode dari masa lampau, yaitu terdiri dari metode Socrates (interogasi), metode Zeno (Reductio ad Absurdum), metode Aristoteles (Deduksi).
2. Metode dalam dunia modern, yaitu terdiri dari metode induktif, kanon-kanon induksi Mill, dan metode ilmiah.
3. Metode kontemporer, yaitu terdiri dari metode eksistensial, metode fenomenologis, dan metode analitis.

Jelas bahwa beberapa metode lebih cocok untuk jenis-jenis tertentu dari pencarian kebenaran, sebagaimana metode yang lain lebih cocok untuk jenis yang lain. Sebagai contoh, pembuktian empiris cocok untuk sejarah, dan metode ilmiah cocok untuk mempelajari ilmu alam. Namun, tidak satupun dari kedua metode ini memadai untuk menemukan kebenaran pribadi atau kebenaran penilaian. Untuk hal ini metode eksistensial atau fenomenologis lebih cocok. Demikian juga metode deduktif yang ketat hanya dapat digunakan jika orang memiliki hubungan dengan premis-premis matematis, teologis, dan filosofis yang dari situ ia mendapat deduksi logika. Tampaknya jelas salah kalau orang menandaskan bahwa hanya ada satu metode yang dapat menemukan semua kebenaran.
Jadi adanya berbagai macam metode filsafat menunjukkan bahwa ada beberapa metode yang lebih cocok untuk jenis-jenis tertentu dari pencarian kebenaran. Baik filsuf secara umum maupun filsuf Kristen khususnya, tidak sepakat mengenai metode mana yang digunakan untuk membenarkan kepercayaan religius. Memang sebagaian filsuf Kristen bersifat fideistis atau bersandar pada iman semata dengan berpendapat bahwa tidak ada jalan rasional untuk membenarkan suatu kepercayaan religious. Tetapi yang ditekankan oleh orang-orang Kristen adalah bahwa tidak ada metodologi filosofis yang dapat menghapuskan kemungkinan adanya pernyataan ilahi. Keberadaan Allah yang menyatakan diriNya sendiri dalam kitab suci adalah kepercayaan terpenting dari agama Kristen.

Bab 4:

Alat utama para filsuf adalah logika, yang berhubungan dengan aturan bagi argumentasi yang baik. Ada alat-alat yang dapat dipakai untuk menjawab masalah-masalah filosofis yang berada dalam bidang logika yang didefinisikan secara luas, yaitu sifat suatu argumen, bentuk-bentuk argumen (argumen secara induktif dan deduktif), kejelasan dalam definisi dan analisis terhadap konsep, metode ilmiah, dan silogisme deduktif.

Sementara filsuf memusatkan perhatian pada bentuk dan kebenaran argument-argumennya sehingga ia bisa mengajukan argument-argumen tersebut dalam bentuk silogistik, sebagian besar dari kita memusatkan perhatian pada logika dalam pengertian yang lebih informal.

Bab 5:

Bagian pertama ditutup dengan pembahasan akan tantangan terhadap filsafat yang dibagi dalam dua bagian yaitu tantangan terhadap filsafat secara umum dan tantangan filsafat bagi umat kristen. Tantangan secara umum terdiri atas pengkajian filosofis, klarifikasi pemikiran, argumentasi, dan sistematika pengetahuan. Sedangkan tantangan bagi umat kristen filsafat memberikan tantangan secara negatif dan positif. Dasar Alkitabiah untuk filsafat adalah Ibrani 11:6; Kis. 17:11; Mat. 22:37; 1 Pet. 3:15; Flp. 1:7; Kis. 17:2.
Filsafat membantu pembentukan sistem kristen dan pembuktian kesalahan pandangan yang berlawanan dengannya. Filsafat mempunyai peran dalam teologi karena teologi sistematika disusun melalui bantuan filsafat, juga filsafat berperan dalam apologetika, berfungsi dalam polemik, dan dalam komunikasi. Jadi, tantangan filsafat bagi umat kristen adalah berupa cara bepikir kritis, jernih, tepat, dan komprehensif terhadap dunia. Tugas apologetik adalah untuk mempertahankan iman Kristen terhadap serangan dari luar (1 Ptr 3:15). Tantangan yang kedua adalah penggunaan filsafat dalam sistematisasi berbagai keyakinan ini dan dalam argumentasi untuk mempertahankan kekristenan.

Bagian 2: Apakah Pengetahuan Itu?
Bagian dua terdiri dari lima bab yang membahas dapatkah kita mengetahui?, bagaimanakah kita mengetahui?, mungkinkah kepastian itu?, bagaimana kita mengetahui dunia luar?, dan bagaimana keyakinan dibenarkan?.

Bab 6:

Membahas tiga pokok bahasan yaitu bentuk-bentuk skeptisisme dan argumen-argumennya, argumen-argumen antiskeptis, dan manfaat skeptisisme.
Penulis menggolongkan skeptisisme menjadi lima kelompok yaitu skeptisisme sempurna, skeptisisme ringan, skeptisisme terbatas, skeptisisme metodologis dan irasionalisme. Skeptisisme sempurna menegaskan bahwa manusia tidak mempunyai pengetahuan apapun ataupun hanya memiliki pengetahuan dari pengalaman kita yang paling akhir (logika atau matematika). Sedangkan skeptisisme ringan menolak pengetahuan yang melampaui pengalaman yang ada. Skeptisisme terbatas mempertanyakan tipe-tipe pengetahuan tertentu, sedangkan Rene Descartes (skeptisisme metodologis) menyatakan skeptisisme bukan kesimpulan dari suatu argumen melainkn metode yang mengatasi keraguan itu. Irasionalisme dibangun berdasar skeptisisme fideistis.
Skeptisisme mempunyai kelemahan karena tidak bersifat konsisten, tidak memiliki arti, berlawanan dengan akal sehat, bertentangan dengan bahasa, dan bukan konsekuensi induksi. Jadi skeptisisme berguna sebagai penggerak utama dari epistemologi, untuk menganalisa pernyataan dari sang epistemolog.

Bab 7:

Membahas sumber atau asal keyakinan dan pengetahuan kita. Keyakinan berasal dari kesaksian orang lain, intuisi, nalar, dan pengalaman sensoris. Sumber-sumber ini membawa kepada lima logika yang cocok untuk mengesahkan keyakinan tersebut, yaitu iman atau autoritarianisme (bersumber pada kesaksian orang lain), subyektivisme (pendapat bahwa oran yang mengetahui memiliki semacam hubungan langsung dengan hal yang diketahui, yaitu obyek keyakinan), rasionalisme (anggapan bahwa sumber dan pembenaran keyakinan kita hanya dapat ditemukan dalam nalar), empirisme (menerangkan keyakinan dari segi pengalaman), dan pragmatisme (interpretasi ulang yang radikal atas sifat-sifat pengetahuan). Nalar berfungsi baik dalam peran negative maupun positif. Nealar mengajarkan kepada kita bahwa keyakinan yang berlawanan tidak mungkin diebanrakan. Nalar adalah juga sumber kayainan kita tentang matematika, logika, dan universalia. Pengalaman menambahkan kepada nalar pengetahuan tentang dunia luar, karena pengalaman adalah sumber pengetahuan factual kita. Dan akhirnya pragmatism mengatur perilaku sosial dan individual kita di mana norma-norma moral tidak berlaku. Setiap metode di atas cocok untuk diterapkan pada jenis pengetahuan tertentu.

Bab 8:

Pengetahuan manusia setidaknya dalam berapa hal, bersifat dapat keliru atau merupakan kemungkinan. Hanya Allah yang dapat mengetahui segala sesuatu secara pasti dan mutlak. Hal ini tidak berarti bahwa kita sebagai manusia tidak memiliki pengetahuan yang tidak dapat diragukan, meskipun para dilsuf yang baik akan tidak sepakat tentang sifat dan tingkatannya. Salah satu hal yang paling penting dalam sejarah epistemologi adalah tentang pencarian akan kepastian. Bagian ini mengevaluasi jenis-jenis kepastian dan berbagai tipe pengetahuan yang berbeda yang mungkin memenuhi syarat sebagai pasti. Jenis-jenis kepastian adalah kepastian apodiktis yang menuntut kebenaran yang diperlukan di dalam obyek-obyeknya; kepastian psikologis dimana kepastian didasarkan pada orang yang mengetahui; kepastian konvensional; kepastian pragmatis; dan probabilitas. Sedangkan tipe-tipe pengetahuan seperti perintah-perintah moral, pengalaman indera, kesadaran diri, logika, dan matematika ternyata tidak disepakati oleh para filsuf bagi kepastian suatu jenis pengetahuan tertentu. Oleh karenanya, satu-satunya kepastian yang pasti adalah Kitab Suci.

Sejumlah apologet dan teolog telah melihat dua masalah penting pada serangan terhadap pengetahuan kita tentang Allah dan tindakan-tindakanNya. Pertama, walaupun kepastian tidak dapat diperoleh, toh kita diperintahkan kepada Allah untuk menyerahkan secara total dan tanpa syarat keidupan kita dan masa depan kita kepada Allah. Kedalaman penyerahan kita jelas melampui bukti-bukti yang kita miliki. Kedua, bila orang beriman membicarakan masalah agama, jelas bahwa mereka akan lebih suka percaya pada kenyataan bahwa 1+1=2 atau hokum non-kontradiksi ketimbang percaya pada keberadaan dan kasih Allah. Lagi, iman orang percaya tidak sebanding dengan bukti-bukti yang dimiliki.

Para apologet dan teolog berpendapat bahwa kita harus membedakan antara kepastian dan perasasan pasti. Kepastian adalah pokok yang dibahas dalam bab ini, dan pada dasarnya mustahil bila kita membicarakan soal pengalaman, di mana tercakup di dalamnya kebangkitan dan pengalaman kita tentang anugerah keselamatan.

Bab 9:

Mempelajari tiga pandangan tentang sifat dan kemandirian dunia materiil dan orang yang mengetahuinya. Ada tiga pendapat tentang pokok ini yaitu realisme, dualisme, dan idealisme. Setidaknya ada dua bentuk realisme yaitu realisme primitif dan realisme akal sehat. Demikian juga dualisme dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu persepsi representatif yang mengenal dua tatanan eksistensi yang berbeda dan berdiri sendiri dan fenomenalisme yang berasal dari A. J. Ayer. Sedangkan idealisme dapat didefinisikan sebagai pandangan bahwa obyek materiil tidak mungkin lepas dari alam kesadaran. Pendapat ini dapa dibagi menjadi bentuk yang lebih lemah dan yang lebih kuat.

Bab 10:

Bagian ini membahas bagaimana keyakinan dibenarkan. Para filsuf menyadari bahwa keyakinan dan kebenaran saja tidak cukup bagi pengetahuan. Setidaknya diperlukan tambahan bukti yang mendukung dan membenarkan keyakinan tersebut. Hal ini disebut logika atau struktur pembenaran epistemik. Dalam istilah umum terdapat dua logika alternatif (struktur pembenaran epistemik), fondasionalisme, dan koherenenisme (kontekstualisme).
Fondasionalisme berpendapat ada struktur pengetahuan yng kondisinya, walau mendukung keseluruhannya, tidak membutuhkan dukungan. Kontekstualisme adalah keyakinan bahwa tidak ada keyakinan yang terdahulu atau yang fundamental secara epistemologis dan pembenaran hanya keluar-masuk melalui jaringan keyakinan kita tanpa berhenti di manapun juga. Ada dua pandangan yang ditolak oleh epistemologi kristen yaitu relativisme dan agnotisisme tentang dunia nyata.

Bagian 3: Apa Arti Realitas?

Bab 11:

Sebuah masalah yang selalu ada dalam filsafat adalah pandangan apakah realitas itu tunggal atau jamak atau keduanya?. Bila realitas itu tunggal, bagaimana menjelaskan keanekaragamannya yang nyata?; bila realitas itu jamak, bagaimana menjelaskan kesan tunggalnya?; bila relitas itu tunggal dan jamak, manakah yang paling mendasar? Yang tunggal atau yang jamak?.
Ada beberapa pandangan filsafat yaitu monisme (relitas itu tunggal tapi tidak jamak), pluralisme (realitas adalah jamak), dan Plotinus (kesatuan melebihi wujud). Pluralisme mendapat dukungan dari dua kelompok yang menyatakan bahwa realitas berbeda karena ‘non wujud’ (kaum atomis dan Platonis) dan kelompok kedua menyatakan bahwa realitas berbeda dalam wujud (pengikut Aristoteles dan Thomas Aquinas). Pandangan kristen adalah adanya tiga pribadi dalam Allah yang tunggal. Di sini terdapat pluralitas (pribadi) dan kesatuan hakikat.

Bab 12:

Sebuah pertanyaan yang sederhana “Siapakah aku ini”? menimbulkan kebingungan yang paling dalam. Pertanyan sederhana ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi filosofis yang paling penting karena terkait dengan moralitas, agama, metafisika dan hukum. Untuk menjawab pertanyaan ini ada dua teori yaitu teori-teori monistis dan teori-teori dualisme. Teori-teori monistis adalah materialisme (kita adalah tubuh kita), idealisme (istilah mental dan fisik punya arti berbeda tapi punya rujukan sama yaitu fenomena fisik) dan teori aspek-ganda (fisik dan mental adalah aspek lain dari sesuatu yang bukan fisik dan mental). Sementara itu, teori-teori dualisme membedakan arti mental dengan fisik, juga antara berbagai rujukan (denotasi) mereka. Ada lima bentuk teori dualistis yaitu interaksionisme (pikiran dan tubuh bersama merupakan pribadi manusia sekarang ini), paralelisme (hubungan pikiran dengan tubuh secara kausal), pre-established harmony (pikiran dan tubuh diciptakan sebagai mekanisme yang sempurna), occasionalism (ada perbedan besar antara pikiran dan tubuh) dan epifenomenalisme (interaksi kausal hanya berjalan satu arah, dari tubuh terhadap pikiran). Di tengah perdebatan tentang pikiran dan tubuh, umat kristen percaya bahwa manusia lebih dari sekedar materi karena Allah menghembuskan nafas-Nya ke dalam manusia dan manusia dicipta serupa dengan gambar Allah. Hanya masalah dikotomi dan trikotomi masih menjadi perdebatan di antara teolog kristen.

Bab 13:

Membahas tentang kehendak bebas manusia. Ada beberapa pandangan filsafat tentang kebebasan manusia yaitu determinisme dan Indeterminisme. Determinisme adalah keyakinan bahwa semua kejadian diatur oleh hukum-hukum. Determinisme dibagi menjadi determinisme keras (menerima pendapat incompatible, bahwa kebebasan dan determinisme tidak mungkin serasi) dan lunak (perilaku manusia muncul karena kondisi-kondisi yang mendahuluinya).
Indeterminisme dibagi menjadi indeterminisme sederhana (kebebasan dan determinisme tidak sejalan), libertarianisme (tindakan kita itu timbul sendiri, bukan disebabkan oleh tindakan lan) dan teori dua tingkat (mempertahankan pendapat bahwa dalam pengertian tertentu keyakinan pada determinisme dan pada kehendak bebas berdiri sendiri). Semntara itu, orang kristen sangat dipenuhi oleh gagasan determinisme teologis yang percaya Allah menetapkan setiap kejadian dan keadaan dan manusia tidak dapat memilih atau mempengaruh nasib akhir dirinya sendiri. Determinisme teologis adalah pandangan bahwa Allah menetapkan setiap kejadian dan keadaan manusia tidak mempunyai kemampuan untuk memilih atau mempengaruhi nasibakhir dirinya sendiri

Bab 14:

Membahas tentang kekekalan, apakah ada kehidupan setelah kematian. Ada dua pihak yang saling bertentangan, pihak pertama menentang kekekalan dan pihak lainnya mendukung kekekalan.
Pihak yang menentang kekekalan adalah pendapat akan keuniversalan mortalitas manusia (semua manusia pasti mati, bersifat fana), analogi alam (argumen yang bersifat fisik dari David Hume), dan argumen dependensi tubuh-pikiran (ketika tubuh mati maka otak/pikiran-pun ikut mati, jadi aktivitas pikiran bergantung pada tubuh).
Pihak yang mendukung kekekalan ada tiga yaitu doktrin jiwa-kekal (jiwa tidak tergantung pada badan), doktrin rekonstruksi (setelah mati tubuh dibangkitkan dan pribadi kita direkonstruksi), dan doktrin pribadi-minimal (pribadi-minimal tidak bersifat materi sehingga dapat keluar dari tubuh yang mati). Kekristenan jelas mendukung kekekalan (Luk. 16; Yoh. 11). Bagi orang Kristen, pertanyaan mengenai akhirat secara tegas dijawab oleh Yesus Kristus. Sebagai Anak Allah Ia mengetahui apakah ada kehidupan setelah kematian. Sebagai orang yang telah melewati kematian dan hidup lagi, Dia secara unik memenuhi syarat untuk menjawab pertanyaan mengenai kekekalan. Dengan jelas Dia menegaskan bahwa ada kehidupan setelah kematian (Lukas 16; Yoh.11).

Bab 15:

Membahas apakah makhluk lain mempunyai pikiran dan perasaan seperti manusia. Argumen tradisional yang mendukung anggapan adanya pikiran-pikiran lan adalah argumen dari analogi. Argumen ini sudah banyak dikritik sehingga kita akan melihat alternatif lainnya. Alternatif yang paling signifikan adalah teori behaviourisme yang mengasumsikan semua sikap mental atau psikologis dapat direduksi menjadi perilaku fisik (secara kebetulan). Wittgenstein maju selangkah dengan menganggap hubungan mental dan perilaku sebagai hubungan yang logis. Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh P.F. Strawson dan John Wisdom.

Bab 16:

Bab terakhir membahas topik apakah kebenaran itu?. Ada empat teori pokok tentang kebenaran yaitu teori koherensi yang menyatakan bahwa suatu pendapat benar bila konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain dari sistem. Teori ini banyak mendapat sanggahan. Teori kedua adalah teori pragmatik tentang kebenaran dengan Sanders Peirce, William James dan James Dewey sebagai tokohnya. Teori ketiga adalah teori performatif tentang kebenaran. Teori keempat adalah teori korepondensi tentang kebenaran. Teori ini berpendapat kebenaran ada karena suatu bentuk korespondensi (kesesuaian) antara sebuah keyakinan dengan suatu fakta atau keadaan. Pendukung teori korepondensi adalah Aristoteles, G.E Moore, dan Alfred Tarski.

Bagian 4: Apakah Yang Tertinggi?

Bab 17:

Bagian ini membahas kebenaran antara nalar dengan iman. Ada lima kategori dasar yaitu:
Pendapat pertama mengklaim penyataan (penyingkapan adikodrati oleh Allah) dapat dianggap sumber sah dari pengetahuan manusia. Pendukungnya adalah Soren Kierkegaard dan Karl Barth. Pendapat kedua menyatakan bahwa kebenaran dapat diketahui melalui nalar manusia. Tokohnya adalah Immanuel Kant dan Benedict Spinoza. Pendapat ketiga adalah nalar melebihi penyataan oleh Yustinus Martir dan Klemen dari Aleksandria. Pendapat keempat adalah penyataan melebihi nalar didukung oleh Tertullians dan Cornelius Van Til. Pendapat kelima menganggap ada hubungan antara penyataan dengan nalar. Pendukungnya adalah Agustinus dan Thomas Aquinas.

Ada kebenaran tertentu pada semua pandangan pokok tentang nalar dan pernyataan itu:

  1. “nalar melebihi pernyataan” benar karena secara epistemology nalar lebih dahulu dari pernyataan. Pernyataan yang diduga ada itu harus diuji oleh nalar.
  2. “pernyataan melebihi nalar” benar menurut pengertian ontologism. Allah menciptakan nalar dan nalar harus menjadi hambaNya, bukan tuanNya.
  3. “pernyataan semata” benar dalam pengertian bahwa pada akhirnya secara onotologis semua kebenaran datang dari Allah.
  4. “nalar semata” memiliki kebenaran tertentu, sebab secara epistemologis nalar harus menilai apakah pernyataan yang di duga ada itu berasal dari Allah.
  5. “pernyataan dan nalar” benar karena secara tepat memberikan peran kepada masing-masing dan menunjukkan hubungan mereka satu sama lain. Orang harus bernalar mengenai dan untuk pernyataan, jika tidak maka dia memiliki iman yang tidak masuk akal. Demikian juga nalar tidak mempunyai pedoman tanpa penyataan dan ragu-ragu dalam kesalahan,

Bab 18:

Pembahasan berikutnya adalah apakah yang dimaksud dengan Allah?. Ada lima cara berbeda untuk memandang Allah yaitu:
Pertama, Teisme yang menganut pandangan satu Allah yang bersifat transenden dan imanen. Kedua, Deisme yang menganggap Allah transenden tapi tidak imanen. Ketiga, Panteisme yang menganggap Allah imanen tapi tidak transenden. Keempat, Panenteism yang menganggap Allah berada di dalam dunia seperti nyawa ada dalam tubuh. Kelima, Finite godism menganggap Allah berada di luar alam semesta, tapi bukan pengendali tertinggi, alam semesta bukan ‘tubuh’ Allah.

Bab 19:

Selanjutnya pembahasan maju dengan pembahasan tentang apakah Allah ada dan merupakan pemelihara alam yang baik. Ada dua pendapat yang menyatakan keberadaan Allah. Yang pertama jenis a posteriori, yang memberikan argumen dari akibat kepada penybab, dan lainnya jenis a priori, memberikan argumen dari gagasan tentang Allah. Sedangkan argumen yang menyatakan bahwa Alah tidak ada adalah argumen dari fakta adanya kejahatan, argumen yang meragukan sifat-sifat Allah dan argumen dari hakikat kebebasan manusia. Sebuah pandangan yang menyatakan tidak mungkin untuk mengetahui apakah Allah itu ada atau tidak disebut agnotisme. Dua macam agnotisme adalah tidak mengetahui dan tidak dapat mengetahui keberadaan Allah. Dari pembahsan di atas, kita mempunyai cukup alasan untuk percaya pada eksistensi Allah.

Bab 20:

Membahas tiga pandangan pokok tentang arti bahasa keagamaan. Ada yang berpendapat istilah yang dipakai untuk Allah bermakna ganda (equivocal) dengan istilah yang dipakai manusia. Pendapat kedua menyatakan pembicaraan tentang Allah bermakna tunggal (univocal). Pendapat ketiga menyatakan pembicaraan tentang Allah bersifat analogis, dipakai dengan cara serupa. Kesimpulan yang didapat, pembicaraan tentang Allah harus bersifat deskriptif dan positif. Pembicaraan tentang Allah adalah pembicaraan dari Allah yang menuntut respon kita kepada Allah.

Pada semua pandangan ini rupanya ada suatu unsur kebenaran. Pertama, kelihatan jelas bahwa jika kita ingin menghindari agnostisisme total tentang Allah maka semua pengetahuan tentang tidak mungkin bersifat negatif semata. Pasti terdapat unsur positif yang didefinisikan dengan makna tunggal. Di sisi lain, orang-orang yang menekankan analogi memang benar jika mereka berpendapat bahwa tidak ada istilah dapat diambil dari konteks dan kondisi yang terbatas dari pengalaman manusia, dan dipakai dengan cara yang sepenuhnya sama untuk suatu wujud yang tak terbatas.

Akhirnya bahasa keagamaan lebih dari sekedar deskriptif semata: perbincangan tentang Allah pasti bersifat evokatif. Ini melainkan pembicaraan dari Allah yang meminta kita untuk memberikan tanggapan kepada Allah.

Bab 21:

Kontroversi masalah kejahatan terhadap eksistensi Allah adalah pembahasan di bab 21. ada tiga cara pokok untuk menghubungkan Allah dengan kejahatan. Pertama, menerima realitas kejahatan dan menyangkal Allah (ateisme). Kedua, menerima Allah dan menyangkal realitas kejahatan (panteisme). Ketiga, menunjukkan hubungan antara Alah dan kejahatan. Pandangan pertama dan kedua tentu tidak dapat diterima. Sedangkan pandangan ketiga ada dua versi yaitu argumen dualisme pertama (kebaikan dan kejahatan dalam pertentangan abadi) dan argumen dualisme kedua adalah argumen yang menentang non-dualisme (terutama teisme) contohnya Finitisme mengklaim Allah tidak mungkin mengalahkan kejahatan, necessitarianism yang menyangkal kebebasan Allah untuk menciptakan, impossibilism yang menyatakan kemahatahuan-Nya bahwa kejahatan akan terjadi. Ketiga pandangan di atas tidak lepas dari tantangan serius. Hanya teisme yang menyatakan Allah yang baik dan berdaulat mengizinkan kejahatan untuk mendapatkan kebakan yang lebih besar.

Bab 22:

Bab terakhir dari bagian empat membahas apakah kita dapat memiliki pengalaman dengan Allah atau pada sifat dan pembenaran agamawi. Pengalaman dan agama dapat dilihat secara umum dan secara khusus. Sedangkan pengertian agama sediri adalah satu kesadaran akan yang Transenden, artinya melampui dunia empiris dan yang tertinggi. Ada tujuh jenis Transendensi: Transendensi ke belakang, ke atas, ke luar, ke bawah, di dalam, ke depan, dan Transendensi siklis. Pengalaman agamawi berbeda dengan pengalaman moral dan pengalaman estetis. Ada beberapa filsuf yang mempertanyaka akan realitas dari Yang Transenden. Apakah itu hanya khayalan manusia?, apakah itu hanya pemenuhan keinginan manusia?, apakah hanya sesuatu yang ada di alam bawah sadar?.
Ada beberapa cara untuk menunjukkan realitas dari pengalaman agamawi yaitu argumen dari perjumpaan agamawi dan argumen dari kebutuhan agamawi. Inti dari pengalaman agamawi terletak pada keinginan manusia bahkan pada kebutuhan manusia untuk melampaui batas-batas biasa. Ada banyak “arah” untuk melampaui batas-batas biasa, tetapi semua orang (bahkan yang mengakui ateis) kelihatannya mengalami kecenderungan yang sama ke arah transendensi. Tentu fakta saja bahwa orang menginginkan Allah (yang transenden) bukanlah bukti bahwa Allah ada. Tetapi manusia selalu bersifat religius, dia memeang membutuhkan Allah.

Bagian 5: Apakah Arti Baik Atau Benar?
Bagian terakhir terdiri dari lima bab. Bab pertama bermaksud untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan yang benar atau yang baik.

Bab 23:

Ada banyak teori-teori yang salng bertentangan tentang makna benar di antara para filsuf, yaitu:
Kuat adalah benar, moral adalah adat istiadat, yang menjadi ukuran adalah manusia, yang benar adalah yang berlaku bagi bangsa, yang benar adalah yang moderat, tidak ada yang benar, yang benar adalah yang mendatangkan kesenangan, yang benar adalah kebaikan terbesar untuk umat manusia, yang benar adalah apa yang diinginkan demi kebaikan itu sendiri, kebaikan tidak dapat didefinisikan, dan kebaikan adalah apa yang dikehendaki Allah.
Pandangan kristiani akan kebenaran berdasarkan pada fundamental sifat kasih dan keadilan Allah yang tidak berubah, di mana kehendak Allah tunduk pada sifat-Nya sendiri yang tidak berubah. Kebenaran sudah dinyatakan Allah melalui sarana wahyu umum (alam semesta dan hati nurani) dan wahyu khusus (Alkitab).

Pandangan kristiani mengenai kebenaran mempunyai sumber lebih unggul yaitu Allah. Orang-orang Kristen mengklaim bahwa Allah adalah satu wujud pribadi yang penuh kasih dan tak terbatas, yang kesempurnaannya mutlak. Jika klaim orang Kristen benar maka sumber pokok dari moralitasnya (cirri khas Allah) unggul secara tidak terbatas dari setiap etika yang humanistis semata.

Etika Kristen memeiliki sesuatu manifestasi pribadi yang lebih unggul yaitu Kristus. Alkitab mengajarkan bahwa Kristus adalah Allah yang menjelmayaitu dalam rupa manusia.

Dipandang dari sudut keallahan kristus dan penjelmaanNya, orang Kristen mempunyai manifestasi etika yang lebih unggul disbanding humanism belaka. Dia yang adalah Allah sendiri menjadi seorang di antara kita dan hidup ditengah-tengah kita,menunjukkan kepada kita bagaimana menerima diri kita sendiri. Humanisme belaka tidak pernah menghasilkan manusia sempurna, apalagi manusia- Allah.

Selanjutnya, pandangan Kristiani tentang kebenaran menghasilkan motivasi yang lebih besar-kasih Kristus. Para humanis non-kristen memebrikan motivasi sangat kecil untuk mengamalkan apa yang menurut humanism adalah peraturan-peraturan atau tujuan-tujuan moral.

Bab 24:

Pembahasan berikutnya adalah bagaimana kita mengetahui apa yang benar. Ada beberapa pendapat misalnya William James berpendapat bahwa pembenaran berdasarkan pada hasilnya, Kant: pembenaran berdasarkan sifat merusak-diri dari hal kebalikannya, Moore: pembenaran berdasarkan intuisi, Aquinas: pembenaran berdasarkan pembuktian sendiri, Hobbes: pembenaran berdasarkan rujukan kepada otoritas manusia, kekristenan, Yudaisme dan islam: pembenaran berdasarkan rujukan pada otoritas Ilahi.
Kekristenan sendiri terbagi menjadi dua yaitu yang berusaha membenarkan baik penyataan adikodrati maupun penyataan alamiah dan yang memberikan pembenaran hanya pada penyataan adikodrati (mengacu pada iman dan rasio).

Bab 25:

Membahas hubungan antara aturan-aturan dengan hasil-hasilnya. Berkaitan dengan hal ini ada dua pendekatan, yang pertama memusatkan perhatian pada aturan (deontologis), dan yang kedua memusatkan perhatian pada pencapaian hasil (teleologis).
Menurut etika deontologis, ketaatan pada aturan akan menentukan hasil-hasil yang benar. Sedangkan kaum utilitarian menyatakan bahwa akibat jangka panjang menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Kedua pendekatan ini mempunyai kelemahannya masing-masing sehingga sebuah etika yang komprehensif diperlukan. Sebagai orang kristen dituntut untuk menaati peraturan-peraturan Allah dan melakukan kebaikn tanpa melanggar norma etika. Orang Kristen harus memperhatikan keduanya. Dia percaya bahwa jika kita menaati peraturan-peraturan yang telah diberikan oleh Allah sebagai kewajiban kita, maka Allah akan mendatangkan kebaikan paling besar dalam jangka panjang.

Bab 26:

Membahas keuniversalan prinsip-prinsip etika. Ada yang menganggap prinsip etika hanya berlaku secara lokal dan relatif, sedangkan ajaran kristen menegaskan hukum moral pokok Allah mengikat semua orang.
Relativisme bukan hal baru karena telah ada sejak dunia kuno dengan tiga gerakannya (prosesisme, hedonisme, skeptisisme), ke abad pertengahan (intentionalism, volunterisme, nominalisme), pada dunia modern (utilitarianisme, eksistensialisme, evolusionisme). Demikian juga relaivisme berlanjut dalam dunia kontemporer (emotivism-A.J. Ayers, subjectivisme-Satre, situasionisme-Fletcher). Pada tingkat ekstrem, semua pandangan di atas adalah suatu bentuk antinomian (orang yang tidak percaya akan hukum etika-misalnya Nietzsche).
Kebenaran adalah suatu nilai yang diperoleh melalui intuisi dan tidak dapat diterangkan dengan sesuatu yang lain. Ia adalah sesuatu yang harus diikuti dengan tindakan atau tujuan seseorang. Universal adalah suatu kewajiban yang mengikat semua orang pada segala zaman dan di semua tempat. Ada dua macam cara terhadap kewajiban yang bersifat universal yaitu utilitarian (kewajiban bersifat universal tapi tindakannya belum tentu merupakan nilai yang intrinsik dan universal) dan deontologis (kewajiaban bersifat unversal dan berdasar nilai intrinsik).

Bagi orang Kristen, norma-norma etika yang universal terkait kuat pada karakter yang tidak berunah dari Allah. Yang dimaksudkan dengan itu adalah bahwa semua orang tunduk pada kewajiban-kewajiban moral tertentu, misalnya untuk mengasihi dan bertindak adil kapan saja dan dimana saja. Tetapi situasi-situasi yang berbeda membantu orang mengetahui hal-hal mutlak yang mana dari Allah yang dipakai. Lebih jauh, kewajiban mutlak tidak selalu mempunyai hubungan langsung dengan cara bertindak yang aktual.

Bab 27:

Bab terakhir membahas persoalan etika ketika ada kewajiban-kewajiban moral yang bertentangan. Ada tiga pendapat yaitu:
Pandangan alternatif-ketiga mengatakan dalam setiap pertentangan selalu ada solusi moral, selalu ada solusi bagi tiap dilema etika. Pandangan kejahatan yang lebih ringan dianut oleh orang-orang yang percaya pada norma-norma etika yang universal. Ada persoalan di mana kedua alternatif salah sehingga kita wajib memilih yang kesalahannya lebih ringan dan mengakui dosanya. Pandangan kebaikan-lebih besar artinya mentaati hukum yang lebih tinggi ketika sebuah konflik tidak dapat dihindarkan antara dua perintah Ilahi atau lebih. Pandangan inilah yang paling sesuai dengan ajaran Alkitab.

Tanggapan Kristis Terhadap buku “Filsafat dari Perspektif Kristiani”
Buku ini memberikan wawasan secara luas akan pandangan-pandangan filsafat dari dunia awam maupun dari dunia kekristenan. Terlepas dari bahasa filsafat yang memang sulit dipahami, penulis telah berusaha keras untuk memberikan pandangan yang berimbang. Hanya saja, justru karena hal itulah maka penekanan pada filsafat dari pandangan kristen mendapat porsi yang lebih sedikit. Sebagai konsekuensi logis maka pandangan filsafat dunia justru mendapat porsi yang lebih besar sehingga judul buku (Filsafat Dari Perspektif Kristiani) menjadi kurang sesuai dengan isinya.

Sebagai buku filsafat, buku ini adalah buku fisafat yang ‘membumi’, dengan pengertian relatif mudah untuk dibaca dan dimengerti. Sebagai filsafat sekuler, buku ini bergumul sendiri dengan pemikiran manusia yang tidak banyak menyentuh agama. Hal ini berbeda dengan filsafat kristiani yang menempatkan Wahyu Khusus Allah sebagai acuan tertinggi, sebagai filsafat yang ultimat sehingga ketika timbul masalah yang belum dapat dipecahkan atau ketika perdebatan dalam mencari kebenaran muncul, kita kembali ke Alkitab sebagai kebenaran tertinggi.

Seperti judulnya jelas menyiratkan, Pengantar Filsafat: Sebuah Perspektif Kristen adalah hanya itu. Ini adalah perspektif Kristen pada studi dan sejarah filsafat dan ia mencoba untuk menjawab pertanyaan dari apakah filsafat itu, mengapa harus dipelajari dan apa dampak praktis adalah.

Para penulis, Norman Geisler dan Paul Feinberg, berangkat untuk menunjukkan bahwa filosofi yang harus dinilai dalam dan dari dirinya sendiri, dan bahwa Kristen bisa berdiri dengan kerasnya filsafat, dan harus dilihat sebagai suatu pandangan dunia filosofis yang valid. Oleh karena itu mereka melakukan tugas menunjukkan nilai filsafat, tanpa glossing atas isu-isu dalam filsafat yang tampaknya bertentangan Kristen. Semua kebenaran adalah kebenaran Allah, mereka mengatakan, dan filsafat, dalam bentuk yang paling sederhana, adalah mencari kebenaran. Dan mencari kebenaran, atau kebijaksanaan, diresepkan dalam Alkitab di beberapa tempat.

Yang sedang berkata, Geisler dan Feinberg tahu bahwa beberapa nilai dan prinsip-prinsip filsafat yang bertentangan dengan ajaran Kristen. Tapi itu tidak ada alasan untuk menghilangkan diri dari studi filsafat. Sebaliknya, sebagai orang Kristen, dipanggil untuk mengambil setiap pikiran tawanan Kristus, kita perlu menyelidiki filsafat, dan untuk membantah kesalahan-kesalahannya di mana dan ketika mereka terjadi. Kami kemudian perlu menawarkan pembenaran atas keabsahan pandangan dunia Kristen, berdasarkan standar filosofis diterima.

Bagi mereka yang belum belajar filosofi, atau mereka yang baru memulai studi tersebut, Pengantar Filsafat adalah tempat yang tepat untuk memulai. Ini membahas sifat filsafat, hakikat pengetahuan, hakikat realitas, sifat utama (Allah), dan sifat baik dan benar. Ini termasuk daftar istilah filosofis dan indeks luas untuk referensi mudah. Buku ini adalah alat referensi berharga untuk pemula, dan bagi mereka yang mencari untuk mengajar filsafat dari perspektif Kristen. Bahkan hal lain yang menarik dari buku ini yaitu adanya berbagai buku rujukan di akhir setiap bab yang dituliskan untuk mendukung para pembaca dalam mendalami pentingnya filsafat. Karena memang penulis mengakui bahwa buku ini ditulis berdasarkan sudut pandang Kristen maka dalam setiap pembahasannya penulis berusa membuktikan ketidakbenaran dari pandangan-pandangan yang anti-kristen. Tetapi pada saat yang sama juga mereka (Geisler dan Feinberg) berusaha menyajikan perbedaan-perbedaan pendapat yang terdapat dalam kajian Kristen.

Berbeda dengan buku filsafat lainnya (sekuler) yang selalu membahas perkembangan munculnya sejarah mulai dari era Pythagoras (penggagas) hingga kepada era abad pertengahan dan modern, Geisler tidak menganggap perlu diuraikan lebih banyak tentang munculnya filsafat sejak dulu. Penulis buku ini (Geisler dan Feinberg) mengawali sejarah filsafat dengan tokoh abad pertengahan yaitu Rene Desacartes (1596-1650). Tidak dijelaskan mengapa Geisler tidak membahas panjang lebar perkembangan filsafat sepanjang abad hingga modern. Menurut saya karena penulis lebih memfokuskan kepada pembelaan terhadap iman Kristen dari serangan berbagai filsuf-filsuf non Kristen.

Tidak ada komentar: