Senin, 10 Oktober 2011

Resume dan Kritik Terhadap Buku Dr. Robert P Borrong

EKOLOGI DAN MANUSIA

Kita sekarang berada dalam situasi ketika planet bumi kita mengalami ancaman karena hubungan manusia dengan alam cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif dari pihak manusia. Manusia telah memboroskan sumber-sumber alam dan menggunakannya tanpa mengindahkan norma-norma etika, misalnya norma keadilan baik terhadap alam maupun terhadap sesama manusia dan generasi penerusnya. Kurangnya kepedulian pada norma-norma etika tersebut membuat manusia cenderung tidak memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan lingkunagan alam dalam pengelolaan sumber-sumber alam.

Dilihat dari sudut etika, perilaku manusia yang berakar dalam materialisme dan profitisme yang menyalahgunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengeksploitasi dan merusak harus diperbaiki dan diubah, ya harus dikoreksi. Manusia yang mengutamakan materi dan keuntungan sehingga bersifat boros dan tidak peduli pada tanggungjawabnya menjaga dan memelihara ekosistem, harus diganti dengan sikap yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan kepentingan lingkungan dan kepentingan dirinya dengan kepentingan bersama maupun generasi mendatang. Manusia yang menyalahgunakan keunggulannya melalui penerapan teknologi berwawasan lingkungan dan berwawasan kesinambungan. Manusia harus meninggalkan sikap-sikap destruktif terhadap alammenuju sikap baru yaitu sikap konstruktifdalam mengelola lingkungan hidup. Umat manusia harus segera mengubah sikap materialistik dan mengutamakan profit, agar dapat menikmati hidup nyaman dan segar serta berkelanjutan dengan lingkungan hidupnya. Ia harus hidup dengan tatanan baru. Berwawasan etika, agar mampu mengendalikan diri terhadap tekanan materialisme yang justru telah menjadi bukti semakin tidak berdayanya manusia menghadapi lingkungan hidupnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan baru ciptaannya, yaitu teknosfer. Dengan etika sebagai panduan dalam membangun planet bumi baru, maupun dapat menikmati kembali hidup yang bebas, adil dan lestari dalam alam segar dan sekaligus dapat mewariskan kekayaan plnet bumi dan bukan hanya materi kepada penerus-penerus umat manusiasecara berekesinambungan.

EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM DAN KRISIS EKOLOGIS

Pengrusakan lingkungan hidup di planet bumi yang paliang nyata adalah pengeksploitasian sumber daya alam berupa pembabatan hutan, baik untuk tujuan perluasan pertanian maupun untuk pengambilan sumber kayu di dalamnya. Perusakan hutan ini menyebabkan bermacam-macam kerusakan lingkungan yakni punahnya berbagai spesies dan terjadinya gangguan pada ekosistem bumi. Selin itu, pengeksploitasian berupa penambangan bahan-bahan mineral baik minyak maupun logam dan bahan materi lainnyaterkait pula dengan pencemaran. Semua itu berakumulasi pada kerusakan alam primer maupun sekunder. Kerusakan primer adalah hilangnya semua sumber alam yang diolah maupun spesies yang terpaksa punah karena habitatnya tergusur. Sedangkan kerusakan sekunder terkait dengan kerusakan lingkungan sebagai akibat sampingan dari proses pengeksploitasian sumber alam seperti pencemaran dan pemborosan.

Seluruh proses eksploitasi sumber daya alam semakin intensif karena ketidakadilan dalam pemanfaatannya oleh umat manusia. Kita boleh melihat adengan sontoh-contoh di atas bahwa proses pengambilan sumber daya alam seringkali tidak adil karena negara-negara maju mendorong negara-negara miskin mengeksploitasi sumber alam mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, sementara negara maju membeli bahan pokok dari negara miskin dengan harga yang sangat murah. Akibatnya, negara miskin terus terdorong untuk mengeksploitasi sumber daya alam guna memenuhi kebutuhannya, yang dalam kenyataannya merupakan hutang dari negara maju. Kenyataan bahwa bahan baku dari Dunia Ketiga mengalir ke negara maju dengan harga murah, adalah akar dari pengrusakan lingkungan akibat pengeksploitasian sumber daya alam. Singkatnya, pengrusakan alam karena eksploitasi terkait dengan konsumerisme yang mengatasnamakan pembangunan, tetapi mempraktikkan perilaku tidak adil, baik terhadap sesama umat manusia, maupun terhadap alam.

Berbagai konvensi yang menyangkut pengeksploitasian sumber daya alam sebagai upaya mengikat secara legal tanggung jawab pelestarian sumber daya alam, ternyata tidak mengikat. Jangankan perorangan, setiap negara pun bebas untuk menaati atau tidak menaati deklarasi maupun konvensi tersebut. Karenaitu, pelaksanaannnya sangat tergantung pada tanggung jawab moral setiap bangsa dan setiap orang, terutama para pengambil keputusan dan pemilik modal, alias penguasa dan pengusaha. Pada pokoknya, tidaklah mungkin mengharapkan adanya perubahan mendasar dalam sikap manusia yang materialistik, kapitalistik dan instrumentalistik terhadap sumber daya alam tanpa ditopang kesadaran moral yang tinggi atas tanggung jawab umat manusia untuk menjaga, memelihara dan melestarikan lingkungan hidupnya, dalam rangka memelihara ekosistem planet bumi ini.

Terlepas dari praktik ketidakadilan dari bangsa-bangsa di dunia, secara individu maupun secara kelompok, umat manusia di mana pun di dunia, termasuk di Indonesia, mau atau tidak mau haruslah mengambil langkah untuk mengurangi pengeksploitasian sumber daya alam dengan jalan:

(1) Mengurangi eksploitasi dengan mengurangi produksi dan perdagangan barang-barang yang diambil langsung dari alam, yaitu sumber daya alam dari hutan primer. Misalnya dengan memproduksi barang yang kuat dan berkualitas sehingga tidak mendorong pengeksploitasian bahan baku dari alam. Setiap orang terpanggil untuk dapat mengambil sesuatu dari alam sengan secukupnya.

(2) Mengganti gaya hidup konsumtif dengan gaya hidup cukup.

Misalnya, kalau punya tv yang masih bisa ditonton dengan baik, tidak perlu diganti dengan yang baru sekedar untuk mengikuti mode.

Contoh-contoh ini menuntut adanya komitmen dari setiap orang dan masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, ia tidak cukup dengan adanya peraturan, sebab peraturan atau hukum cenderung dipaksakan dari luar tetapi tidak lahir dari hati manusia sendiri. Diperlukan peran etika, yaitu adanya kesadaran yang lahir dari norma moral yang diyakini seseorang selaku kebenaran, menjadi kekuatan yang dapat membuat individu dan masyarakat bertanggung jawab mengambil dan menggunakan sumber daya alam atas dasar keyakinannya dan kesadarannya sendiri. Memang cara ini tidak gampang di tengah situasi di mana praktik bisnis justru mendorong masyarakat menjadi konsumtif dengan terus menawarkan produk baru yang lebih canggih. Namun, kalau kesadaran dalam diri setiap orang cukup kuat, maka godaan konsumtif dapat dikendalikan.

PENCEMARAN DAN KRISIS EKOLOGIS

Meningkatnya pencemaran terhadap lingkungan, bahkan pencemaran terhadap lingkungan bersumber dari kegiatan manusia dalam proses pengelolaan sumber-sumber alam atau proses produksi maupun dalam proses konsumsi. Pencemaran terhadap lingkungan merupakan efek sampingan dari proses produksi dan konsumsi berskala besar dari penerapan teknologi yang telah memakmurkan umat manusia. Manusia tidak lagi hidup ramah terhadap lingkungannya.

Efek sampingan juga membawa dampak yang begitu besar, sehingga taruhannya adalah masa depan dari kehidupan manusia itu sendiri dan planet bumi, di atas mana seluruh kehidupan berlangsung. Umat manusia adalah pencipta teknologi, manusia juga yang menerapkan dan menggunakannyandan manusia juga adalah konsumen yang memperoleh manfaat dari penciptaan dan penciptaan dan penggunaan teknologi tersebut. Jadi pada akhirnya manusia itu sendirilah yang menjadi sumber dari pencemaran terhadap lingkungannya, melalui proses inovasi, eksplorasi dan eksploitasi dan melalui proses konsumsi.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pencemaran lingkungan tidak lagi sekedar menjadi persoalan teknologi yang bersifat teknis melainkan telah menjadi masalah moralitas dan bahkan sikap spiritualitas manusia. Pencemaran terhadap lingkungan bersangkut paut dengan nilai-nilai etis (misalnya kasih dan keadilan serta keluhuran) yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya manusia maupun dengan mahluk lain di atas bumi ini.

Pencemaran terhadap lingkungan yang telah terlanjur melaju, khususnya di jakarta dan sekitarnya, merupakan dampak dari miskinnya muatan dan pertimbangan moral-spiritual ketika pembangunan industri dimulai. Yang menjadi pertimbangan pokok hanyalah keuntungan (profit) ekonomi, sedangkan kepedulian terhadap dampak negatifnya kurang diperhatikan. Kini, ketika manusia semakin sadar akan bahaya akan bahaya dari pencemara, kesulitan pokok dalam memberlakukan hukum terhadap pelaku pencemaran adalah pertimbangan keuntungan ekonomi. Contoh banyak usahawan yang memiliki pabrik yang mencemari lingkungannya, tetapi enggan mengelola limbahnya karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi

Dari contoh yang dikemukakan di atas nyatalah bahwa pencemaran terhadap lingkungan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonomi manusia baik secara universal maupun secara kelompok. Semakin parahnya pencemaran terhadap lingkungan disebabkan berlarutnya kebijakan mencegah dan mengurangi zat-zat pencemar dan/atau sumber pencemar lainnya karena benturan kepentingan antar-bangsa atau antara penguasa dan masyarakat.

Pola keadilan serupa dapat pula kita temukan dalam kasus-kasus pencemaran di Indonesia. Para pengusaha enggan membangun pengelola limbah industrinya, karena ingin memperoleh keuntungan sendiri di atas kerugian masyarakat dan kerugian lingkungan alam. Kegiatan konsumsi yang melibatkan semua orang dalam mencemari lingkungan antara lain penggunaan berbagai produk yang mencemari lingkungan antara lain penggunaan berbagai produk yang mencemari lingkungan dan kegiatan membuang sampah.

Pencemaran sampah timbul akibat dari kesadaran masyarakat dalam membuang sampah yang diproduksinya dari proses konsumsi. Masyarakat umumnya masih membuang sampah di sembarang tempat sehingga mengotori lingkungan sekitar, dan menyebarkan berbagai penyakit menular baik melalui bau busuk maupun binatang penyebar penyakit. Karena itu pemecahan masalah sampah harus diarahkan pada usaha meminimalkan sampah, yaitu dengan usaha mengajak masyarakat membiasakan diri mengurangi produk sampahnya dengan jalan menggunakan secara berulang-ulang barang-barang yang biiasa dibuang menjadi sampah. Khusus untuk para pengusaha, diharapkan partisipasinya untuk meminimalkan produk sampah dengan usaha mengganti barang produk sintetik menjadi barang yang mudah larut dan didaur ulang menjadi produk baru. Usaha-usaha tersebut di atas dapat dilakukan bila seluruh masyarakat memiliki kesadaran peduli lingkungan dan menyukai hidup yang bersih dan sehat. Untuk itu, diperlukan pendidikan peduli lingkungan dan hidup bersih dan sehat melalui pendidikan multi dimensi dan multi pendekatan serta multi

jalur.

ETIKA DAN KRISIS EKOLOGIS

Bila lingkungan bertolak dari kenyataan akan rendahnya moralitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam. Manusia cenderung sangat materialistik sehingga memandang alam hanya bernilai ekonomi. Akibatnya nilai ekologis yang mencakup nilai estetis, biologis, spiritualistis dan nilai-nilai lainnya tidak mendapat perhatian yang sepatutnya. Pandangan inilah yang menyebabkan manusia mempraktikkan perilaku kurang adil dan kurang diresapi oleh cinta kasih terhadap alam sesama ciptaan. Akar perilaku demikian adalah materialisme dan humanisme yang mengembangkan hubungan subyek-subyek antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Karena itu, etika yang berkembang adalah etika antroposentris, etika yang berpusat pada kepentingan manusia atau yang secara teknis dikenal sebagai etika ”lingkungan dangkal.

Akhir-akhir ini sejalan dengan munculnya kesadaran untuk memelihara lingkungan hidup, muncul bermacam-macam teori tentang etika lingkungan yang dikelompokkan dalam etika ”lingkungan dalam”. Etika lingkungan dalam ini lebih menekankan perlunya norma-norma dalam hubungan manusia.

Dengan alam atau lingkungan hidup. Contoh dan etika lingkungan dalam adalah biosentrisme, ekosentrisme, holisme dan sebagainya. Keanekaragaman nama ini disebabkan oleh aneka ragam teori tentang lingkungan hidup, tetapi yang pada pokoknya berpendirian bahwa perlu membengun perilaku kehidupan yang menghargai dan menghormati lingkungan hidup, baik individu maupun bersama sebagai suatu kesatuan ekosistem.

Etika Kristen telah lama pula mengembangkan etika lingkungan yang bertolak dari norma-norma Alkitab. Bahwa manusia adalah bagian dari ciptaan tetapi yang kepadanya diberikan tanggung jawab untuk memanfaatkan dan memelihara alam ciptaan Allah dengan baik. Atas dasar itu dalam bab ini penulis mengemukakan tiga norma etika Kristen dalam hubungan manusia dengan alam, yaitu etika pelayanan, etika solidaritas dan etika damai sejahtera. Ketiga etika ini bertolak dari kasih Allah Pencipta, Penebus dan Pemelihara seluruh kehidupan yang diciptakannya. Maka etika lingkungan Kristen selalu dipahami dalam arti ”teoetik” atau etika teologis yakni etika yang berpusat pada Allah atau etika teosentris.

Etika teosentris memperluas dan memperdalam serta mengoreksi etika antroposentris yang telah menjadi sumber perilaku destruktif terhadap alam. Etika lingkungan dari perspektif teologi Kristen dipahami sebagai etika teosentris, karena semua kehidupan bersumber dari Allah dan berpusat pada Allah. Karena Allah telah menciptakan dan menebus semua kehidupan dan bukan hanya kehidupan manusia, maka Etika Kristen yang diorientasikan pada kepentingan alam semata-mata mestinya lebih cocok diorientasikan sebagai etika teosentris. Atau dalam konteks yang lebih khusus dapat disebut sebagai etika kristosentris> Iman Kristen berpusat pada karya Allah dalam Yesus Kristus yang telah datang menebus seluruh alam.

Semua perilaku etis pada akhirnya didorong oleh kasih kepada Allah yang telah datang dalam Yesus Kristus dan yang sedang mengarahkan ciptaan ini pada shalom Kerajaan Allah. Menghadirkan tanda-tanda shalom inilah yang menjadi tugas panggilan gereja selaku pelaku norma etika Kristen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa etika dalam bumi baru dari perspektif Kristen dapat juga disebut sebagai etika Kerajaaj Allah, sebab di dalam menata kehidupan baru antara manusia dengan semua ciptaan berlakulah tatanan baru, yaitu tatanan di mana kuasa Allah pada akhirnya diakui sebagai satu-satunya kuasa yang menjadi sumber segala sesuatu dan karena itu menjadi sumber kehidupan baru yang di bawah oleh kedatangan dan penebusan Yesus Kristus. Dengan demikian, tatanan baru dalam hubungan manusia-alam adalah tatanan dalam pendamaian yesus Kristus, di mana kasih dan keadilan menjadi acuan perilaku dan perbuatan manusia sebagaimana dikehendaki dan diajarkan oelh Yesus Kristus.

TEOLOGI KRISTEN DAN KRISIS EKOLOGIS

Teologi Alkitab tentang penciptaan dapat dirangkum sebagai teologi teosentrisme-holisme dan karena itu kurang berbicara mengenai hubungan Allah dengan alam semesta. Sesuai uraian dalam bab ini maka teologi Alkitab tentang lingkunagan atau alam dapat dirangkum sebagai berikut

(1) Alam adalah ciptaan dan karya Allah maka Allah adalah pemilik dan yang berdaulat atas seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Karena alam adalah ciptaan maka alam tidak ilahi dan karena itu tidak perlu disembah. Akan tetapi alam mempunyai nilai intinsik sebab alam diciptakan dengan baik oleh Allah. Nilai intrinsik tersebut adalah nilai keharmonisan hubungan antara ciptaan dengan Pencipta dan di antara semua ciptaan sehingga seluruh ciptaan berada dalam keharmonisan yang seimbang sesuai dengan maksud Sang Pencipta. Itu berarti alam ini tidak buruk dan itulah sebabnya alam ini dengan seluruh isinya harus diperlakukan sebagai ciptaan Allah yang baik. Atas dasar itu, maka manusia harus menghargai dan memelihara alam ciptaan Allah.

(2) Allah sang Pencipta mengasihi seluruh ciptaan-Nya sehingga Ia memelihara alam ciptaan-Nya itu secara terus-menerus dan berkelanjutan melalui proses reproduksi dan proses keharmonisan hidup makhluk-makhluk ciptaan Allah. Allah memelihara ciptaan-nya melalui kehadiran Roh Kudus dan allah juga memberi tatanan ciptaan sebagai bagian dari cara Allah memelihara ciptaan-nya, sehingga dari waktu ke waktu ciptaan itu berkembang dan terus-menerus memancarkan keagunagn sang Pencipta. Allah meneruskan proses penciptaan-Nya secara berkesinambungan melalui pekerjaan Roh Kudus dan melalui proses alam. Dalam proses itu manusia sebagai bagian dari ciptaan sekaligus sebagai citra Allah, ikut serta menjadi mitra Allah memelihara tananan ciptaan atau ekosistem.

(3) Kejatuhan manusia ke dalam dosa merusak hubungan manusia dengan Allah. Kejatuhan manusia itu menyebabkan pula hubungan manusia dengan alam menjadi rusak. Dosa menyebabkan seluruh ciptaan turut menderita. Seluruh ciptaan turut menderita terutama karena diperlakukan secara buruk oleh manusia untuk memenuhi ambisi/kesombongan dan keserakahannya sebagai dampak pemberontakannya kepada allah. Alam menderita karena dieksploitasi dan dirusak oleh manusia. Dengan demikian, menurut teologi Alkitab, kerusakan alam merupakan akibat dari pemberontakan manusia kepada Allah yang menyebabkan ia jatuh ke dalam dosa. Manusia yang memberontak kepada allah memandang ciptaan allah sebagi materi yang semata-mata berguna untuk memenuhi ambisi dan keserakahan yang telah merasuki hati manusia bahkan seluruh kecenderungannya.

(4) Oleh karena Allah mengasihi ciptaan-Nya, maka alam tercakup dalam janji penebusan dan penyelamatan Allah. Dengan kedatangan Tuhan Yesus Kristus maka seluruh ciptaan telah dibarui dan diperdamaikan dengan allah. Itu berarti bahwa hubungan manusia dengan alam dibarui dan diperdamaikan pula. Manusia telah menerima pembaruan dan penyelamatan/penebusan dalam Kristus melalui Inkarnasi dan dialami dalam sakramen. Maka manusia harus membangun hidup yang solider dengan seluruh ciptaan. Solidaritas dengan seluruh ciptaan itu ditunjukkan dalam bentuk menggunakan sambil memelihara sumber-sumber alam ciptaan allah.

(5) Sama seperti manusia masih sedang dalam proses penantian shalom yaitu penyempurnaan penyelamatan dalam hidup kekal, maka alam pun sedang dalam penantian penggenapan shalom Allah dalam langit dan bumi yang baru. Dalam perspektif itulah maka teologi Kristen mengajak manusia untuk memandang alam ciptaan Allah sebagai alam yang seharusnya diperlakukan sebagai subyek untuk dihargai. Dalam konteks itu, manusia terpanggil untuk menunjukkan penghargaan yang sepatutnya terhadap alam. Misalnya dinampakkan dalam usaha pelestarian alam agar menjamin keharmonisan hidup berkelanjutan seluruh ciptaan Allah.

TEOLOGI TENTANG MANUSIA DAN KRISIS EKOLOGI

(1) Manusia diciptakan oleh Allah segambar dan serupa dengan Allah sendiri. Hal itu menunjukkan adanya kedudukan khusus pada manusia dalam tatanan ciptaan dan yang memungkinkan ia berkuasa atas ciptaan lainnya. Diciptakan segambar dan serupa dengan Allah berarti bahwa manusia hidup dalam relasi yang baik dengan allah dan dengan ciptaan Allah lainnya. Arti segambar dan serupa dengan allah dipahami dalam konteks tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk menguasai dan menaklukkan serta mengusahakan dan memelihara alam alam aras nama allah (Kej. 1:26-28; 2:15). Artinya, manusia diberi wewenang oleh Allah untuk turut serta dalam karya Allah, yaitu sebagai mitra atau partner Allah dalam karya penciptaan berkelanjutan. Dalam panggilan itu, manusia melaksanakan tugas panggilan pemerintahan atas ciptaan lain sebagai wakil Allah, mengelola, memanfaatkan dan memelihara alam untuk tujuan kesejahteraan dirinya, keharmonisan seluruh ciptaan dan untuk memuliakan Allah bersama seluruh ciptaan. Tugas itu adalah tugas menatalayani dan bukan mendominasi. Tugas itu adalah tugas mengelola dan memelihara dan bukan wewenang untuk menguasai dan mengeksploitasi. Kesegambaran dengan Allah berarti bahwa manusia terpanggil untuk mengelola alam secara bertanggung jawab.

(2). Pemberontakan manusia terhadap Allah menyebabkan kejatuhan manusia ke dalam dosa. Pemberontakan manusia itu merusak hubungannya dengan Allah, dan dengan ciptaan lain. Akibat pemberontakan itu membawa pula dampak negatif khusus bagi manusia dalam melaksanakan fungsinya yaitu bahwa manusia berkecenderungan menyalahgunakan tugas yang dipercayakan Allah kepadanya. Dalam menghadapi alam, manusia lebih cenderung mengeksploitasi melampaui tugas mengusahakan dan memelihara alam. Akibatnya, alam dieksploitasi dan dirusak. Dengan demikian, kerusakan alam, khususnya pencemaran atau polusi terhadap alam, berakar dalam kehidupan manusia yang tercemar oleh kecenderungan pada yang jahat sebagai akibat pemberontakannya kepada Allah. Manusia semakin haus dan rakus atas materi yang dapat diambilnya dari alam dan bersifat materialistik. Jadi, pengrusakan lingkungan hidup, misalnya pencemaran atau polusi natural, berakar dalam polusi moral spiritual.

(3) Pemulihan hubungan Allah dengan manusia melalui pengorbanan atau kematian dan kebangkitan Kristus adalah juga pemulihan hubungan Allah dnegan seluruh ciptaan. Alam tercakup dalam janji penebusan dan penyelamatan Allah. Alam telah diperdamaikan dengan allah melalui pengorbanan Yesus Kristus dan menantikan penggenapannya dalam langit dan bumi baru. Melalui karya penebusan dan penyelamatan Kristus, hubungan manusia dengan alam dipulihkan. Atas dasar pemulihan hubungan tersebut, manusia sebagai wakil Allah di bumi harus menjalankan tugas pengelolaan dan pemeliharaan alam secara benar di bawah bimbingan Roh Kudus, menuju penyempurnaan ciptaan dalam langit baru dan bumi baru, Moralitas dan spiritualitas manusia yang sudah menerima penebusan Kristus harus dapat diimplementasikan dalam sikap dan tanggung jawab mengelola, memanfaatkan dan memelihara alam ciptaan Allah. Setiap ciptaan baru, orang percaya terpanggil untuk menggunakan kesempatan mengambil bagian dalam proses pemulihan hubungan yang harmonis dengan sesama ciptaan Allah. Itulah yang menjadi dasar bagi orang percaya mengambil bagian dalam usaha-usaha yang bertujuan untuk memulihkan alam yang telah rusak oleh ulah manusia dan untuk mencegah kerusakan baru dan kerusakan alam yang semakin parah.

GEREJA DAN PEMULIHAN KRISIS EKOLOGIS

(1) Etika lingkungan sangat diperlukan sebagai akibat dari miskinnya muatan moral dalam hubungan manusia dengan alam. Pengeksploitasian sumber daya alam dan pencemaran lingkungan adalah bukti-bukti sekaligus dampak dari sikap materialistis tersebut.

(2) Teologi Kristen yang menjadi norma etika lingkungan Kristen memperhatikan perlunya manusia membangun hubungan yang serasi dengan alam. Dalam memahami kesatuan manusia dengan alam sebagai makhluk biologis, maka manusia perlu pula membangun gaya hidup yang kooperatif dengan alam, misalnya dengan gaya hidup hemat. Akhirnya manusia harus membangun suatu pola gaya hidup yang mencerminkan penghargaan terhadap seluruh kehidupan sebagai upaya menerapkan kasih Allah Pencipta dan penebus. Manusia melaksanakan semua iru sebagai tanda ketaatan dan kesetiaan pada Allah san pencipta dan Penebus seluruh ciptaan.

(3) Gereja teranggil sebagai persekutuan ”ciptaan baru” untuk menghadirkan shalom Allah di bumi dengan mengusahakan keharmonisan seluruh ciptaan. Dengan demikian tugas memelihara merupakan hakikat dan misi gereja sebagai persekutuan baru oleh penebusan tuhan Yesus Kristus untuk menghadirkan shalom tersebut. Dengan memandang kepada penyempurnaan ciptaan Allah, maka gereja terpanggil untuk turut serta aktif mengusahakan kelestarian alam ciptaan Allah. Dalam melaksanakan tugas tersebut gereja mengembangkan berbagai cara sesuai dengan konteks permasalahan krisis lingkungan masing-masing. Itulah sebabnya gereja secara bersama merumuskan visi teologis tentang panggilannya terhadap ciptaan namun melaksanakannya masing-masing sesuai tugasnya memelihara ciptaan gereja berpedoman pada motto ”think globally, act locally”

(4) Gereja-gereja di Indonesia melaksanakan tugas memelihara ciptaan dengan dua motif. Motif pertama adalah motif teologis, yaitu sebagai upaya melaksanakan misi gereja yang bersifat universal, artinya yang mencakup seluruh ciptaan. Tugas memelihara ciptaan merupakan pelaksanaan panggilan gereja untuk menghadirkan shalom Allah di bumi sebagai implementasi dan iman dan panggilannya. Motif yang kedua adalah motif pembangunan, yaitu sebagai salah satu cara yang ditempuh geteja untuk mewujudkan peran sertanya yang aktif, positif, kritis dan kreatif dalam mengisi pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila. Itulah sebabnya gereja-gereja di Indonesia secara aktif melaksanakan berbagai program berkaitan dengan KPKC melalui berbagai bentuk kegiatan dan pada semua aras dan oleh semua jemaat dan mitra gereja.

(5) Harus diakui bahwa peran aktif gereja-gereja di Indonesia dalam mencegah perlakuan buruk terhadap ciptaan dan upaya memulihkan lingkungan yang rusak masih sangat sedikit. Oleh karena itu gereja-gereja perlu lebih banyak mengadakan pengkajian tentang hal-hal yang bisa dilakukan gereja untuk dapat menentukan bentuk-bentuk pelayanan terhadap lingkungan alam di sekitarnya. Pendidikan cinta lingkungan perlu juga ditekankan dalam pembinaan keluarga dan pembinaan gereja. Tuhan Yesus berkata, ”Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar, barangsiapa tidak setia dalam perkara-perkara kecil ia tidak setia juga dala perkara-perkara besar”( Lukas 16:10). Dalam rangka memahami tugas gereja dan tugas manusia pada umumnya sebagai penatalayan ciptaan allah, maka kita semua terpanggil untuk melaksanakan sugas itu dengan setia sehingga ciptaan atau alam yang dipercayakan Allah kepada kira dapat kita pelihara secara bertanggung jawab.

Kritik Terhadap Buku Etika Bumi Baru Karya Dr. Robert P. Borrong

Buku ini nmerupakan sebagaian dari hasil disertasi penulis. Selama kurun waktu sebagai pengajar di sekolah teologi, penulis sangat sering membahas masalah-masalah etika dari berbagai macam aspek. Buku-bukunya yang sudah terbit selain ini adalah, etika seksual kontemporer, etika sosial politik, dan beberapa jurnal yang dimuat di umum. Jarang ditemukan seorang teolog seperti Borrong khususnya di negeri ini yang meminati masalah lingkungan dan sejenisnya. Untuk etika, tidak sedikit peminat yang berlatar belakang pendeta untuk fokus kepada disiplin ilmu tersebut. Selain mengampu bidang etika, penulis juga mengajar bidang filsafat dan teologi modern di sekolah tinggi teologia Jakarta.

Mengenai buku ini, penulis terpanggil dengan suasana hati yang sesak memikirkan situasi memprihatinkan di negeri tercinta Indonesia. Inspirasi datang dari situasi buruk itu untuk melihat dengan murni bahwa manusia tidak dapat mengandalkan dunia teknosfernya (memiliki wawasan beretika) saja, tetapi ia perlu juga mengandalkan dunia etosfernya (nilai etik yang ada di dalam manusianya), yaitu nilai-nilai dan norma yang luhur yang menjunjung tinggi kebaikan, keadilan dan kebenaran. Norma etika yang paling penting menurut penulis adalah self control (pengendalian diri). Siapapun ia, kaya atau miskin, menurut penulis orang tersebut perlu mengendalikan diri. Menurutnya, dalam konteks ekonomi modern norma lebih sering diabaikan. Orang lebih banyak dikendalikan oleh nafsu dan semangat untuk mencapai, memiliki dan mengkonsumsi sebanyak mungkin barang atau materi. Itu lah sebabnya penulis katakan bahwa dalam kecenderungan seperti inilah pengendalian diri sangat dibutuhkan.

Untuk mencari kelemahan dari buku ini seperti sulit didapatkan, hal ini mungkin karen memamg awal tulisannya Borrong mengatakan bahwa buku ini tidak membahas tentang etika yang ada kaitannya dengan persoalan teologia, atau etika-.teologia. permulaan bab telah ditekankan oleh penulis bahwa kajian dalam tulisan ini adalah kajian etika, artinya lebih dari itu adalah tidak (termasuk dogmatika, kritik teks, ato teologia). Itu sebabnya Borrong tidak menjadikan persoalan ekologi sebagai penyebab utama secara teologis yang mempertanyakan mengapa terjadi kerusakan alam hingga saat ini?, atau mengapa manusia sudah tidak lagi peduli terhadap alam sekitarnya?. Borrong juga menyinggung tentang dosa (bab 6) sebagai akibat fatal hingga manusia memiliki hidup yang tidak lagi mmengedepankan etika, khususnya terhadap alam (bagaimana mengolah alam ini?). Sejak awal dalam bab pertama penulis menekankan bahwa dirinya akan fokus terhadap perilaku manusia dengan lingkungannya. Karena itu menjadi fokus utama maka pembaca mendapat kesan persoalan utama yang sering kali diteliti oleh penulis adalah antara manusia dan lingkungannya, begitu juga sebaliknya. Untuk manusia, sifat perilakunya yang ditekankan, sedangkan lingkungannya adalah objek yang menjadi korban keseralahan manusia. Itulah sebabnya tidak mudah menemukan intervensi Tuhan, atau tidak ada penulis mengkaitkan peran Tuhan sebagai pencipta yang mengijinkanini terjadi. Menurut saya apabila hal ini disisipkan oleh penulis, maka akan ada potensi untuk mempersoalkan secara teologis, dan bukan secara etis. Sekalipun di bab 6 penulis cukup panjang menguraikan peran teologis-ekologis, penulis tetap tertuju terhadap maksud awal penulisan buku ini yakni masalah etika (perilaku) dari manusia dalam menyikapi ekosistem yang ada.

Saya selaku pembaca menegaskan bahwa buku ini sudah tergolong lengkap uraiannya karena sudah mengandung nilai Injil di dalamnya (bab 6), yakni peran Kristus dalam perubahan terhadap diri manusia (destruktif) terhadap lingkungannya. Dengan melihat kepada Kristus (berbalik, bertobat) maka akan ada sikap sadar dalam dirinya untuk melangkah dalam pemeliharaan alam semesta. Berdasarkan dasar teologi yang kuat dituliskan oleh penulis denga mengutip dalam kitab Kejadian 1:28, yakni ”beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatabg yang merayap di bumi”. Borrong menegaskan bahwa ayat ini bukan dasar untuk menyalahgunakan alam dengan eksploitatif-destruktif. Melainkan untuk dijaga dan dilestarikan sekitarnya, yaitu dengan mencintainya.

Begitu juga pada penekanan tentang peran Kristus dalam penebusan, penulis menyisipkan bahwa Yesus akan merubah hidup orang secara terus menerus melalui iman kepadaNya. Dengan demikan orang tersebut akan dikembalikan citranya kepada citra yang semula (sebellum manusia jatuh ke dalam dosa). Menarik buat saya dalam bab 6 adalah, Borrong menegaskan bahwa diluar Yesus Kristus, tidak mungkin manusia akan memahami tentang penciptaan alam semesta yang sebenarnya (utuh). Artinya penulis kembali kepada peran Kristus dalam pengolahan alam ini, karena diriNya sebagai center untuk menuju kepada konstruksi alam yang sudah rusak kepada lingkungan yang baru lagi (fisik).

Dalam kesimpulan dari bab 6, Borrong mengatakan bahwa pemulihan hubungan Allah dengan manusia melalui pengorbanan atau kematian dan kebangkitan Kristus adalah juga pemulihan hubungan Allah dengan seluruh ciptaan. Allam telah diperdamaikan dengann Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus dan menantikan penggenapannya dalamlangit dan bumi baru. Melalui karya penebusan dan penyelamatan Kristus, hubungan manusia dengan alam dipulihkan. Atas dasar pemulihan hubungan tersebut, manusia sebagai wakil Allah di bumi harus menjalankan tugas pengelolaan dan pemeliharaan alam secara benar di bawah bimbingan Roh Kudus, menuju penyempurnaan ciptaan dalam langit baru dan bumi baru.

Menurut saya, apabila Dr. R.P Borrong tidak menampilkan penegasan di atas maka ibarat ilmuan yang berjerih payah (penelitian) menemukan serum untuk mengantisipasi virus namun tidak disertai dengan kepuasan tersendiri karena hasil yang didapatkan memberikan pengaruh kuat bagi penerimanya. Artinya penulis tanpa Injil yang dituliskan maka pembaca tidak akan pernah sadar atau berubah untuk memperbaiki diri. Terkait dengan lingkungan hidup, tentunya tanpa peran Kristus dan bimbingan Roh Kudus, maka akan semakin rusak dan tak terpandang bumi ini. Sekalipun Borrong dengan jelas mengupdate data atau statistik dari manusia yang berupaya mengeksplotasi lingkungannya (bab 2). Itu sebabnya penulis sering beberapa kali menyatakan tentang pertemuan internasional seperti di Stockholm (1972). Dan di Rio de Jenairo (1992). Dengan demikian setiap bangsa yang akhirnya memiliki undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan.

Tidak ada komentar: